Di era digital yang sedang berlangsung, internet dinilai sebagai teknologi termutakhir yang menjembatani inovasi dan kemajuan baru di segala bidang. Kemajuan teknologi dan informasi melahirkan media baru sehingga menjadikan semua hal dapat diakses dengan mudah secara daring (Alexander & Junaidi, 2022).
Hal ini tentu menimbulkan konsep dan paradigma baru dalam mengakses informasi, seperti preferensi masyarakat dalam menjadikan suatu sumber sebagai ladang informasi (Utami, 2021). Fenomena ini mengakibatkan adanya tranformasi penyebaran informasi, sehingga muncullah praktik baru dalam bermedia.
Salah satu bentuk aktivitas bermedia yang baru baru ini muncul adalah homeless media, yaitu media tanpa beranda khusus dalam mengunggah cuplikan berita dari suatu sumber ke platform digital, seperti media sosial (Nugroho, 2024). Transformasi jurnalisme tradisional ke modern seperti yang dilakukan homeless media ini diyakini lebih efisien dan tersebar dengan cepat di media sosial.
Namun, dengan adanya homeless media, keberadaan jurnalisme tradisional terancam karena lebih menarik audiens yang besar dengan memanfaatkan penggunaan media sosial walaupun memanfaatkan produk jurnalisme tradisional sebagai bahan berita (Riyanto, 2024). Perlu disadari, ada beberapa intisari yang ditawarkan homeless media namun mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap jurnalisme tradisional sebagai sumber informasi.
Dalam menyajikan informasi, homeless media dan jurnalisme tradisional bersaing untuk mencapai jumlah audiensi yang tinggi. Namun, kecepatan yang ditawarkan homeless media membuat media tradisional yang digunakan jurnalisme profesional tertinggal untuk mencapai engagement tinggi. Akhirnya, tak jarang masyarakat akan mengetahui suatu berita dari yang mereka dapatkan terlebih dahulu di media sosial (Media Lintas Komunitas, 2024). Dibanding penyajian berita di media konvensional, keringkasan berita dengan desain yang disajikan homeless media pun menjadi daya tarik tersendiri (Arlinda, 2024).
Pendekatan seperti ini sangat menarik perhatian masyarakat untuk mengunjungi konten yang disajikan homeless media dan mendorong interaksi, seperti menyebarkan konten dengan mudah (Budiman, 2024). Sehingga, banyak konten yang disajikan pada jurnalisme konvensional diadaptasi dengan homeless media demi mendapatkan audiens yang lebih tinggi dan meraih arus pendapatan yang lebih besar (Syiam, 2024).
Jurnalisme tradisional biasanya terpaku dengan aturan yang ketat berupa kode etik dan SOP yang ketat untuk memastikan informasi yang disampaikan terverifikasi kebenerannya dan memenuhi standar jurnalistik (Aldiah, 2019). Namun sebaliknya, homeless media sering melewatkan proses verifikasi apakah berita tersebut layak dipublikasikan atau tidak demi menghasilkan konten yang up-to-date dan serba cepat (Latifa, 2024). Fenomena ini dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap media sehingga turut merugikan reputasi jurnalisme tradisional atas ketidakakuratan berita (Ningrum et al., 2024).
Selain menghindari ketidakakuratan berita, seorang jurnalis perlu menghormati privasi seseorang untuk dijadikan pengalaman kehidupannya dijadikan berita. Berdasarkan Kode Etik Jurnalistik Pasal 2, wartawan perlu menempuh cara yang profesional dalam melakukan aktivitas jurnalistik (Nugroho, 2015). Di samping itu, homeless media terkadang mengadaptasi sumber dari masyarakat dan dijadikan headline tanpa ijin dari pihak yang bersangkutan. Sangat disayangkan dalam hal menjaga privasi dan perizinan terhadap narasumber, homeless media acapkali mengabaikannya demi menciptakan konten yang sensasional (Riyanto, 2024).
Homeless media cenderung memposting konten sesuai dengan karakteristik audiens demi mendapatkan audiens yang tinggi. Akhirnya, homeless media cenderung menyediakan konten konten menarik yang bersifat sensasional (Eka, 2023). Berita sensasional pun akan terus viral dan tinggi audiensnya. Akibatnya, berita investigasi yang dilakukan jurnalisme tradisional akan tenggelam dan tidak tersorot karena pada dasarnya salah satu harus tersingkirkan, sementara yang lain jadi prioritas (Chatra, 2010).
Saat ini, masyarakat memang lebih sering melihat dan mengetahui suatu berita melalui media sosial dibanding mencari dengan konsen, hal ini menjadi faktor mengapa homeless media semakin berkembang sebagai sumber informasi. Namun, menurut Program Manager Medialink Insight, pada saat ini, posisi jurnalisme warga yang menghasilkan homeless media tersebut masih dalam berdebatan apakah output-nya termasuk ke dalam kategori produk jurnalistik atau bukan (Sasongko, 2024).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI