Sahur terakhir di kampung mertua saya di Banjarmasin, ingin saya tutup dengan shalat berjamaah di mesjid terdekat. Meski suara azan subuh terdengar dimana-mana dan cukup dekat, saya tidak tahu persis berapa jauh mesjid itu berjarak dari rumah adik ipar saya yang berada di samping Kodim di jalan S Parman ini.Â
"Jauh Kak, harus naik motor pian!" begitu adik saya memberi info. "Tapi kalau di samping sini ada saja mushalla!" imbuhnya. Namun dari nadanya saya juga agak ragu, ada getaran kurang yakin akan petunjuk yang diberikannya. Dengan niat ingin shalat berjamaah dengan masyarakat sekitar, saya menuju pintu pagar yang dibukakan oleh penjaga rumah. Sebelumnya saya juga dapat info kalau terus masuk ke Gang S Parman 1, tempat rumah dinas yang dia diami, juga ada Langgar atau Mushalla yang biasanya cukup rame.
Meski penjaga rumah menunjukkan arah ke kanan menuju jalan S Parman raya, saya memilih belok kekiri menuju gang buntu itu.
Gelap subuh masih menggantung. Dinginnya udara pagi Banjarmasin yang cukup ekstrim antara siang dan malam, membuat leher saya terasa sejuk dan angin memaksa saya menarik dan menaikkan sweater untuk melawannya. Sambil berjalan mata saya mengawasi setiap rumah yang saya lewati. Gang itu sepi meski lampu penerangan cukup baik. Beberapa pojok rumah menyimpan gelap dan temaram. Syahdunya subuh di negeri Antasari terasa menambah arti di hari terakhir Ramadhan.
Meski buntu, dan gang mengecil, saya dihadapkan pada jalan bercabang. Suara azan dari kejauhan terdengar jelas. Sahut menyahut menyambut fajar. Tetapi tidak ada tanda-tanda Mushalla. Tiga orang anak kecil duduk di bangku kayu sambil bercanda. Dari jarak agak jauh saya bertanya dimana Mushalla atau Langgar yang saya cari. Mereka tidak mendengar dengan baik nampaknya karena sedang bermain dan ngobrol sesamanya.
Saya mendekat, bertanya lagi. Si Anang yang berbaju kaos oblong putih menunjukkan tempat Mushalla yang tidak terlalu jauh. Mereka bertiga dengan baik dan hormat mengantar saya ke Mushallah yang di Gand SDN itu.Â
Mushallah masih terkunci, meski suara azan dari mesjid dan mushalla sekitar sudah hampir habis. Sudah melafazkan "Asshalatukhoirumminannaummmm...!". Si Anang mengambil kunci di atas pintu langgar dan membukakan mushallah kecil tiga shaf itu untuk saya. Karena sudah berwudhu, saya berniat shalat sunah subuh. Sebelumnya saya sempat meminta anak2 itu untuk Adzan.
"Kada bisa kak" dengan malu2 atau pura2 mereka menjawab dan menjauh.
Saya melanjutkan shalat sunah, dan ketika selesai ada satu orang makmum baru datang naik motor. Ia pun bertanya, "sudah Adzan?".
"Belum" jawab saya.
Makmum berbaju batik agak lusuh ini segera mengambil inisiatif mau adzan dengan menyalakan amplifier dan mengetok-ngetok microphone lalu Adzan. Baru beberapa saat adzan, saya dengar dia memperbaik mic yang kresek-kresek. Suaranya hilang timbul ditelan pagi yang dingin itu. Sambil tangan kirinya memencet-mencet kabel, ia terus menyelesaikan Adzan. Seorang makmum lagi datang dan kemudian membantu membereskan suara microphone yang semakin terdengar kresek-kresek di Speaker yang dipasang di atas atap.