Mohon tunggu...
Eddy SATRIYA
Eddy SATRIYA Mohon Tunggu... -

Kolumnis di berbagai media cetak dan elektronik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum “Bagarah”

15 Januari 2012   16:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:51 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13266468812027686001

“Maaf pak Menteri, anggaran kami untuk membeli laser pointer ini masih dibintang!” begitulah jawaban tangkas Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal menyambut gurauan yang disampaikan salah seorang Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dalam sebuah rapat besar di Jakarta, menjelang akhir Agustus 2011 yang baru lalu.

Tidak pelak lagi jawaban Wamen Fasli menderaikan gelak tawa peserta rapat yang tergolong serius itu. Sebelumnya Menteri yang mempimpin rapat mencandai Wamen Fasli yang tampak kesulitan menggunakan “laser pointer”. Sang Menteri kemudian menawarkan “laser pointer” miliknya sambil bergurau.

“Solo-manyolo” di dalam rapat penting tersebut yang mengiringi paparan Wamen Fasli tentang kesiapan dan rencana pengembangan SDM dan Iptek di Indonesia dalam rangka mensukseskan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), telah membuat rapat penting itu menjadi semarak dan tidak kaku lagi.

Mengamati gurauan antara Menteri pemimpin rapat dan Wamen Fasli tersebut membuat saya spontan mengetikkan SMS kepada Wamen Fasli yang tembusannya saya kirimkan pula kepada Menkominfo Tifatul Sembiring yang juga senyum simpul memperhatikan kurenah Wamen Fasli.

***

Ketika itu pikiran saya melayang ke masa lalu. Masa kanak-kanak yang saya habiskan mulai dari TK hingga tamat SMA di Bukittinggi. Terlintas kenangan masa kecil ketika setiap pulang sekolah saya mampir ke toko Gaek yang berjualan di Pasar Atas. Pada awal tahun 1970-an itu saya ikut membantu Gaek dan paman yang berjualan berbagai jenis barang terbuat dari besi seperti pisau, cangkul, sabit, cetakan kue, seterika arang, rantai anjing hingga ladam atau tapak kaki kuda yang terbuat dari besi dan pakunya yang khas untuk dihunjamkan ke kuku kaki kuda.

Secara langsung saya menyaksikan tata cara atau kiat berdagang, berdalih, membujuk pembeli, hingga trik untuk menahan calon pembeli agar setia menunggu sementara kita mencarikan barang yang mungkin tidak tersedia atau kehabisan stok di toko kita. Itulah ilmu dasar berdagang yang tidak ada sekolahnya, harus dilihat dan dijalani sendiri.

Ketika sore hari tiba, sayapun sering duduk disamping  paman atau Gaek yang sudah mulai bermain domino. Permainan domino adalah permainan rakyat dan kaum pedagang. Permainan domino yang diselingi dengan taruhan Teh Talua khas Minang menjadikan sore mereka begitu santai, menjadi semacam hiburan setelah lelah bekerja mencari uang. Gelak canda, cemeeh, “solo-manyolo” tak henti2 mereka umbar ketika ada yang lucu atau ada kejadian penting yang sayang kalau dilewatkan begitu saja. Tidak jarang juga cemeeh mencemeeh ini berujung kepada ketegangan. Namun biasanya tidak lama, seorang yang merasa tua atau dituakan dengan gayanya yang khas akan mampu menjernihkan suasana. Besokpun dipastikan mereka kembali bermain dengan pasangan masing-masing, sedangkan kedai mereka ditunggu oleh orang suruhan atau Saudara.

Ketika menginjak remaja, saya pun sering menghabiskan waktu pada akhir minggu untuk bersama teman-teman menonton “Band” atau acara musik yang dimainkan oleh pemusik lokal yang pada kurun waktu 1970-an diadakan di Pasar Banto, persis di bawah kaki Janjang Ampek Puluah yang terkenal itu. Berbagai jenis musik dimainkan. Lagu-lagu pop barat, lagu Indonesia hingga lagu Minang modern dan tradisional seperti langgam Melayu dan Gamat dimainkan bergantian disana.

Sehabis menonton Band, biasanya acara hiburan dilanjutkan dengan seni tradisional Randai yang dimainkan berkelompok, atau musik tiup Saluang yang dimainkan di beberapa pojok Pasar Banto. Saya menikmati semua itu, terkadang hingga lewat tengah malam.

Menonton Randai dan menikmati musik Saluang sungguh asyik. Gerakan-gerakan dinamis diselingi hentakan dan gumaman lagu yang mempunyai arti, benar-benar membawa kita ke alam cerita dengan topik tersendiri. Begitu pula keluh kesah, nyanyian sedih, perih dan rasa rindu akan orang rantau atau orang yang dicinta berpalut menjadi satu kala kita menikmati Saluang di salah satu pojok Pasar Banto

Menjelang lulus SMA sayapun sering diajak orang tua yang ketika itu sering harus berperan sebagai Mamak dalam berbagai acara keluarga seperti Lamaran atau Timbang Tando hingga ke acara pesta perkawinan dan kematian. Setiap rangkaian acara selalu dibuka dan ditutup dengan berbagai pepatah petitih yang memang hingga kini wajib dilaksanakan. Ringkas cerita, mau naik rumah, mau makan atau minum hingga pamit kembali ke rumah masing-masing, selalu harus didahului dengan rangkaian pepatah petitih. Untuk mampu berpepatah petitih tersebut dibutuhkan latihan, kecerdasan, ketangkasan dan reflek otak yang tidak mudah dan sembarang orang mampu melaksanakannya.

***

Cemeeh mencemeeh, solo-manyolo, berbalas pantun, menghayati musik Randai dan Saluang, berdebat, serta berpepatah petitih membutuhkan sesuatu bakat dan juga latihan. Saya tidak menguasai semuanya, tapi berkesempatan menikmati dan memahami bagaimana rangkaian budaya Minang itu kemudian hari berperan dalam pembentukan watak seseorang.

Tidak semua anak Minang berkesempatan memperoleh pengalaman budaya seperti yang saya dapat.Kita menyaksikan bahwa sebagian rangkaian budaya itu mungkin sudah mulai tergerus. Pasar Banto sudah tidak menyediakan lagi lahannya untuk Randai dan Saluang. Lagu-lagu Gamat dan Melayu yang mengajarkan spontanitas berpantun hanya sesekali terdengar dari toko-toko yang menjual kaset. Kalaupun masih ada, berbagai acara itu mungkin juga sudah tidak menarik lagi bagi anak-anak kita di kampung karena pergeseran budaya yang diperrumit lagi oleh kehadiran berbagai teknologi dan “gadget” Telematika seperti Facebook dan Twitter. Kondisi terjauhkannya generasi muda dari akar budaya Minang memang lumrah terjadi di era globalisasi ini.

***

Karena itulah saya spontan berkirim SMS kepada Uda Fasli ketika ia masih memberikan paparan dihadapan beberapa Menteri lain dalam rapat penting itu. Sebagai seorang Minang yang menjabat Wakil Menteri, Uda Fasli sudah memperlihatkan kemampuannya yang memukau peserta rapat. Bukan hanya isi paparannya, tapi “joke” serta gurauan nya mendorong saya untuk menulis SMS yang isinya adalah agar kita mengadakan Kurikulum “Bagarah”  atau saya sebut saja dengan “Debat Eksekutif”. Kurikulum ini agar bisa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah di seluruh Sumatera Barat, yang bertujuan untuk melatih putra-putri Minang untuk mampu, melatih logika, melatih keterampilan berdebat dan berpidato, serta berbicara di depan umum. Bahan ajaran yang berisikan bagaimana latihan berdebat yang didasarkan dari budaya Minang yang positif itu bisa menjadi kurikulum wajib atau pilihan di sekolah-sekolah. Bisa untuk tingkat SMP atau SMA. Pada prinsipnya, usulan saya selain melatih kemampuan anak kita dalam berdebat, juga secara tidak langsung menjaga kelestarian budaya Minang, yang bisa saja sudah mulai berkurang atau mulai hilang seiring dengan kemajuan zaman.

Jika hal ini bisa terwujud, maka selain memberikan bekal untuk menjadi pemimpin yang pandai membawa diri dan sekaligus jago berpidato, secara langsung kita juga bisa memberdayakan para pemuka adat untuk berbagi ilmu mereka sekaligus memberikan tambahan lapangan pekerjaan yang tentu sangat membanggakan.

Bagaimana Uda Fasli, Buya Tifatul, dan Pak Gubernur Iwan Prayitno? Semoga budaya “solo-manyolo”, “cimeeh-mancimeeh”, serta kebiasaan bergurau dan “bagarah” bisa menjadi bahan ajaran positif yang diwujudkan menjadi kurikulum di seluruh sekolah di Sumatera Barat, untuk kemudian dikembangkan ke seluruh propinsi yang disesuaikan dengan muatan lokal. Amin!

* Bagarah = bercanda;Solo-Manyolo = debat, cemeeh, silat lidah

_________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun