[caption id="attachment_84785" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Terus terang saya masih malas untuk menulis. Bukan karena apa-apa, bukan pula karena pesimis, tetapi takut semakin menekan dan menyusahkan masyarakat yang sudah terlalu jenuh dengan berbagai analisa, informasi, serta juga opini. Namun ketika membaca sebuah "sudut" di Kompas tentang perusahaan penerbagan Mandala yang akhirnya menghentikan sementara operasinya, saya tersentuh dan terdorong juga untuk menulis. Terutama pada bagian yang ada baiknya saya kutipkan saja sebagai berikut "Namun, bisa jadi pendapat bahwa ”jagoan di luar belum tentu di Indonesia”, itu benar. Pasar Indonesia memang ”ajaib”. Loyalitas kepada maskapai bergantung pada murahnya tiket bukan merek. Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang haus pelayanan dan gengsi. Berapa pun harga tiket Garuda, tetap dipilih." [Kompas, 14/1/11] Tulisan MAs Haryo Damardono yang tidak sepenuhnya salah itu memerlukan koreksi atau pelurusan dari sudut pandang berbeda. Mungkin memang tidak banyak publik yang tahu bahwa sekitar 3 tahun lalu Kementerian Keuangan telah mendapatkan tambahan Remunerasi untuk seluruh pegawainya yang berjumlah sekitar 62 ribu orang yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Berbarengan dengan itu dikeluarkan pula aturan yang secara bertahap dari pusat dan daerah mengharuskan seluruh PNS yang bertugas atau melakukan perjalanan dinas mempertanggungjawabkan penggunaan keuangannya secara at cost, terutama untuk hotel dan biaya transportasi. Perubahan peraturan ini tentu saja dimaksukan demi perbaikan sistem keuangan negara dan juga bertujuan baik untuk memudahkan PNS yang bertugas serta berbagai sasaran lainnya yang tentu saja sudah diperhitungankan masak2 oleh Kemkeu yang mengeluarkan aturan tersebut. Namun apa mau dikata, nyaris seluruh PNS yang bertugas keluar kota, terutama yang menggunakan moda transportasi udara/pesawat, tidak punya instentif lain lagi untuk menggunakan penerbangan lain, selain GARUDA yang memang secara umum lebih baik dari penerbangan lain untuk saat ini. Meski harga tiket paling tinggi, para PNS yang berjumlah sekitar 4 juta orang itu ditambah dengan pegawai semi PNS lainnya di PEMDA maupun pusat, dengan terpaksa "memboroskan" dana perjalanan untuk membayar tiket Garuda. Berbeda kondisinya dengan tiga tahun lalu, persisnya ketika aturan at cost belum diberlakukan. PNS yang bertugas masih dapat memanfaatkan tiket murah dari Mandala, Lion air, Adam air, dan lain-lain dengan harga yang bervariasi dari 30 hingga 80 % harga tiket Garuda. Sisa dana masih bisa dikantongi untuk tambahan belanja makan serta oleh-oleh yang dapat menggerakkan sektor riil. Memang demikian kejadiannya, sehingga penerbangan selain Garuda masih dapat kecipratan "seat" yang lumayan untuk keberlangsungan usaha mereka. Memperhatikan kondisi penerbangan Mandala yang akhirnya menutup sementara operasinya, maka sudah selayaknyalah pasar maupun pemerintah memperhatikan hal-hal lain, terutama kebijakan pemerintah yang dikeluarkan disamping urusan terkait dengan bisnis penerbangan itu sendiri. Jauh-jauh hari dulu saya sudah memperkirakan akan bergugurannya penerbangan kecil dan hotel2 kecil jika aturan at cost ini terus dijalankan oleh pemerintah. Tidak bisa dimungkiri kemajuan yang dicapai oleh Garuda akhir2 ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kondisi"terpaksa" nya PNS yang bertugas memilih garuda karena alasan keselamatan, kenyamanan, dan karena memang uang perjalanan harus diserap. Banyak PNS yang mengeluh atas kondisi ini, tertutama golongan bawah. Pelaksanaan at cost di satu sisi memang baik untuk memberi pengajaran agar tidak perlu lagi "mencuri-curi" dari biaya penerbangan atau hotel, namun disisi lain bagi PNS yang penghasilannya masih sangat rendah setiap bulannya, selisih harga tiket dan harga kamar hotel sudah sangat membantu untuk tambahan penghasilan mereka, sekaligus menghidupkan sektor riil. Namun untuk teman2 dari Kemkeu yang sudah sangat tinggi remunerasinya tentu hal itu menjadi cerita lain, dan tidaklah mungkin diharapkan bisa diubah lagi karena mereka memang sudah berkecukupan. Kondisi ini sebaiknya disiasati dengan baik oleh industri penerbangan kecil selain Garuda, karena tanpa mempraktekkan management yang tepat bisa-bisa hanya tinggal Air Asia yang mampu bersaing. Untuk Garuda, janganlah lengah, pongah dan bertepuk dada, management anda harus juga tahu situasi ini jika tidak ingin terlena dalam memberikan pelayanan maksimal kepada konsumen. Sekilas memang terkesan ada kelompok masyarakat yang gila gengsi untuk tetap naik Garuda, berapa pun harga tiket. Tetapi sesungguhnya, diluar eksekutif swasta, bisa jadi kelompok yang kelihatan gila gengsi itu sebetulnya "tapakso" saja menghamburkan uang negara, karena memang dipaksa dan digiring aturan dari Kementerian Keuangan. DAn saya juga termasuk kelompok yang "tapakso" tadi. Bagaimana dengan anda?
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H