Mohon tunggu...
Gregorius Erico
Gregorius Erico Mohon Tunggu... -

17

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Satu Suaraku untuk Negeri

14 Maret 2014   04:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:57 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan sebuah kesempatan yang telah berjasa menjadi sumber inspirasi saya menulis hal ini. Di sekolah, saya mendapat tugas untuk membuat sebuah poster ajakan agar orang-orang mau memberikan suaranya di Pemilu 2014 ini. Ada beberapa hal menarik yang saya alami saat saya melakukan tugas ini. Pertama, setiap anak di kelas diminta untuk mengerjakan ini berpasangan berdua-dua. Dan saya akhirnya berkelompok dengan salah satu teman. Kami mengerjakan poster yang ditugaskan untuk dibuat sambil berbincang-bincang tentang politik dan pemilihan umum (Pemilu) itu sendiri. Semuanya dibahas dari sudut pandang remaja SMA. Salah satu hal yang saya tuliskan di poster saya adalah salah satu nasihat yang sering diberikan oleh mama saya saat saya masih lebih kecil dari sekarang. Nasihat itu berbunyi seperti ini: uang Rp 999.999,- tidak akan menjadi Rp 1.000.000,- tanpa uang Rp 1,-. Jelas hal ini bisa diabaikan begitu saja dengan mudah. Tetapi saya mulai menyadari nilai-nilai penting yang ada di dalam kalimat ini, dan saya memikirkan cukup banyak hal yang bermuara dari sini. Mama saya selalu menyampaikan ini untuk mengingatkan saya untuk selalu bisa menghargai hal sekecil apapun. Uang senilai Rp 1,- sangatlah tidak berharga memang, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, faktanya, hal-hal kecil inilah yang kerap kali memberi efek kejut yang luar biasa. Salah satu nilai yang bisa saya sarikan untuk dikaitkan dengan memberikan suara kita di pemilihan umum adalah bahwa 1 (SATU) suara kita berharga. Tidak perlu memikirkan orang lain, yang terpenting kita menanamkan hal ini dalam benak kita, dan kita melakukannya. Mengapa? Kenyataan buruknya adalah banyak orang yang menyepelekan jumlah '1'. Masih banyak orang di luar sana yang mengatakan, "ah, satu suara doang mah gak ngefek." Ya, lantas, kalau 200 juta penduduk Indonesia mengatakan demikian, siapa yang akan menjadi Presiden berikutnya, hah? Pada poster saya, gambar ilustrasi utama yang saya buat adalah sebuah timbangan sederhana yang memiliki 2 sisi. Di satu sisi, wadah timbangan diisi oleh orang-orang dari partai tertentu. Di sisi yang berlawanan, tim dari partai lain pun memenuhi wadah itu. Tetapi, timbangan itu tidak dalam kondisi setimbang. Ya, karena yang semulanya keduanya dalam kondisi setimbang, tiba-tiba satu individu baru naik ke salah satu sisi, sehingga lebih berat di sisi di mana orang itu naik. Kembali saya ingin menggambarkan betapa pentingnya nilai '1'. Dalam kebanyakan situasi, satu perbedaan bisa menghasilkan output yang berbeda dan malah jadi penentu. Layaknya pertandingan sepakbola, sebuah tim hanya membutuhkan sebuah gol untuk membuat dirinya menang dan meraih poin penuh (3 poin). Hal mendasar yang saya rasa perlu ditanamkan di dalam pikiran masyarakat Indonesia adalah mindset di mana mereka harus bisa sadar bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menjadi pembeda. Kekuatan yang bisa menentukan nasib sebuah partai, bahkan lebih dari itu: nasib negara ini. Sedikit membahas tentang kebudayaan masyarakat Indonesia itu sendiri, dari kacamata saya secara pribadi, saya melihat bahwa banyak orang Indonesia kurang memiliki kepercayaan diri bahwa dia bisa menjadi seseorang yang penting dan bisa menciptakan sebuah makna bagi orang-orang di sekitarnya. Orang berpikiran cenderung minimalis. Inilah yang mungkin juga menjadi permasalahan yang harus ditumpas. Nilai apa yang bisa diraih secara pribadi dari menggunakan HAKnya yang sudah diberikan kepadanya untuk memilih dengan baik? Pertama, "sudah bagus dikasih". Dengan mau memilih, dan memilih dengan BAIK, maka itu merupakan suatu perwujudan syukur kita, melihat fakta bahwa kita sudah diberikan kesempatan yang mungkin tidak semua orang dapatkan, meskipun sesama warga negara, untuk menyampaikan suaranya memilih orang yang dipercayanya bisa memimpin negara ini. Memang terkesan minimalis, tetapi ingat everyone has to start somewhere (setiap orang memiliki titik awalnya masing-masing). Kedua, saat kita mempergunakan hak kita dengan baik, artinya kita tahu bagaimana kita bisa bertanggung jawab dan menghargai diri sendiri. Ketika kita diberikan hak, artinya kita sudah dipercaya oleh semua orang. Dan dengan memperlakukannya dengan bijak, kita telah menunjukan integritas kita. Bayangkan, jika kita menjadi seorang Presiden, hak apa saja yang ada di tangan kita? Tentu sangat banyak, dan hak itu bisa didapatkan karena mendapat kepercayaan dari 200 juta orang yang ada di Indonesia ini. Jika kita tidak bisa mempertanggungjawabkan hak kecil, hak yang besar tidak akan pernah datang kepada kita. Ketiga, memilih pemimpin berarti mempercayakan diri kita pada orang lain. Artinya kita pun membutuhkan orang itu. Saat kita merasa membutuhkan orang lain, kita sadar bahwa kita tidak dapat hidup sendiri, dan ada hal-hal yang kita butuhkan yang tidak akan terpenuhi jika kita tidak hidup padu dengan orang lain. Pelajaran sederhana yang bisa kita lihat adalah bahwa ketika kita menyadari bahwa ada kebutuhan yang perlu dipenuhi untuk diri kita sendiri, kita sudah peduli dengan diri kita sendiri. Pemimpin yang berbeda akan membuat kebijakan-kebijakan yang berbeda pula. Ketika kita sadar, keuntungan apa yang bisa kita dapat jika pemimpin tertentu menjabat, kita akan memilihnya supaya kita pun bisa menikmatinya. Ini bukan tentang keserakahan atau 'kepentingan' dalam konotasi negatif. Jika Anda ingin belajar memasak dan membuka bisnis restoran, tentu Anda akan datang kepada orang yang sudah berpengalaman di bidang tersebut untuk meminta saran dan bantuan. Anda akan dicap salah alamat jika menanyakan saran kepada seorang ahli hukum untuk itu. Acap-acaplah memilih orang yang tepat, agar kita tidak kembali jatuh ke kesalahan yang sama. Sekiranya hal inilah yang saya perbincangkan dengan teman sekelompok saya. Saya mengatakan bahwa kita sebagai generasi muda tidak bisa begitu saja menutup mata dari dunia politik. Hal itu tentu tidak bisa. Hidup ini sendiri adalah politik. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain, itu sudah merupakan salah satu bentuk politik. Seiring kita tumbuh dewasa, kita jugalah yang akan menggerakan negara ini. Jadi, jangan sampai kita terputus dari alur cerita dari perpolitikan. Pada akhirnya, politik itu sendiri pun akan berbuntut menyangkut kebijakan ekonomi, pendidikan, pembangunan, dan lain-lain! Memang kelihatannya politik itu sangatlah tidak menarik bagi anak-anak muda di zaman seperti ini. Tetapi mereka yang menutup mata hanya akan membutakan diri sendiri dan berjalan tanpa arah di dalam kegelapan. Coba saja rasakan sendiri nanti. Jadi, apakah Anda masih ingin golput? Tanyakan pada diri Anda, apa Anda sudah cukup peduli, menghargai, dan bisa bertanggung jawab pada diri Anda sendiri? Yakinlah bahwa suara yang Anda berikan benar-benar datang dari hati nuari Anda.

Selamat memilih, demi Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun