Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

"Pak, Minta Motor!"

1 Desember 2015   00:02 Diperbarui: 1 Desember 2015   00:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam suatu perbincangan di forum angkringan, tersebutlah seorang kawan yang sedang galau, bukan karena tak punya uang, tapi karena permintaan anak lelakinya, 15 tahun yang baru masuk sekolah menengah atas.  Bagi kebanyakan orang tua, permintaan anak itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, bahkan banyak yang sudah membelikannya sebelum diminta. Permintaannya  sederhana saja, sebuah sepeda motor untuk alat transportasi ke sekolah.

Kawan itu seorang yang lurus, dan taat pada aturan. Dia tahu benar anak usia 15 tahun belum bisa punya SIM. Namanya tidak punya SIM bagaimana bisa naik motor ke mana-mana. Begitu logikanya. Bahkan kawanku itu sama sekali tidak berkeberatan mengatar jemput anak ke sekolah. Namun rupanya logika seperti itu bukanlah logika yang diterima umum. Konon menurut catatan anaknya, dari populasi murid pria di kelasnya, sebagian besar sudah naik motor sendiri ke sekolah. SIM nya bukan keluaran Polisi, tapi restu orang tua masing-masing.

Too many excuses .. itulah masalahnya. Pelanggaran yang dihalalkan dengan dalih ketidakberdayaan. Apa boleh buat, tidak ada yang bisa mengantar. Apa boleh buat, kendaraan umum ke sekolahnya agak susah, mesti gonta ganti angkot, masih pakai jalan kaki. Pakai mobil antar jemput bayarnya mahal. Apa boleh buat, teman-temannya juga sudah naik motor, ya sudah ikut saja. Apa boleh buat, biaya transportnya jadi mahal, mending buat beli bensin lebih murah. Padahal kalau mau ngantar ya antar saja toh, atau kalau sudah tahu sekolahnya jauh bukannya sudah dipikirkan konsekuensinya. Kalau ditangkap Polisi bagaimana? Paling juga sidang, bayar, selesai. Atau jangan-jangan Polisi pun sudah ikut-ikutan maklum, (untuk menghaluskan suasana hati yang  eneg, males nangkepin anak-anak kecil yang pada naik motor seliweran di jalanan, saking buanyaknya). Sekolah pun tak berdaya melarang bukan? Lha buktinya bisa parkir di sekolah tuh.

Sampai di sini, berapa banyak dari anda yang menganggap kegalauan kawan saya tidak beralasan? Berapa banyak dari anda yang berpikir, “kalau duit ada ya sudah belikan aja, toh semua anak juga pakai motor?” Atau adakah yang menganggap persoalan ini adalah masalah integritas kita pada norma hukum, dan justru rasa sayang yang menjerumuskan anak karena mengajarinya menyingkirkan kebenaran demi mengikuti logika “apa boleh buat” dari kebanyakan orang tadi?

Lebih jauh tentang integritas. Bukankah ini yang diteriakkan banyak orang di internet baik melalui socmed maupun blog model kompasiana juga kan? Berapa banyak dari kita yang teriak soal korupsi? Bukankah dilakukan orang yang tidak punya integritas pada bangsa. Atau anda berteriak soal hukum yang bisa dibeli? Bukankah ini juga persoalan integritas. Lalu kalau gara-gara malas ngantar anak sekolah anda membiarkan anak anda melanggar hukum, bukankah ini juga masalah integritas? Generasi macam apa yang sudah kita ciptakan (lebay?  Ngga juga – ini serius). 

Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun