Part 1 : Antara Aku, Nenek dan Masa Kecil
Sedari kecil memang aku orang yang biasa-biasa saja, aku bukanlah type seorang anak yang selalu dijadikan panutan atau pemimpin oleh kawan-kawan lainya. Namun daripada itu aku selalu ingin menjadi seseorang yang selalu bisa menikmati apa yang aku miliki dan apa yang ada di depanku. Aku ingat kala itu sedang musim permainan mobil mobilan plastik maupun kereta api plastik dengan baterai. Hampir semua anak dikampungku memilikinya, saat itu memang semuanya terlihat begitu mewah. Bayangkan jika sudah hari minggu dapat dipastikan semua lorong di sejumlah gang akan sepi karena semua anak akan berhamburan masuk rumahnya maupun rumah tetangga hanya untuk menonton film doraemon. Dan itupun akan menjadi sebuah petaka besar bagi mereka yang tak memiliki televisi atau tak menemukan tempat menonton film seperti aku. Mungkin pergaulanku dimasa kecil sama halnya dengan bocah kampung lainnya, dimana dalam sebuah kelompok bermain secara tidak langsung akan timbul strata-strata yang disebabkan banyak faktor. Mereka yang hebat, pemberani dan kaya mainan tentunya akan menjadi penghuni strata tertinggi. Dimana mereka yang tak memiliki mainan dan sekedar hanya bisa ikutan atau meminjam akan menjadi pengikut setia atau sekedar penonton. Ah tak mengenakkan memang, namun itulah dunia kanak-kanak.
Aku adalah seorang anak kecil dimasa itu yang masuk dalam golongan tak bermodal dengan dunia bermain yang terbatas, maklum aku hidup dengan seorang nenek yang siap siaga dua puluh empat jam mengawasiku dengan kasih dan ribuan kekhawatiran. Sedapat mungkin nenekku akan berupaya memenuhi kebutuhan bermainku meski belia hanya seorang penjual jamu yang kemana-mana tak bisa pakai sendal karena kecacatannya. Setiap hari banyak aku lewatkan disampingnya, menemaninya meracik ramuan herbal sambil mendengarkan dongeng masa lalu yang kebanyakan dibumbui cerita mistis seperti kisah rondo kuning, dan pohon randu di sungai belakang atau nyai blorong. Sesekali pula aku ditugasi mencari ramuan di pinggir-pinggir sawah karena dikala itu Pegagan, Luntas, Tapak Liman, Suket Teki dan beberapa ramuan masih mudah didapati. Kala itu situasinya tak begitu ideal, satu-satunya kesempatan bermain hanya bisa didapat dalam beberapa waktu saja. Aku tak bisa leluasa mengikuti kawan-kawanku lainnya beraktifitas seperti mandi di sungai atau sekedar bermain ikut langsiran kereta di depo kereta api yang tak jauh dari rumahku saat itu. Hal terbaik yang bisa aku dapat saat itu adalah jika ada kesempatan keluar untuk mencari baterai bekas yang aku kumpulkan untuk dijadikan permainan kereta-keretaan, atau pelepah pisang yang kugunakan untuk membuat tembak-tembakan dan kereta-keretaan di depan rumah.
Perihal nenekku, dia adalah seorang yang hebat. Dengan kecacatannya (tak bisa menggunakan sendal dan berjalan tak normal) dia mampu melahap semua jenis permukaan jalan yang ada. Kakinya benar-benar hebat tak peduli itu jalan berbatu, jalan aspal yang panas maupun jalan tanah yang licin. Jalannya tertatih karena kaki kanannya mati syarafnya dan tak lagi mampu merasakan apapun, ia menyebutnya dengan “semper”. Selain itu bagiku nenek adalah seorang yang hebat. Beliau pernah menginjakan kakinya di jakarta, dipelataran istana negara hanya untuk menyaksikan salah satu cucunya yang menjadi marching band upacara hari kemerdekaan. Sayang sekali disaat itu nenek akhirnya lebih memilih berdiri di luar istana karena protokoler istana mewajibkan semua tamu negara menggunakan alas kaki, dan nenekku tak bisa. Aku yakin saat itu menjadi suasana yang paling menyakitkan baginya. Seorang perempuan renta yang datang jauh-jauh ribuan kilometer harus berdiri dipelataran istana yang panas tanpa alas kaki dan tak bisa menyaksikan cucunya tampil di istana negara, didepan presidennya. Beberapa Paspampres coba merayu nenekku untuk mau duduk di kursi roda pada saat itu, namun nenekku bergeming bahkan menghardiknnya dengan galak “saya tidaklah cacat, saya mampu berjalan bahkan dari Jember sampai Jakarta beberapanya harus saya lalui dengan berjalan, naik turun kereta yang pijakanya tinggi dengan sewek yang membatasi gerakan, jadi jangan sekali-kali menyuruh saya duduk di kursi roda”. Saya yakin pak Paspampres tak bermaksud menghinanya namun ingin memberi harapan dan penghormatan sebagai salah satu undangan istana. Namun itulah nenekku selalu punya semangat yang membuatnya tetap tabah dan bersinar dengan kondisi apapun.
Bersambung.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H