Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Panggung Politik ala Panggung “YKS”

26 Februari 2014   07:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acara YKS di TV sempat menjadi perbincangan yang ramai di banyak media termasuk Kompasiana. Muara dari diskusi yang terjadi adalah banyak yang menyayangkan tayangan YKS yang dianggap tidak mendidik, kurang berkualitas dan tidak pantas ditonton anak-anak, tidak berkonsep, asal nyeplos dan sebagainya. Akan tetapi fakta berbicara lain : YKS tetap menduduki rating acara yang cukup tinggi, yang artinya banyak dipilih penonton ketimbang acara lain di jam yang sama. Tampaknya trend rating acara TV berbanding terbalik dengan “kualitas” acara TV tersebut [kalau memang definisi kualitas adalah acara yang “mencerdaskan” penontonnya]. Semakin “berkualitas” acaranya, semakin kecil ratingnya.

Apakah kita harus prihatin? Bisa iya, bisa juga tidak. Di satu sisi TV seharusnya menjadi “agent of change” dan secara moral ikut memiliki peran membentuk budaya masyakarat. Bukankah apa yang terjadi di masyarakat seringkali terbentuk dari apa yang ditonton di televisi? Akan tetapi di sisi lain kita semua harus sadar bahwa kita semua menonton TV secara gratis, tidak membayar. Dengan demikian, pengelola TV swasta harus memutar otak agar ada pemasukan, yang tentu saja didapat dari pemasang iklan, yang biasanya memilih program dengan rating yang tinggi. Jadi, kadang tampak masuk akal juga kalau TV lebih mengejar konten dengan rating tinggi, agar penghasilan lebih tinggi. Dengan begitu, yang penting penonton suka, rating tinggi, acara jalan terus, iklan banyak. Demikian mekanisme sederhananya.

Mengapa ratingnya tinggi? Sebenarnya tidak sulit dimengerti. Memang ada sekelompok “elit” atau orang-orang yang kritis dan prihatin dengan maraknya acara yang demikian. Tapi apa daya, sebagian besar orang suka dengan acara itu. Barangkali, hidup sehari-hari masyarakat sudah lelah dengan berbagai persoalan, sehingga saat menyalakan TV tidak lagi mau dijejali dengan acara yang menambah beban pikiran. Masyarakat lebih butuh hiburan, yang ringan, mengundang tawa dan bahkan larut dalam goyang Cesar ala YKS. Jadi, pilihan mudahnya bagi para pengelola TV adalah mengikuti saja apa yang sedang trend sampai masyarakat bosan (rating turun) lalu membuat trend baru agar rating naik kembali. Seperti YKS yang tiba-tiba menggeser minat orang pada Sinetron, suatu saat nanti YKS pun akan tergeser pula dengan tayangan kreatif lainnya.

Lalu sebagai penonton yang bijak harus bagaimana? Kalau anda suka nontonlah, kalau tidak, ganti saja masih banyak channel lainnya. Kalau anak anda ikutan nonton, tinggal anda masih mau asyik bergoyang, atau ganti dengan channel film kartun, atau matikan saja TV anda dan ajaklah anak anda bermain. Bagi kita selalu ada pilihan, dan setiap pilihan tentu demi kebaikan kita sendiri. Demikianlah singkat cerita tentang TV dan YKS. Apa hubungannya dengan Partai?

Sebulan lagi Pileg dimulai, dan dilanjutkan dengan Pilpres. Seperti biasa, PEMILU selalu dimulai dengan kampanye. Sedari dulu, angan-angan banyak pengamat adalah membudayanya kampanye santun yang sarat pendidikan politik serta bernas dengan pemaparan visi dan misi partai oleh para caleg. Namun apa daya, pengerahan massa di jalanan serta panggung hiburan tampaknya masih menjadi andalan kampanye, sehingga barangkali artis-artis kita siap-siap kebanjiran order Parpol untuk menghibur masyarakat sebelum mendengar pidato politik. Semoga ada yang berubah di 2014 ini.

Barangkali fenomena semacam YKS masih dipercaya ampuh untuk mengumpulkan massa, dan menarik minat masyarakat untuk memeriahkan kampanye parpol. Masyarakat tidak didatangkan untuk dididik, tapi diiming-imingi hiburan dan ujung-ujungnya di kasih pidato dan diminta nyoblos pada hari pemilihan. Tapi, mana yang lebih nyantol, goyang penyanyi atau pidato si caleg, tidak ada yang tahu.

Bisa anda bayangkan pengumpulan massa yang hanya mendengar pidato politik saja saat ini? Tampaknya para caleg masih belum PD kalau tidak didampingi penyanyi dangdut. Hehe, takut bubar sebelum acara selesai. Situasi demikian seringkali membuat kita semua merasa kampanye politik tak lebih sekedar panggung hiburan, bukan media pendidikan politik yang mendorong kita semua semakin maju dalam berdemokrasi dan berpolitik. Jangan-jangan ketakutan parpol adalah kejadiannya akan sama juga dengan YKS: rating panggung kampanye politik berbanding terbalik dengan kualitas kampanye itu sendiri. Semakin berkualitas pendidikan politiknya, semakin sepi peminatnya.

Kalau situasinya ternyata nanti masih demikian, lha pendidikan politik itu tugas siapa? Barangkali para elit pengamat, kompasianer kolom politik, media dan mahasiswa sebagai pilar-pilar demokrasi tidak jemu-jemu untuk melakukannya, walaupun mungkin jauh di bawah sana suara anda terdengar sayup ditengah hingar bingar knalpot motor dan soundsystem musik. Atau barangkali (semoga) para caleg pun punya kesadaran bukan hanya soal terpilih atau tidak terpilih, namun mau berbicara dari hati ke hati dengan rakyat, mengerti persoalan mereka dan mencoba mengulurkan tangan dengan berkarya, bukan sekedar janji-janji panggung yang segera terlupakan saat munculnya goyangan si artis. Model kampanye Jokowi di pilkada Jakarta barangkali bisa dijadikan trend baru, langsung blusukan mendatangi masyarakat dan menggali persoalan mereka, bukannya mendatangkan masyarakat untuk mendengar janji-janji baru. Sudah terlalu banyak janji terlontar, sudah terlalu banyak janji terlupakan.

Lalu sebagai rakyat harus bagaimana? Kalau anda kritis dan peduli, barangkali anda mau berpartisipasi melakukan sesuatu sebagai upaya pendidikan politik bagi orang di dalam lingkaran pengaruh anda, dengan demikian anda secara sukarela ikut menjadi “agent of change” bagi pertumbuhan demokrasi di negeri ini. Kalaupun anda hanya suka goyang, ya sudah nikmati saja. Masalah milih, itu masalah hati nurani di bilik suara nanti. Barangkali anda termasuk orang yang sudah lelah dengan janji-janji, jadi paling tidak bisa joged ketimbang tidak dapat apa-apa.

Pokok-e Joget ! Pokok-e Joget !

Artikel terkait :

ekonomika-hajatan-pesta-demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun