Kejadian kelam 12 Mei beberapa tahun silam menjadi sebuah sejarah perjalan bangsa, dimana gerakan mahasiswa lagi-lagi menjadi ujung tombak penentu arah sejarah bangsa. Anak-anak bangsa kembali mendidih. Bergerak serentak atas nama panggilan pertiwi dan tumpah ruah di jalan bagaikan sampah yang berserakan di kota. Ya, sampah kota karena sebagian kemudian menjadi kompos yang memberikan kesuburan bagi sebuah pohon yang bernama Indonesia. Namun tak sedikit pula yang kemudian hanya memberi kesan buruk, sumber penyakit atau pelengkap penderita kisah babad reformasi yang menjadi tema pergerakan pada saat itu. Reformasi memang telah berlalu menyisakan sejumlah agenda yang sampai kini entah kapan terwujud. Pilar-pilar bangsa mulai tumbuh, beberapa pun menjadi penyokong utama berdirinya sebuah rumah bagi dua ratus sekian juta rakyat dari Sabang sampai Merauke meski tak sedikit hanya menjadi kutu busuk yang kian lama kian merapuhkan pilar-pilar penyangga lainnya.
Kejadian 12 mei 1998 benar-benar menjadi sebuah catatan tersendiri dalam perjalanan suci bangsa ini. Dimana hanya demi tegaknya kebenaran dan demokrasi berliter-liter darah rakyat dan mahasiswa mengalir dijalan. Darah yang keluar dari lubang-lubang kecil akibat logam bulat yang muntah dari laras-laras senapan penguasa maupun darah yang keluar dari lubang-lubang kemaluan perawan-perawan Jakarta. Kejadian 1998 memang tak jauh berbeda dari kejadian 60-an, dimana berliter-liter darah harus keluar dari tubuh mungil martir bangsa yang Bernama Arif Rahman Hakim dan ribuan perempuan-perempuan yang katanya sundal antek Gerwani. Bar-Barianisme bangsa kembali muncul menodai pita suci yang di cengkeram Sang Garuda. Pita suci yang bermana “Bhineka Tunggal Ika”. Pita suci yang menjadi gambaran meleburnya berbagai suku anak bangsa, pita suci yang mengikat kami yang sebelumnya terpisah dalam sekat yang bernama javaisme, maduraisme tionghoaisme atau isme lainnya. Pita suci yang kemudian membalut tubuh kami menjadi satu isme yang bernama Indonesiaisme. Ya, mungkin Indonesiaisme hanyalah mimpi perawan tua di lorong jalan yang sunyi. Dimana mungkin Indonesia hanya menjadi pohon peneduh beberapa golongan saja. Dimana rumah yang bernama Indonesia tersebut telah berubah menjadi rumah yang sombong dengan tulisan dilarang masuk selain mayoritas. Dan pita pembalut tubuh kami yang dulu erat mengikat pun kini tak berguna bagai pembalut bekas pakai yang mungkin layak kami tempatkan di keranjang sampah.
Kita harus bangkit, bangkit dan harus berani berteriak lantang untuk bertanya. Bertanya kenapa mesti mengorbankan darah-darah mereka yang lemah, darah-darah dari liang vagina perawan minoritas yang juga anak bangsa. 12 Mei sebuah sejarah emas namun kotor karena tintanya tak pantas untuk digunakan menulis ayat-ayat suci kitab ilahi, kitab kebenaran. 12 Mei dimana nasib mereka yang selama ini berteriak-teriak di jalanan terbayarkan dengan empuknya kursi yang disebut kekuasaan, kursi raja-raja yang ada di sebuah bilik bernama Senayan, kursi-kursi yang bersanding tipis dengan rumah-rumah kardus di pinggiran Kota. 12 Mei adalah sejarah, sejarah karena mereka yang kemarin hanya seorang pandir ekstrimis jalanan menjadi tuan-tuan terhormat yang sombong. Yang gemar ruangan ber-AC, yang gemar gedung dengan fasilitas mewah plus tempat relaksasi, pandir-pandir yang gemar mencari inspirasi lewat kotak mini yang mampu menampilkan gerak gemulai Maria Oh_zahwat, atau pandir-pandir yang katanya paling pinter tapi gaptek karena email pun gak tau, dan harus berbohong untuk menutupinya. Pandir-pandir yang dulu katanya macan-macan kebon binatang yang bernama sekretariat di lahan sempit ukuran 6m x 6m.
12 Mei mungkin saat yang tepat untuk sejenak berhenti, sejenak menoleh kebelakang kemudian mengibaskan sayap agar kutu-kutu busuk sirna dari bulu-bulu sayap sebelum kembali terbang. Atau mungkin 12 mei adalah saat yang tepat untuk bercermin, bergincu dan menyisir rambut dengan menggunakan rok mini agar bisa menakar diri apakah kita sudah cukup menarik atau menggugah syahwat penguasa, karena kita tak ubahnya pelacur idialisme. Kita pelacur yang kemarin telah berdiri di atas darah segar yang mengalir dari liang vagina gadis-gadis berkulit kuning yang harus dipaksa mengakangkan selakangan demi terciptanya sebuah sejarah yang bernama reformasi. Kita yang kini tertawa atas ke”demor”an sendiri. Kita yang mendadak menjadi bisu dan buta manakala harus berjalan diantara gubuk derita para gembel-gembel Ibu Kota. Karena setiap gembel adalah pesaing, setiap pengemis adalah pesaing dan setiap pelacur pun adalah pesaing. Pesaing terberat yang kelak akan menikam kita dari belakang dengan gerakan massifnya sebagai bagian dari karma yang harus kita dapat. Dan 12 Mei pun adalah saat tepat untuk menggugat, menggugat para kakak yang dulu berjanji memberikan naungan, para senior yang dulu memberikan doktrin, doktrin yang ternyata mudah luntur seperti darah haid di pembalut vagina pelacur murahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H