Mohon tunggu...
Edelin Fortuna
Edelin Fortuna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta

Saya adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi yang tertarik dengan tren tren gaya hidup terkini untuk diikuti pergerakan beritanya

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kontribusi Media Sosial terhadap Penyebaran Hoaks dan Disinformasi

3 Desember 2024   11:08 Diperbarui: 3 Desember 2024   11:12 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial adalah salah satu media massa yang berada di titik puncak kejayaannya karena membludaknya pengguna media sosial. Dikutip dari RRI (2024), sebanyak 167 juta masyarakat Indonesia atau setara dengan 63 persen populasi Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial. Hal ini disebabkan media sosial merupakan media paling efektif dalam penyebaran dan penerimaan informasi yang tentunya tidak luput dari adanya internet. Selain itu, penyebaran informasi yang mudah turut disebabkan oleh tidak adanya aturan yang membatasi pengguna dalam menyebarkan informasi. Kemudahan yang disuguhi media sosial justru membawa permasalahan baru juga untuk masyarakat. Hoaks adalah salah satu permasalahan baru akibat dari kebiasaan masyarakat dalam berbagi informasi tanpa melakukan verifikasi kebenarannya. Pada dasarnya, semakin mudah informasi didapat, semakin menjadikan masyarakat mudah tertipu oleh informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena cukup sulit untuk dibedakan.

Media sosial memberi kontribusi terbanyak dalam menyebarkan berita tidak terpercaya. Sebanyak 92.40% berita hoaks berasal dari media sosial yang meliputi Instagram, Facebook, dan Twitter (X) (Rahmadhany et al., 2021). Dikutip dari We Are Social (2024), ketiga media sosial itu pun menduduki enam aplikasi dengan pengguna terbanyak di Indonesia dengan sebanyak 85% penduduk Indonesia menggunakan Instagram. Tidak hanya kalangan tua, tetapi juga kalangan muda bahkan orang terpelajar sekali pun turut menjadi korban hoaks di Indonesia. Data menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama usia 15 -- 34 tahun, aktif di internet dan media sosial setiap hari dengan rata rata waktu yang dihabiskan sebanyak 3 jam 45 menit sehari (Rahmadhany et al., 2021). Data tersebut menobatkan Indonesia sebagai rerata penggunaan media sosial terbanyak kesembilan di dunia sehingga fakta tersebut menandakan bahwa risiko penduduk Indonesia terpapar hoaks sangatlah tinggi (A. Wulandari, 2024). Lalu, apa penyebab terjadinya penyebaran hoaks yang jumlahnya tidak sedikit itu?

Kemudahan yang ditawarkan media sosial menjadi jembatan pada akses kriminalitas siber yang tinggi. Beberapa kemudahan selain kemudahan mengakses informasi untuk disebarkan dengan cepat dan luas, antara lain kemudahan pembuatan akun mulai dari registrasi sampai jumlah pembuatan akun yang tidak terbatas. Seorang individu dapat membuat lebih dari tiga akun yang diciptakan untuk menyebarkan berita bohong. Hal ini dimanfaatkan sebagai bisnis buzzer untuk menyebarkan citra baik maupun menjatuhkan pihak lain. Contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Saracen yang dilakukan dengan menyebar konten SARA dengan kata kata, narasi, dan meme yang berpandangan negatif terhadap kelompok masyarakat. Polisi akhirnya menyita barang bukti berupa 50 kartu sim, hard disk CPU dan sebuah hard disk komputer jinjing. Media sosial berupa Facebook dibuat menjadi forum untuk bisnis buzzer oleh Saracen. Saracen sendiri dimanfaatkan jasanya oleh pengguna yang bermuatan motif politik (Yandip Prov Jateng, n.d.). Peristiwa ini jika dibiarkan terus menerus akan menimbulkan perpecahan bangsa karena terprovokasi dan diadu domba.

Selain beberapa kemudahan yang disediakan media sosial, filter bubble dan echo chamber mempengaruhi lingkup internet pengguna. Filter bubble adalah algoritma yang membuat penggunanya mendapat konten serupa dengan aktivitasnya di media sosial. Aktivitas yang dideteksi dapat berupa like, comment, share, hingga history penggunaannya (V. Wulandari et al., 2021). Algoritma yang dihasilkan akan memberi rekomendasi berdasarkan informasi yang dibutuhkan individu dan sebenarnya diciptakan untuk mempermudah proses pencarian di media sosial (Andini & Yahfizham, 2024). Sementara itu, echo chamber atau ruang gema adalah situasi di mana seseorang disodori informasi sejenis berulang ulang sehingga lama kelamaan dianggap sebagai suatu kebenaran. Kedua komponen ini saling berkaitan karena pada dasarnya fenomena echo chamber ini disebabkan oleh filter bubble. Fenomena ini menjadikan pengguna berperspektif sempit dan hanya terpaku pada "kebenaran" yang selama ini diyakinkan dari doktrin konten konten sejenis sehingga semakin sulit membedakan mana yang hoaks dan yang bukan serta mengimitasi hoax tanpa pemikiran kritis. Akibatnya, kita menjadi tidak melihat perspektif alternatif yang berbeda gagasan dan secara sosial menimbulkan segregasi sosial berupa social trap. Social trap atau biasa disebut jebakan sosial adalah situasi dimana suatu masyarakat atau kelompok terjebak dalam informasi yang salah dan menimbulkan kecemasan, bumerang, bahkan permasalahan ekonomi (Pratama, 2019).

Seperti hoax yang beredar pada awal 2018 tentang adanya telur palsu atau telur plastik yang diduga berasal dari produksi China. Berita ini tentu menimbulkan keresahan warga karena telur adalah salah satu sumber protein sehari hari masyarakat yang cenderung mudah didapat daripada jenis protein lain. Hal ini juga merugikan para peternak telur karena turunnya jumlah penjualan telur akibat keskeptisan masyarakat terhadap isu telur plastik (Putri & Fajarwati, 2018). Berita ini akhirnya diredam dengan pembuktian langsung oleh DKPKP bekerja sama dengan PD Pasar Jaya serta dokter hewan apakah telur yang dikatakan plastik adalah telur palsu atau bukan. Berkebalikan, ternyata hasilnya menyatakan bahwa telur tersebut adalah telur berkualitas. Walaupun salah satu penyebab tersebarnya hoaks adalah masyarakat yang mengalami culture lag, ada kontribusi dari internet dan media sosial itu sendiri mengapa proses penerimaan informasi dari media sosial tidak dapat berjalan dengan baik sehingga mempengaruhi tindakan dan perilaku apa yang selanjutnya ada di dalam diri penerima informasi.

Meminimalisir penyebaran hoaks dapat dimulai dari usaha preventif terdekat melalui edukasi pada masyarakat pentingnya berliterasi digital. Dengan berliterasi digital, masyarakat diharapkan mampu membedakan mana berita yang terverifikasi dan mana berita yang simpang siur dengan cara berpikir kritis. Pada akhirnya, yang menyesuaikan adalah masyarakat karena teknologi dilahirkan untuk memudahkan manusia. Jika ujungnya malah membawa kesesatan, itu dapat terjadi di mana masyarakat tidak bisa mengimbangkan intelektual dengan perkembangan teknologi yang masuk atau bisa kita sebut culture lag. William Ogburn sendiri mendefinisikan culture lag sebagai kondisi di mana masyarakat perlu penyesuaian terhadap perkembangan teknologi.

Untuk mencegah hal hal negatif tersebut, warga bisa melakukan verifikasi terhadap info yang telah diterima melalui website yang diprogram Kominfo untuk mengecek apakah sebuah berita dikatakan hoaks atau tidak. Pemerintah bisa bekerja sama dengan kelompok masyarakat, influencer, atau media sosial tertentu agar warga bisa mengetahui usaha preventif melalui website tersebut. Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk mengontrol perputaran berita, khususnya selama situasi rawan, seperti era pemilu. Berhubung adanya peningkatan jumlah buzzer selama pemilihan berlangsung, pemerintah diharapkan dapat mengawasi berita yang beredar agar konten tidak benar dan berbahaya yang dilakukan oleh buzzer politik ataupun oknum yang tidak bertanggung jawab lainnya bisa terkontrol dan tidak membludak (Adam & Halimatusa'diyah, 2024). Hal ini sangat krusial dan penting dicari jalan keluarnya karena pada dasarnya aktivitas buzzer selain menyebarkan citra baik adalah menjatuhkan tim lawan dengan isu bohong hingga pencemaran nama baik, sehingga pihak yang dirugikan tidak hanya penerima informasi tetapi juga orang yang menjadi sasaran.

Selain usaha preventif, pemerintah perlu menegakkan supremasi hukum yang ada dengan pengambilan tegas terkait penyebaran informasi medis palsu atau tidak benar karena berisiko memperlemah integrasi bangsa (Fakta, 2023). Semua bentuk ikhtiar itu diharapkan dapat membantu dalam pengurangan penyebaran dan jumlah korban hoaks.

REFERENSI

Adam, R., & Halimatusa'diyah, I. (2024). Political Buzzer Networks as Threat to Indonesian Democracy. Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat UIN Jakarta. https://ppim.uinjkt.ac.id/2024/09/11/political-buzzer-networks-as-threat-to-indonesian-democracy/

Andini, A., & Yahfizham. (2024). Analisis Algoritma Pemrograman Dalam Media Sosial Terhadap Pola Konsumsi Konten. Jurnal Arjuna: Publikasi Ilmu Pendidikan, Bahasa Dan Matematika, 2(1), 286--296. https://doi.org/https://doi.org/10.61132/arjuna.v2i1.523

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun