Nama: Edelweis Sekar Arditi
NIM: 432231075
Instansi: Universitas Airlangga
Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah profesi yang dianggap sebagai profesi impian dan financial stable. PNS, selalu menjadi tujuan hidup mayoritas orang di Indonesia dengan harapan hidup berkecukupan dan sejahtera hingga hari tua. PNS, sebuah gelar penghargaan bukti abdi pada negeri. PNS, sebuah profesi pengangkat derajat seseorang di mata masyarakat. Dari beberapa deskripsi tersebut pasti sudah tergambar jelas bahwa menjadi PNS sudah dianggap `mampu` secara financial maupun emosional, dengan beban kerja yang dianggap ringan dan kehidupan yang nyaman. Namun, faktanya menjadi PNS adalah petaka untuk anak-anaknya.
Petaka ini dimulai ketika anaknya SD. Singkat saja, pada awal adanya subsidi Dana Bantuan Operasional Sekolah (Dana Bos) teman-teman sebaya anaknya mendapat bantuan buku dan seragam gratis dari sekolahnya, mereka juga mendapat uang saku beberapa ratus ribu 6 bulan sekali. Sedangkan Dia? Dia melihat saja karena katanya mampu. Padahal faktanya kala itu, para penerima subsidi adalah anak dengan penghasilan orang tua diatas 10 juta rupiah, dengan tas trolley, Sepatu import, Handphone blackberry, dan jam tangan canggih. Seorang anak PNS diajarkan untuk menerima dan mengerti kondisi orang lain. Sejak dini Ia telah di doktrin untuk berfikiran positif dan iba dengan orang yang status finansialnya diatasnya.
Petaka selanjutnya dimulai ketika SMP. Mayoritas anak mendapatkan pendaftaran cuma-cuma untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP). Mayoritas tersebut berasal dari keluarga yang finansialnya bisa dianggap sangat cukup. Kebanyakan adalah anak pengusaha batu alam dengan rumah lebih dari satu, mobil lebih dari satu, dan Ibu lebih dari satu juga. Ayah mereka adalah orang-orang terpandang, yang lebih menjijikkan adalah mereka mendapatkan daging qurban dari sekolah setiap tahun, padahal dalam norma agama tidak seharusnya seperti itu.
Saya anak PNS dengan uang saku 5 ribu rupiah kala itu, masih harus digunakan untuk biaya transportasi berupa bus umum 2 ribu. Sedangkan mereka, uang saku bisa 10 hingga 20 ribu perhari dengan jemputan hangat dari sopir keluarganya. Itu adalah gambaran anak-anak pemegang KIP.
Orang tua PNS, menyisihkan gajinya untuk membayar subsidi untuk orang-orang yang terdampak Covid-19. Padahal Ia hanya PNS golongan 2, dengan gaji dibawah 3 juta rupiah. Kalau mereka sakit keras? Tidak semuanya tercover oleh BPJS dan harus ditanggung sendiri untuk bertahan hidup. Apa instansi membantu? Tidak, seteah operasi saja diberi intervensi dari rekan-rekan kerjanya. Lantas mengapa mereka masih harus memikirkan derita orang lain?
SMA juga masih menggunakan sistem subsidi KIP. Tentu ada anak-anak yang berhak mendapatkannya, tetapi mayoritas tidak berhak. Manipulasi data tentu saja telah dilakukan, dengan dalih pendapatan orang tua anjlok terdampak Covid-19, padahal nyatanya semakin ramai. Apakah mereka tidak takut Tuhan? Apakah kebohongan demi kenyamanan pribadi sudah dinormalisasi? Sewaktu SMA mungkin tidak terlalu terasa mencekik, karena sebagai anak PNS, Saya masih punya penghasilan tetap dari berjualan minuman di kantin. Tetapi, sangat terasa ketika kuliah, bagai sapi perah pemerintah.
Masa kuliah, dengan orang tua PNS golongan 3. Gaji gabungan kedua orang tua hanya mencapai 3,4 juta rupiah. Kala itu, Saya diterima di PTN Top 5 di Indonesia. Konon katanya, PTN itu lebih murah daripada PTS. Faktanya, UKT yang dipatok PTN lebih tinggi dari PTS, kenapa ada paradigma terbalik macam ini? Kita simpulkan saja sebagai kemunduran sistem Pendidikan. Kala itu Saya mendapat UKT 6 juta rupiah, dengan biaya hidup 1,5 juta rupiah perbulannya, padahal salah seorang dari orang tua sedang sakit kanker dan harus rutin berobat dirumah sakit. Memang ada beberapa beasiswa kala itu, tetapi syaratnya harus dari keluarga tidak mampu. Padahal apabila di kalkulasi Saya juga tidak mampu, tapi ada persyaratan lain yaitu tidak boleh anak PNS. Sungguh itu menghancurkan hati Saya, padahal selama 2 semester, Saya membuktikan diri Saya mampu dengan ikut serta di Organisasi Mahasiswa Universitas seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas dan aktif mengikuti beberapa project besar Universitas. Tetapi ternyata semua itu hangus hanya karena label anak PNS. Harus memerah diri seperti apalagi agar mendapat subsidi dari pemerintah. Sedangkan kondisi salah seorang dari orang tua sudah sakit parah dan memerlukan biaya yang fantastis.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia salah satu bunyi semboyan yang Kita agung-agungkan. Adil bagi siapa? Bagi yang kaya? Bagi yang miskin? Apa kabar yang terhimpit di tengah-tengah, apakah jadi PNS itu adalah profesi warisan, anak PNS harus jadi PNS juga karena orang tua mampu menyekolahkan hanya itu, Kami dituntut menjaga kewarasan dan mencari beasiswa atau bekerja untuk bisa berkuliah. Beasiswa apa yang mereka maksud? Mereka menuntut dan memandang kami hidup penuh kemapanan. Tetapi, kebijakan-kebijakan tidak pernah berpihak pada kita. Kenaikan UKT, Covid-19, kenaikan harga BBM, kenaikan harga barang pokok. Lalu, munculah statement `kuliah hanyalah Pendidikan tersier` dari mulut seorang tenaga pendidik. Apakah orang kaya saja yang bisa mendapatkan Pendidikan Tingkat lanjut, atau orang miskin dengan tunjangan seumur hidupnya, orang yang terhimpit di tengah strata masyarakat bagaimana nasibnya.
Profesi PNS memang memberikan kata cukup bagi hidup saya, cukup S1, cukup kuliah di dekat rumah, cukup makan tempe tahu saja setiap hari, cukup tidur di kos bertembok panas dan cukup di kampus saja. Saya anak PNS, Saya butuh beasiswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H