Part 4 : Mimpi Kenthir menjadi Habibi
Selain menggambar hal yang paling indah berikutnya adalah ketika suatu malam aku bermain di kota. Tujuan utama kami tentunya adalah pusat permainan vidio game atau ding dong. Kala itu setiap malam minggu aku mendapat jatah uang jajan Rp. 300,-. Semua uangnya recehan Rp. 100,-, uang tersebut akan saya gunakan untuk bermain ding dong Rp. 200,- kemudian membeli sate usus Rp. 100,-. Itulah mengapa sampai kini saya sangat senang dengan sate usus, meski itu bukanlah makanan yang baik untuk kesehatan. Namun atas nama masa kecil aku pikir tak apalah seperti halnya kesenanganku kini mengoleksi mainan mobil mobilan besi atau hot wheels. Biasanya jam 8 aku dan teman ku sudah sampai di alun alun kota. Malam minggu alun alun kota sangatlah rame tentunya, saat itu yang paling menarik perhatianku adalah pesawat terbang gabus. Aku ingin sekali memilikinya. Harganya saat itu adalah Rp. 500,- dan aku tak pernah bisa membelinya kecuali mengagumi setiap liukannya. Otakku pun mulai berfikir, bagaimana bisa aku membuat benda itu sendiri dengan gratis jika bisa, dan apa lagi yang bisa aku andalkan kecuali tong sampah. Bagiku tong sampah selalu penuh dengan harta karun. Disana ada baterai bekas, ada bungkus rokok, ada sendal bekas, ada stroke belanja yang semua itu seperti permata di mata kecilku selain sampah makanan yang selalu membuat aku muntah. Malamnya aku segera mencari kertas gambar. Kubuat sket pesawat terbangku untuk pertama kalinya, tanpa perhitungan matematis yang rumit tentunya karena tak pernah ada perhitugan “up lift” maupun “crack faktor” dua teori yang sering dipakai insinyur penerbangan seperti Pak Habibie idolaku. Esoknya segera saja aku memburu gabus di setiap tempat sampah dan sungai. Kebetulan jadwal minggu pagiku selalu kuisi dengan jalan-jalan di pasar burung. Mataku tak pernah lelah memburu tong sampah demi benda ringan bernama gabus di sepajang jalan. Beberapa gabus aku temukan dan segera aku kumpulkan. Beberapanya tampak kusam dan kotor sehingga perlu aku bersihkan dahulu. Kuletakkan gabus gabus tersebut dengan hati hati karena memang jumlahnya yang terbatas dan sulit untuk mencarinya. Segera kubuka gulungan kertas yang semalaman kucoreti dengan desain. Ah aku begitu hanyut dengan kegiatanku saat ini, aku tiba tiba seperti seorang profesor yang asyik dengan eksperimennya. Tiba tiba saja aku merasa seperti Pak Habibi saja.
Sementara itu seorang sahabatku dengan setia melayaniku, dia begitu penasaran dengan apa yang yang sedang aku lalukan. Aku ingin membuat desain pesawat gabus yang keren, pesawat tempur yang punya rudal dan akan terbang dengan gagahnya di kolong langit nusantara. Aku potongi setiap lembar gabus dengan ukuran yang sudah aku tetapkan. Tak ada hitungan pasti karena panjang, lebar dan ukurannya aku hanya mencontoh dari pesawat terbang gabus yang tadi malam aku lihat meliuk-liuk di langit alun-alun Jember. Beberapa jam kemudian pesawat itu telah jadi, satu hal kala itu yag membuat aku bingung adalah bagaimana membuat lem untuk gabus. Aku tak paham teknik mengelas pesawat gabusku hingga aku mengunci sambungannya dengan lidi yang difungsikan untuk paku. Kini tiba saatnya untuk menerbangkan pesawat ini. Ah berdebar debar hati ini, aku cukup bangga saat itu. Pesawat pun akhirnya keluar dari hanggar untuk pertama kalinya. Kuambil benang layangan dan bersiap untuk penerbangan pertamanya. Oh ya, dibagian sayap ku beri kertas merah putih bendera bangsaku biar kelihatan gagah nantinya saat terbang. Karena pesawat terbang gabus yang ada di alun alun kemaren tak punya bendera dan aku berfikir kalau itu kurang sip tentunya, tidak asyik, dan ndak keren blas. Tibalah aku di sawah beberapa saat kemudian, beberapa bocah nampak bermain layang-layang di ujung sana kemudian nampak terkejut dengan benda yang aku bawa. Segeralah aku jadi artis dadakan di tengah sawah, ah tiba tiba dunia menjadi asyik.
Sungguh asyik tentunya menjadi figur, seperti artis saja tiba tiba mainan yang berasal dari tong sampah itu kini jadi perhatian. Namun beberapa saat kemudian ketika tiba-tiba pesawat tempurku tak jua terbang, akupun mulai gusar karena beberapa kali mencoba take off tak jua bisa. Ohhh dunia tiba-tiba seperti kiamat karena pesawatku hanya bisa melompat lompat seperti kodok. Tiba tiba ,beberapa anak yang mengerubutiku kembali menjauh meninggalkan aku yang kelimpungan dengan seribu tanya kenapa pesawatku tak bisa take off. Aku benar benar frustasi di kala itu, proyekku gagal dan benar benar membuat aku sedih. Tiba tiba seorang kawan mendekatiku menawarkan padaku agar pesawatku diikat di benang layang layangnya, semeter di bawah tali kang-kang. Ah mungkin akan sedikit menghiburku dan segera saja kuturuti sarannya. Sesaat kemudian pesawatkupun take off dengan diangkat oleh layang layang. Kegagalan pertama di sore itu benar benar membuat aku tak bisa tidur dan bertanya tanya mengapa pesawatku tak bisa terbang. Segera kubuka blue print ku. Kini aku mulai benar benar teliti mempelajarinya, aku angkat angkat pesawat itu dan bertanya tanya kenapa tak bisa terbang padahal bobotnya ringan. Esoknya aku pergi ke alun alun kota melihat dengan teliti seperti apa desain pesawat gabus yang di jual. Cukup lama aku duduk di dekat penjual pesawat gabus itu. Aku pelajari dan ingat ingat betul bentuk dan ukurannya. Setelah itu barulah aku tahu bahwa sudut kemiringan sayap pesawatku salah, karena pesawat gabus yang kubuat bersudut datar dan sayapnya pun kurus. Sementara itu mungkin lidi yang kugunakan untuk mengelas mungkin terlalu berat hingga angin pun tak mampu menghasilkan up lift yang diharapkan.
Esoknya segera kuturunkan pesawatku setelah semalaman kugantung di langit langit kamarku. Kubongkar lagi pesawat itu, beberapa sisa gabus memang masih aku simpan, namun terlalu sayang untuk kugunakan karena nanti jika berhasil aku akan membuat desain yang lebih ciamik lagi. Kubenahi sudut sayapnya, hanya sayapnya yang aku ganti dengan yang baru dengan yang lebih gemuk lagi tentunya. Dan kini pesawatkupun telah jadi siap untuk uji coba tetap dengan bendera merah putih menghiasi sayap dan ekornya. Benar saja ternyata pesawat itu kini terbang dengan indah tak seperti sore kemarin yang hanya bisa melompat lompat seperti kodok. Ah senangnya aku, tiba tiba kawan kawan mengerubutiku dan dengan penasaran ingin bergantian menjadi pilotnya. Seketika itu pula layang layang aduan tiba tiba tidak menjadi asik bagi mereka. Esoknya aku pun segera memproduksi pesawatku tersebut. Aku membuat tiga pesawat yang kemudian aku jual dengan harga Rp. 300,-. Ah senangnya bisa menjual pesawat yang aku buat dengan tanganku sendiri, meski tetap saja ada kejadian yang menyakitkan yaitu ketika ada ibu ibu yang marah ketika anaknya membeli peasawat gabusku. Hatikupun kecut mendengarnya karena dikatakan barang ronsokan kok di jual. Aku sedih, tapi tak apalah karena pesawatku bisa terbang.
Bersambung.........................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H