Mohon tunggu...
Eddy SATRIYA
Eddy SATRIYA Mohon Tunggu... -

Kolumnis di berbagai media cetak dan elektronik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hukum, Pancasila, dan Pekerti Bangsa

10 Mei 2014   19:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kita dengar semua sama dihadapan hukum. Juga kita maklumi bahwa lain padang lain pula ilalang. Karena itu bagi sebagian orang yang sudah terbiasa dengan dunia persidangan di sebuah pengadilan, tentulah terbiasa pula melihat tata cara persidangan. Termasuk mendengarkan penggunaan kata "Saudara" kepada para saksi atau terdakwa atau tersangka di dalam sebuah kasus yang sedang di sidang. Kata Saudara dipakaikan kepada semua saksi atau tersangka itu tanpa batas dan pengecualian termasuk kepada orang tua sekalipun. Hal ini terjadi juga ketika Bp, Budiono yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia harus memberikan kesaksiannya dalam kasus yang membelit salah seorang stafnya di pengadilan Tipikor hari Jumat 9 Mei 2014 kemarin. Meski hanya menontonnya selintas saja, saya dapat memahami apa yang terjadi ketika seorang jaksa, atau hakim yang jauh lebih muda harus memanggil Pak Budiono dengan sebutan hanya "Saudara". Anak2 yang jauh lebih muda dengan enteng memanggil "Saudara", sebaliknya pak Bud (demikian kita memanggilnya) dengan ikhlas dan lancar juga memanggil anak2 muda tadi dengan sebutan "Yang Mulia!". Sebenarnya tidak ada yang salah memang.Namun sebagai orang timur dan Bangsa yang berbudaya, rasa jengah saya terpancing. Apalagi sebagian dari jaksa dan hakim atau perangkat pengadilan tersebut juga tanpa ragu terkadang memanggil dengan sebutan Bapak, yang jauh lebih enak di dengar. Mungkin di dalam hati mereka juga timbul kebimbangan antara dengan lantang memanggil "Saudara" atau dengan sopan memanggil saksi dengan sapaan yang baik, "Bapak". Kita mengetahui bahwa produk hukum kita memang banyak yang diambil atau diturunkan dari hukum Belanda atau negara2 di Eropah yang memang menjadi panutan di bidang hukum sejak zaman kolonial. Sudah selayaknya lah kita bertanya kembali ke diri sendiri, apakah tidak mungkin nilai2 Pancasila yang menjunjung tinggi rasa saling menghormati juga bisa di aplikasikan dalam pengembangan hukum di Indonesia. Misalkan dengan mengganti istilah "Saudara" dalam persidangan tadi dengan "Bapak" atau "Ibu" ketika harus berkomunikasi dengan seorang bapak atau ibu, apalagi yang memang usianya jauh di atas penanya. Tidaklah mudah membohongi hati kita sendiri dalam keseharian. Mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan hati terkadang bisa menjadi siksaan dan mengganggu konsentrasi. Meski lama-lama terbiasa, secara pekerti dan sopan santun dalam suatu bangsa yang ingin menjadi bangsa besar di dunia, maka rasanya hal ini mungkin perlu mendapat perhatian. Tidakkah mungkin mereformasi penggunaan panggilan ini di dalam tata cara persidangan atau aturan hukum kita. Bukankah sudah saatnya kita memperbaiki hal-hal yag memang harus kita tinggalkan karena mungkin sudah tidak sesuai dengan zaman atau juga karena tidak sejalan dengan kepatutan, bahkan nurani sendiri. Saya bukan ahli hukum. Pasti banyak yang berdalih, memang sudah demikian aturannya, tetapi saya juga menyaksikan banyak hakim atau jaksa yang lain justru menggunakan panggilan "Bapak" kepada wapres kita ini kemaren. Jadi mestinya tidaklah harus menjadi kartu mati kita harus menggunakan sapaan "Saudara" kepada saksi yang nota bene tidak harus jadi tersangka, atau bahkan ketika pengadilan justru membutuhkan kesaksian mereka untuk membantu persidangan. Reformasi adalah memperbaiki yang rusak atau salah, meneruskan yang sudah baik, namun juga menyelaraskan segala sesuatu dengan nurani! Semoga ada perbaikan dimasa mendatang, sekecil apapun, sangatlah berarti buat bangsa dan generasi baru. Bukan hanya mempertahankan dengan mata dan hati yang tertutup karena sesuatu sudah menjadi kebiasaan. Semoga reformasi memang bisa merekah di negeri ini, bukan hanya slogan semata. Foto Courtesy of Metro TV dan Youtube.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun