Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kegagalan Revolusi Mental ala Saya

23 Oktober 2014   07:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:02 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14139985501968633319

[caption id="attachment_368461" align="alignleft" width="300" caption="koleksi pribadi"][/caption]

Atas kemurahan Tuhan, kami sekeluarga berkesempatan berwisata ke Singapura beberapa waktu yang lalu. Tentu ini menjadi kesempatan yang berharga bagi kami, khususnya anak-anak dapat menikmati suasana baru, lingkungan baru dan tentu saja wahana wisata yang berbeda.

Salah satu pemikiran saya yang lalu muncul sebagai orang tua, inilah kesempatan untuk mengajak anak-anak saya yang masih berusia SMP dan SD dapat belajar hal-hal baik dari perilaku masyarakat di negara tetangga.

Salah satu pelajaran berharga yang sempat saya tekankan dari contoh yang dapat diamati adalah soal kedisiplinan. Konon butuh waktu yang panjang dan didikan yang sangat keras untuk membentuk masyarakat Singapura yang tertib dan disiplin, bahkan ada ungkapan “Singapore is the fine city” --- sedikit-sedikit didenda. Baru saja mendarat di Bandara Changi sudah ada yang memperingatkan agar kita tidak membuang sampah sembarangan, meludah sembarangan, dan melanggar peraturan, karena bisa berurusan dengan pihak berwajib dan harus membayar denda yang lumayan mahal.

Kesan pertama melihat warga Singapura memang tidak seramah orang Indonesia. Namun yang patut diacungi jempol adalah kedisiplinan mereka, yang ternyata sudah ditanamkan sejak kecil. Misalnya saja, ketika kami di bandara Changi, kebetulan bertemu dengan rombongan anak TK yang baru saja “karyawisata” di bandara. Selesai acara, mereka berbaris rapi berdua-dua, dan naik bus sesuai dengan barisannya. Tak heran, kebiasaan ngantri ini terbawa sampai dewasa. Orang dengan santainya mengantri satu-satu entah saat memesan makanan di foodcourt atau sekedar antri ke kamar kecil. Tak ada kesan terburu-buru, apalagi menyerobot antrian karena merasa dirinya paling penting.

Selain itu, di banyak tempat yang kami kunjungi terkesan sangat bersih, tak ada lalat beterbangan atau sampah berserakan. Semua tampak bersih dan rapi. Selalu ada petugas kebersihan yang berjaga dan menjalankan tugasnya tanpa diawasi. Ada banyak tempat sampah tersedia, dan orang-orang secara otomatis membuang sampah di tempatnya.

Paling tidak itulah 2 pelajaran yang dapat saya tanamkan, saya tekankan pada anak-anak saya, untuk mereka ingat dan mereka ambil hikmahnya. Melalui hal-hal kecil seperti ini, apa yang sedang ramai dibicarakan sebagai “revolusi mental” dapat dimulai.

Sepulang dari Singapore, kami sempat transit di Jakarta, dan pulang ke daerah dengan pesawat komersial lokal dari bandara Soekarno Hatta. Rupanya pemandangan yang berbeda muncul. Salah satunya ketika akan boarding, langsung tercipta antrian yang tidak teratur, menyebabkan bottleneck di pintu keluar karena semua orang maunya tergesa-gesa masuk ke pesawat. Bayangkan betapa repotnya petugas yang hanya 2 orang harus melayani atrean yang tidak teratur ini. Maka kedua anak saya pun belajar hal yang berbeda untuk topik yang sama.

Rupanya pelajaran masih berlanjut. Seperti biasa di dalam pesawat  orang-orang masih saja berdesakan karena banyak yang tidak mentaati aturan masuk pesawat yang duduk di belakang masuk duluan, yang duduk di depan masuk belakangan agar flow penumpang masuk ke pesawat menjadi lancar. Tentu saja salah satu alasan orang berebut masuk duluan ke pesawat adalah supaya tidak kehabisan rak bagasi kabin, karena banyak yang membawa tas koper tapi malas memasukkannya ke bagasi pesawat. Mereka memilih membawa koper dan kardus ke kabin ---yang berat dan dimensinya belum tentu sesuai yang diatur --- supaya tidak repot menunggu bagasi di tempat kedatangan.

Pelajaran berikutnya adalah, ketika pesawat akan take off, masih saja terdengar nada dering SMS atau BBM yang masuk. Tentu saja ini bertentangan dengan peraturan Undang Undang No. 1 tahun 2009 yang ditulis jelas di tiap sisi belakang tempat duduk. Tetapi tampaknya mbak pramugari memilih untuk mendiamkan saja daripada berurusan dengan orang “ndableg” begini. Dering BBM kembali menggema saat pesawat berada dalam landing position, menandakan HP tersebut tidak dimatikan sepanjang perjalanan. Anak saya pun sempat bertanya, “kok ada yang HP nya nggak dimatikan, apa ngga takut didenda Rp. 200 juta?

Itulah sekelumit pengalaman yang membuat saya merasa apa yang saya pamerkan pada anak saya di Singapura, ternyata bukan hal yang lazim di sini. Memang tidak semua orang Indonesia ndableg, dan tidak semua orang  Singapura tertib. Namun ketahuilah nak, jangan percaya pada penampilan orang. Sekalipun tampaknya berpendidikan, gadgetnya canggih, tapi bisa saja mentalnya masih perlu di revolusi. Semoga kalian bisa memilah mana yang baik dan perlu dicontoh, mana yang buruk untuk sekedar diketahui saja. Semoga pelajaran yang kalian terima kali ini, tak hilang tertelan arus besar yang ada di depan matamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun