Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akhir dari Eforia Kumis vs Kotak

18 September 2012   09:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:17 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah beberapa bulan eforia Pilkada DKI Jakarta menghabiskan banyak energi. Bukan hanya orang Jakarta, tapi orang luar Jakarta pun membicarakan, berkomentar dan bahkan secara emosional ikut terlibat. Sekalipun bukan dalam rangka Pilpres ternyata Pilkada DKI Jakarta berdampak secara Nasional. Setiap hari sosial media entah itu Facebook, Twitter, BBM  tidak pernah sepi dari tema “kumis dan kotak-kotak”. Barangkali kesuksesan Obama memanfaatkan social media menjadi insprasi dari tim sukses untuk memanfaatkannya secara maksimal. Dan lebih dari itu, gairah pemilih maupun pengamat tampak sangat antusias membahas Pilkada DKI Jakarta ini di social media, sehingga terasa sangat istimewa dibanding Pilkada daerah lainnya.

Mengamati fenomena di social media  perkembangan dari proses Pilkada DKI Jakarta meninggalkan beberapa catatan penting sebagai pembelajaran berpolitik kita semua.

Pertama, semakin mendekati mendekati 20 September, content yang beredar semakin jauh dari solusi terhadap masalah-masalah substansial Jakarta. Program-program yang dilontarkan Foke dan Jokowi tidak mendapat porsi pembahasan yang cukup besar, masih kalah dibandingkan dengan isyu SARA, hingga joke yang menyangkut 2 kandidat.

Kedua, sebagai implikasinya,  hal-hal yang dibroadcast tersebut semakin jauh dari idealnya pendidikan politik bagi masyarakat. Memang tidak salah kita menimbang kepada figur dan latar belakang seseorang, namun menjadi masalah kalau unsur figur dan latar belakang itu menjadi satu-satunya variabel, sehingga kita lebih asyik berbicara tentang pribadinya saja, namun tidak menyentuh persoalan-persoalan visi, kompetensi, dan komitmen. Aneh memang, pada waktu kandidat masih cukup banyak, persoalan visi, misi dan program banyak dibicarakan, namun masuk putraran ke dua bukannya dipertajam tapi isyunya jadi bergeser.

Ketiga, pada akhirnya  kita patut bertanya apa jadinya kalau ajang Pilkada DKI Jakarta dijadikan acuan yang memiliki fungsi strategis dalam mengukur suhu politik Nasional 2014 ?  Nanti pun kita tidak akan melihat partai dan calon yang diusungnya memberikan porsi yang cukup besar untuk bicara tentang visi, misi dan platform apa yang ditawarkan masing-masing kandidat untuk Indonesia yang lebih baik, mereka akan asyik dengan figur-figur, yang dianggap mampu menjadi vote-getter.

Sebentar lagi semua eforia itu akan berakhir. Tanggal 20 September nanti warga Jakarta harus menentukan pilihan. Tentu semua orang punya kepentingan, dan wajar jika memilih kandidat yang paling bisa mengayomi kepentingannya itu. Dalam  pengkondisian yang telah tercipta sejauh  ini, keputusan haruslah tetap diambil. Siapapun yang menang semoga dapat membawa Jakarta menjadi lebih baik, dan siapa yang kalah dapat menerima bahwa memang mayoritas warga Jakarta belum mempercayai dia. Ketika nanti hajatan Pilkada ini berakhir, semoga pihak yang menang maupun yang kalah dapat saling bahu membahu untuk bekerja sama membangun Jakarta. Bukankah demikian ?

Kita semua sudah sampai di penghujung eforia politik yang menghabiskan dana puluhan miliar demi terpilihnya seorang pemimpin yang legitimate. Semoga semua daya dan dana yang hari-hari ini difokuskan ke hajatan Pilkada ini, pada akhirnya tidak menjadi sia-sia karena dulu dan sekarang, siapapun yang memimpin, ternyata Jakarta masih begitu-begitu juga. Bukannya saya meragukan kemampuan Foke maupun Jokowi, tapi belajar dari sejarah kalau fokus kita hanya pada pemilihan saja tapi tidak mengawal sampai purna tugas, pada akhirnya berujung dengan kinerja yang biasa-biasa saja. Mengapa ? Karena salah satu yang sering terlupakan adalah menjadi pemimpin bukanlah  tujuan akhir, tapi menjadi sarana untuk tujuan yang lebih besar. Siapapun yang menang, adalah mereka yang harus bekerja dan didukung oleh semua pihak untuk dapat membuktikan 5 tahun ke depan Jakarta memang sudah lebih baik.

Selamat ber Pilkada, semoga berakhir dengan kebaikan Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun