Ini kisah nyata.
17 Agustus 2010. Mumpung liburan, saya dan istri berangkat pagi-pagi dari Surabaya untuk kulakan tanaman di kota Batu, tak jauh dari Malang. Kami punya bisnis persewaan tanaman hias di Surabaya; tanaman biasa kami beli di Batu.
Sekitar pukul 6.45, mobil pick-up yang kami tumpangi berhenti di lampu merah ujung jalan lingkar Pandaan menuju ke Malang. Saya dikejutkan oleh seorang bapak renta, berambut dan berkumis perak, menggunakan peci khas anggota LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), lengkap dengan atribut-atribut yang menempel di seragam.
“Maaf, Nak. Boleh kami menumpang pick-up ini?” kata bapak itu. Ada tiga pria renta lain yang berseragam mirip bapak ini.
“Bapak mau kemana?” tanya saya.
“Kami diundang untuk menghadiri upacara Peringatan Kemerdekaan RI di Singosari. Kami tidak punya cukup uang untuk naik bus,” ujar bapak itu.
“Tapi di depan hanya tersisa satu tempat duduk. Yang tiga harus duduk di bak pick-up di belakang,” kata saya.
“Kami berempat akan duduk di bak pick-up di belakang. Boleh ya?” kata bapak itu.
Saya mengiyakan. Segera mereka naik ke bak pick-up. Salah satu bapak itu, harus dibantu naik karena tubuhnya gemeteran. Di belakang mobil pick-up, beberapa mobil riuh membunyikan klakson karena mobil pick-up saya tak segera melaju saat lampu hijau, lantaran masih sibuk menaikkan 4 bapak itu.
Saya sempat menengok para bapak di bak belakang dan bertanya, ”kena panas dan angin, nggak apa-apa ya, bapak-bapak?”
“Tidak apa-apa!”
Hampir sejam kemudian kami sampai di kota Singosari dan empat bapak itu minta turun di sebuah instansi di mana mereka akan menghadiri upacara peringatan kemerdekaan RI. Satu bapak tadi, setelah mengucap terimakasih, sempat berbicara pada saya. Saya manggut-manggut menunjukkan rasa kagum dan hormat.
Keempat bapak itu harus menunggu lama untuk menyeberang jalan raya ramai kendaraan, menunggu laju kendaraan yang tak punya hati untuk memberi kesempatan empat pejuang veteran berseragam menyeberang jalan. Ketika sampai di jalan seberang, mereka harus pula sering merapat ke tepian jalan karena bolak-balik diklaksoni mobil-mobil pejabat yang minta lewat untuk masuk ke kawasan upacara.
Masih sempat kulihat empat bapak itu menghilang di balik belokan menuju ke lapangan berumput tempat upacara.
Saya meneruskan perjalanan ke Batu. Istriku bertanya :
“Bapak tua tadi bicara apa sama kamu?” tanya istri saya.
“Oh ya, kan sebelumnya tadi aku tanya apakah mereka all right kalau harus kena angin dan panas duduk di bak belakang. Bapak itu menjawabnya barusan.”
“Apa jawabnya?”
“Katanya : Nak, kami dulu berjuang di medan berat, bersabung nyawa di antara desingan peluru musuh, agar negeri ini merdeka dari penjajahan. Hari ini kami bersemangat menghadiri peringatan kemerdekaan ini. Kalau cuma takut kena angin dan kepanasan, apalah artinya perjuangan kami dulu?”
Istri saya menarik nafas panjang dan menatap ke arah lapangan upacara. “Andai saja kita bisa mengantar mereka balik ke Pandaan setelah selesai upacara,” desisnya.
Salam Full Respect untuk Veteran Indonesia! Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H