Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seutas Malam di Apartemen Chiang Mai

26 Februari 2015   18:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:28 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah berkali-kali aku berkunjung ke negeri ini, tapi baru sekali ini merasakan kekuatiran yang menggedor-gedor hati. Betapa tidak, uang bekal jalan sejumlah 7.500 baht yang kuselipkan pada sampul buku Thai Daily Phrases tiba-tiba raib. Kuduga, uang itu tercecer di dermaga Tha Thien saat mengais uang kertas seratus baht dari sampul buku ketika membayar sepiring pad thai untuk makan siang di kedai pinggiran sungai Chao Phraya tadi.

Tadinya aku ingin kembali ke kedai di dermaga Tha Thien untuk bertanya pemilik kedai apakah ada kemungkinan ia melihat uangku. Tapi kuurungkan; bukan tak mungkin uang itu terjatuh di tempat lain. Selain itu, aku kini berada terlalu jauh dari dermaga Tha Thien.

Aku berdiri mematung setelah melompat turun dari bis di depan Chatuchak Weekend Market. Kuhitung uang yang tersisa, cuma tinggal 475 baht, alias 177 ribu rupiah, plus uang rupiah bakal naik taksi dari Juanda ke rumah sebanyak 200 ribu. Mana bisa hidup dengan segitu di Bangkok sampai lima hari ke depan, di hari jadwalku terbang balik ke Surabaya?

Aku merapatkan tali punggung tas backpack yang mulai terasa berat. Panas Bangkok di sore akhir Oktober itu seperti melelehkan kulitku. Aku mulai berpikir.

Chiang Mai! Langsung terbersit nama kota 800 kilometer di Thailand utara. Bangkok bukan tempat yang pas buat cari pinjaman uang. Hanya teman-teman baikku di Chiang Mai yang bisa bantu.

Segera kuhentikan bis nomor 521 yang melintas. Bis tak ber-AC itu melesat ke arah Rangsit, mengirim angin yang menderu liar lewat semua jendela yang dibiarkan terbuka.

Pai sanambin Don Meuang,” kataku pada perempuan kondektur yang segera meraih uang logam 10 baht dari tanganku dan memberi kembalian 3,50 baht, berserta secarik tiket berukuran 2 x 2 cm. Aku memutuskan meluncur ke bandara Don Meuang. Tak ada lagi yang bisa kupikirkan selain terbang ke Chiang Mai untuk menemui teman-teman baikku.

Satu setengah jam kemudian aku sudah merapat di bandara Don Meuang. Jam sudah menunjukkan angka 7 malam. Aku berdiri di depan konter Thai Lion Air.

“Penerbangan terakhir ke Chiang Mai masih ada?” tanyaku pada nong manis petugas ticket sales.

“Masih. 1.560 baht, sudah termasuk bagasi dan airport tax. Mau?” katanya.

“Bisa bayar pakai kartu kredit?”

Dai kha….,” katanya.

Langsung kusodorkan kartu kredit dan paspor.

Sejenak kemudian print out tiket sudah di tangan, tinggal mencari konter check in Thai Lion Air. Dari konter check in, kudapatkan boarding pass-ku; penerbangan nomor SL 8510 pukul 21.40.

Masih ada waktu. Kubeli sebotol air mineral 600-ml merk Crystal seharga 12 baht, melaju ke departure gate dan mencari colokan listrik untuk ngecas HP. Kutemukan satu soket listrik kosong, di antara beberapa colokan yang sudah terisi. Aku turut duduk di lantai berkarpet dengan sejumlah perempuan pakai rok pendek yang dengan seronoknya duduk sembarangan menunggui HP di dekat colokan.

***.

Pesawat Airbus Thai Lion Air itu tiba di bandara internasional Chiang Mai pukul sebelas lebih sedikit, nyaris tengah malam. Sengaja tak kucari pangkalan taxi bandara karena aku tahu ongkos taxi dari bandara ke kota 150 baht, yang bakal mengurangi hartaku saat itu.

Aku menunggu song teeuw di pelataran kedatangan bandara. Asyiknya bandara Chiang Mai; angkot sekelas bemo boleh masuk pelataran bandara untuk antar jemput penumpang.

Angkot warna merah hati kini berhenti di depanku.

Pai thanon Huay Kaew ra ka tao rai, khap?” aku tanya ongkos menumpang ke jalan Huay Kaew pada sopir. Tawar menawar begini biasa di Chiang Mai.

Ha sib baht, khap,” ia menyebutkan angka 50 baht.

Aku mengiyakan dan setengah jam turut berkeliling kota Chiang Mai mengantar masing-masing penumpang ke tujuan. Angkot Chiang Mai memang tak punya rute; ia seperti taksi, bisa diminta mengantar ke mana saja. Bedanya, song teeuw bisa diisi banyak orang dengan beda-beda tujuan.

Ketika turun di jalan Huay Kaew, jarum jam dan jarum menit sudah sama-sama berhimpit di angka 12. Sudah tengah malam.Semilir sejuk angin pegunungan Chiang Mai membelai kuduk.

Aku memutuskan tidak menelepon salah satu teman, sudah terlalu malam. Aku berjalan perlahan dengan tas punggung berat melintas jalan Huay Kaew dan mencari jalan Ratchapruek, jalan kecil yang aku tahu betul dipadati hotel-hotel dan kedai-kedai murah. Sepi mencekam sepanjang jalan Ratchapruek. Sialnya, sejumlah penginapan murah yang kulewati jendelanya gelap, tanda sudah tutup.

Beruntung kutemukan satu hotel dengan meja resepsi yang masih benderang.

“Harga sewa kamar semalam 390 baht, tapi maaf kami tidak terima kartu kredit,” jelas laki-laki di meja respsionis.

“Bayar besok bisa?” kataku.

Khor thot khap, maaf, harus sekarang!”

Aku kembali melintasi jalan. Mulai mengantuk dan tas punggung makin berat saja. Di usia 42 ini, setelah seharian jalan, badan tak bisa diajak kompromi.

Kutemukan satu hotel lagi, dan kudapatkan jawaban serupa. Tak terima kartu kredit. Jalan lagi, belok sedikit, kukunjungi satu meja resespsionis hotel, juga tak terima kartu kredit.

Aku mulai putus asa. Sudah pukul 1 dini hari, dan perut mulai berontak karena tak terisi sejak siang tadi.

Aku berjalan balik ke arah jalan Huay Kaew, dan segera duduk di kursi plastik di satu-satunya kedai pinggir jalan yang masih buka di duni hari itu. Pemilik kedai adalah perempuan tua dengan bandana di kepala.

Khao pad kai neung,” kataku pada perempuan tua penjaga kedai, minta nasi goreng, sembari menuang air dingin ke gelas plastik dari bejana plastik berisi air es gratis tak jauh dari meja.

Selarut itu, kedai ini masih dikunjungi pembeli. Sepasang laki-laki dan perempuan asyik makan sambil mengobrol. Laki-laki itu, muda dan ganteng, sementara si perempuan, luar biasa cantik, dengan kulit cemerlang seperti tampak dari dua tungkainya yang dibiarkan terbuka.

Bukan pemandangan luar biasa. Perempuan muda Thailand memang biasa berbusana minimalis, macam denim shorts dan kaos ketat, kapan saja, di mana saja, seperti yang dikenakan perempuan muda ini.

Sepiring nasi goreng mengepulkan asap itu baru saja disodorkan di mejaku ketika tiba-tiba kudenger suara tak biasa dari sepasang lelaki dan perempuan itu. Suara tarikan nafas melalui tenggorakan yang tersumbat. Di meja sebelah perempuan cantik itu tengah berjuang hebat menghirup udara, memegangi leher dengan kedua belah tangan. Matanya melotot dengan mulut ternganga. Ia pasti tersedak!

Teman lelakinya tak tahu yang harus dilakukan. Ia hanya berteriak-teriak, mungkin memanggil nama perempuan itu.

Aku segera melompat dari tempat duduk, menghampiri punggung perempuan itu. Kuberikan lima pukulan telak dengan tangan terbuka di bilah punggungnya. Ini cara pertama untuk membantu menyingkirkan sumbatan di tenggorok. Tapi ini tak berhasil. Kuraih punggungnya dengan melewatkan kedua tangan di bawah ketiak perempuan itu, kurapatkan ke dadaku, dan dengan kedua tanganku di depan dadanya, kuberikan beberapa hentakan ke atas dua jariku pada titik pertemuan tulang di bawah dada.

Perempuan itu seketika memuntahkan sumbatan dari tenggoroknya, dan dengan lega menghirup udara. Ia masih tersengal-sengal ketika kulepas dekapan penyelamatan itu. Dua menit kemudian ia baru bisa menatap sekeliling dengan tenang. Si lelaki memeluknya.

“Oii, hampir mati aku tersedak tulang ayam. Siapa tadi yang menyelamatkan aku?” manis sekali suara perempuan itu, melepas dekapan sang lelaki.

Sang lelaki menunjuk ke arahku.

“Itu tadi Heimmlich Maneuver, cara darurat untuk menyelamatkan korban tersedak,” kataku dalam bahasa Inggris.

Pi, terimakasih banyak bantuannya. Tanpa Anda, dia pasti kehilangan nyawa,” kata si lelaki.

“Ah, itu tadi kebetulan, kebetulan pula saya tahu teknis Heimlich Maneuver. Nama saya Garuda, saya orang Indonesia,” aku mengulurkan tangan.

“Ah, ya…. saya Ped, dan ini calon istri saya Nonta,” Ped dan Nonta melakukan wai, menyembah dengan cara Thailand. Mereka kemudian minta aku duduk semeja dengan mereka. Kugeser piring dan gelas plastik ke meja pasangan suami istri itu.

“Anda turis?” tanya Ped.

“Ya. Kalian?”

“Kami orang Thailand, pengantin baru, tinggal di Lamphun, sekitar 30 kilometer ke selatan,” jelas Nonta.

“Sering ke Thailand?” tanya Ped. Aku mengangguk.

“Sepertinya Anda baru tiba di Chiang Mai, masih bawa tas punggung,” kata Nonta.

“Ya, mendarat tadi setengah duabelas, cari hotel, sudah pada tutup. Yang masih buka tak terima kartu kredit,” kataku.

“Jadi, mau menginap di mana?” tanya Nonta.

“Sepertinya di Wat Santhitam. Saya tahu saya bisa tidur di pelataran wat,” kataku.

Nonta mengernyitkan kening dan bicara pada Ped dalam bahasa Thailand yang tak kupahami.

“Begini,” kata Ped kemudian. “Kami punya apartemen sewa di jalan Racthapruek. Kami tadi baru dari apartemen, bersih-bersih. Kami belum menempatinya karena isinya belum lengkap, belum ada kulkas dan peralatan dapur, dan baru satu ruang tidur yang siap. Anda bisa menginap di apartemen kami malam ini. Bagaimana?”

“Tak usahlah, nanti merepotkan,” kataku.

“Tidak merepotkan. Ini ucapan terimakasih dari kami karena Anda telah menyelamatkan calon istri saya. Ayo, jangan menolak!” kata Ped serius.

Aku tak ingin menolak tawaran baik ini. Ped dan Nonta membayar nasi gorengku, dan mereka langsung mengantar aku ke jalan Ratchapuek dengan mobil mereka, melewati jalan sunyi yang tadi kususuri ketika mencari hotel.

Apartemen Sunshine berlantai lima itu terletak agak menjorok di penggalan jalan Ratchapruek. Ped dan Nonta mengantarku ke kamar mereka, nomor 555, lantai paling atas.

“Okay, ini dia. Semoga kamu suka. Anggap sebagai apartemen Anda sendiri. Saya dan Nonta balik ke Lamphun. Ini kunci kamar dan kartu elektronik pintu utama di bawah. Silakan pakai kamar berpintu biru muda. Itu kamar yang sudah siap,” Ped menunjuk.

“Dan ini dua botol air mineral buat Anda,” Nonta menyerahkan kantong plastikberisi dua botol air mineral.

“Besok siang kami sini. Anda bisa tinggal di sini sesukanya. Tapi kalau mau pergi, titipkan saja kunci di satpam di bawah. Ini nomor telepon saya,” Nonta menulis nomor teleponnya pada lembar kalender dengan pensil alis yang ia kais dari tas tangan.

***

Ped dan Nonta telah berlalu. Aku memandang berkeliling kamar apartemen yang didesain dengan selera seni tinggi ini. Dindingnya dipenuhi print dedaunan lukisan tangan warna hijau muda samar-samar, tampak syahdu manakala lampu redup dinyalakan di antara hembusan segar angin dari AC yang baru dinyalakan.

Kamar berpintu biru muda itupun tak kalah cosy dengan satu ranjang besar dan dua bantal beraroma bunga chamomile. Sebuah lukisan bergambar puluhan bunga lotus dengan daun-daun lebar mengambang di kolam bertengger di dinding.

Setelah membasuh muka dan menggosok gigi di kamar mandi yang terletak di luar kamar, dan mengganti pakaian dengan boxer dan kaos oblong, aku langsung merebahkan diri kasur empuk. Ini istirahat yang kuperlukan. Beruntung aku bertemu dengan pasangan suami istri itu. Ini

Aku tak tahu sudah berapa lama aku terlelap ketika aku terbangun. Aku harus ke kamar mandi untuk buang air. Ketika aku membuka pintu kamar, kudapati penerangan ruang tamu meredup, yang setahuku tadi kubiarkan terang.

Aku baru hendak menjangkau saklar lampu ketika kulihat seseorang duduk di sofa dalam remang. Kedua belah tangannya menopang sekaligus menutup wajahnya.

“Jangan menyalakan lampu!” terdengar suara perempuan dari sosok dalam remang itu. Itu suara manis Nonta.

Aku terkejut. “Nonta?” sapaku.

“Ya, ini aku. Sori aku buat kamu kaget. Aku barusan masuk,” ia membuka mata. Kuberanikan diri untuk mendekat. Kini dalam remang bisa kulihat wajahnya yang sembab dan sisa lelehan air mata di pipi yang diseka kurang sempurna.

“Ped…..mana?” tanyaku.

“Aku tidak tahu. Aku meninggalkan dia persis di jalan dekat kedai itu,” kata Nonta.

Aku duduk di kursi seberang meja di hadapannya. “Meninggalkan kamu? Ini jam setengah tiga di pagi hari. Boleh aku tahu ada apa?” tanyaku.

Nonta menatapku. “Istrinya menelepon dari mobil yang membuntuti kami. Aku baru tahu ia sudah beristri. Dia mengaku. Dia sudah membohongi aku. Aku marah. Aku tinggalkan dia, dan dia tidak melakukan apa-apa ketika aku melangkah balik ke apartemen ini. Aku tahu ia lebih sayang pada istrinya,” kata Nonta. Pipi itu kembali bersimbah air mata.

“Okay…okay, sekarang kan sudah teramat larut. Kau harus istirahat. Aku kembalikan kamar ini padamu. Aku bisa tidur di sofa ini, atau aku bisa pergi sekarang kalau kau tak nyaman ada laki-laki di kamar apartemen ini,” kataku.

It’s okay. Kau bisa tidur di sofa ini; kehadiranmu tidak menggangguku,” ucap Nonta.

“Baiklah,” aku bangkit dan mengemasi barangku di kamar, memindahkannya ke ruang sofa.

“Sekarang pergilah tidur. Kalau mau curhat, kau bisa bicara padaku besok,” kataku.

Nonta mengangguk dan berdiri. “Maaf tidurmu nanti kurang nyaman di sofa itu,” kata Nonta.

No problem, Nonta. Ini sudah bagus daripada harus tidur di emperan wat,”

Nonta tersenyum kecil, dan melambaikan tangan sambil berucap, “Ratri sawad

Kuperhatikan Nonta lenyap ditelan pintu kamar.

Kenapa pasangan muda calon suami istri yang sekitar dua jam lalu terlihat mesra dan tak terpisahkan, tiba-tiba saja berbalik saling meninggalkan?

Aku menata sofa dan rebah. Tapi aku perlu beberapa saat untuk bisa memejamkan mata.

Baru saja mata ini terpejam, terdengar pintu kamar Nonta terbuka. Ia berdiri di pintu dan menatap ke arahku, mencari tahu apakah aku sudah terlelap.

“Garuda!” panggil Nonta.

“Ya, Nonta!”

“Katakan padaku, apakah ada rasa takut ketika kau tadi tidur di kamar itu?” tanya Nonta.

Aku bangkit dari rebahan. “Tidak,” jawabku. Nonta berjalan mendekatiku.

“Lalu kenapa aku merasa takut. Terus terang aku belum pernah menginap di kamar apartemen ini sebelumnya. Aku merinding dari detik pertama aku rebahan di kamar itu. Dan aku tak pernah setakut ini dalam hidupku,” kata Nonta. Suaranya bergetar, seolah rasa takut itu menunggangi suaranya.

“Well, Nonta. Barangkali itu karena kau baru mendapatkan perlakuan tak menyenangkan beberapa saat lalu dengan Ped,” kataku. “Tak perlu takut, ada aku di luar sini,” kataku.

“Mm, gitu ya…,” Nonta membalikkan badan, tapi langsung balik lagi menghadap aku. Dari bias cahaya lampu diberanda yang menyeruak ke ruang tamu itu, bisa kulihat ia menatapku dan sedang ragu untuk menanyakan sesuatu.

“Garuda,” desah Nonta. “Mungkin ini terdengar aneh dan bodoh, tetapi, eh, bolehkah aku minta tolong?”

“Ya. Apa itu?”

“Temani aku di dalam…,” Nonta menggerakkan ibu jarinya ke arah kamarnya.

Aku terhenyak. “Hold on, Nonta. Kamu tak salah bicara?”

“Tidak! Aku tahu kamu orang asing, usia mungkin seumuran bapakku. Tetapi aku benar-benar takut, aku perlu ditemani,”

“Err, apa mungkin sebaiknya kau gabung di sini saja, di sofa satunya,” aku menunjuk sofa di seberang meja,”

“Masalahnya, aku ingin mengalahkan rasa takut itu di kamar itu. Ini akan jadi tempat tinggalku selamanya. Aku harus mendapatkan rasa aman itu, tapi, untuk pertama kali ini, aku benar-benar takut sendiri,” tukas Nonta.

“Bukan ide bagus, nona muda! Ingat kau calon nyonya Ped,” kataku.

“Tidak lagi…tidak lagi setelah Ped membiarkan aku meninggalkannya tanpa usaha agar aku kembali. Please, Garuda, temani saya”

Dan entah kenapa keteguhanku runtuh; entah karena rasa iba atau karena permintaan tolong menemani itu dikemas dalam kerling yang menggoda.

Dan pukul tiga pagi itu aku melangkah ke kamar Nonta; tidak sekedar untuk membantu Nonta mengalahkan rasa takutnya berada di kamar itu; tapi ternyata juga memenuhi permintaannya untuk membahagiakan batinnya yang tengah tersiksa, yang entah kenapa tak bisa kutolak begitu saja.

Sejam setelah aku melangkah masuk ke dalam kamar itu, kami berada di bawah satu selimut yang sama; masing-masing helai pakaian kami berserakan di lantai. Benar-benarkah gadis muda jelita dengan raga menggoda ini telah berhasil mengalahkan rasa takutnya?

***.

Sinar matahari pagi menerobos jendela, mengirim berkas-berkas terang. Aku menghempaskan selimut dan melihat arloji. Pukul 8 pagi. Aku mencari Nonta. Bagian ranjang yang tadi ditempati Nonta kosong, permukaan bantal dan seprei awut-awutan. Tapi harum tubuh Nonta masih tersisa di sana.

Aku bangun, mengenakan pakaian, mencari Nonta di ruang tamu, di kamar mandi, di dapur. Tapi tak ada seorangpun. Aku menghampiri pintu depan; terkunci dengan selot melintang, yang berarti tidak pernah terbuka sebelumnya.

Ini aneh. Seaneh tidak kutemukannya Nonta di manapun di ruang apartemen nomor 555 itu. Kemana dia pergi?

Aku meraih kunci, membuka pintu depan dan meluncur turun dengan lift ke meja Satpam di lantai satu.

Pi, lihat perempuan lewat sini dini hari tadi?” tanyaku pada petugas Satpam. Petugas itu menggeleng.

“Coba ingat-ingat, Pi. Perempuan sekitar 24 tahun, cantik, pakai celana pendek jins dan kaos ketat putih, penghuni kamar ini, namanya Nonta,” aku menunjukkan kartu elektronik bertuliskan nomor kamar.

Petugas Satpam melihat nomor kamar dengan mata terbelalak.

“Kenapa kamu pegang kartu elektronik itu?” tanya petugas Satpam.

“Aku dipinjami kamar ini oleh pemiliknya, dan err, Nonta, pemilik kamar ini semalam bersama saya di kamar 555,” kataku.

Petugas Satpam makin ternganga plus raut muka tak percaya.

“Kamu…..kamu tidur di kamar itu tadi malam?” Satpam terbata.

“Ya, kenapa, Pi?”

“Oii, siapa kasih izin kamu…oi, kamu gila….” dengus Satpam, dan di luar dugaan, berlari menjauh.

Giliran aku yang kebingungan. Aku segera balik ke lantai 5 dan membuka pintu. My God! Benarkah apa yang kulihat?

Kamar yang semalam terlihat teduh dan asri berubah berantakan sekali. Dari bias sinar yang masuk bisa terlihat sofa yang berantakan mengepulkan debu sementara ketebalan debu bisa pula terasa di permukaan meja. Aku melaju ke kamar. Kamar tak kalah berantakan dengan seprei kusam dan keseluruhan ruangan menebarkan bau apek, sama sekali bukan aroma chamomile yang kuhirup semalam.

Ada apa ini? Apa yang salah dengan pandanganku?

Aku tak hendak berlama-lama di kamar itu, kecuali mencatat nomor telepon Nonta yang ditorehkan dengan pensil alis di kalender. Di luar bangunan apartemen, kucoba menelepon. Telepon meluncurkan jawaban ‘nomor yang Anda pencet tidak dapat dihubungi’.

Seharian aku berputar-putar dengan teka-teki itu di antara bayangan harum dan keindahan sepenggal malam tadi malam. Petugas Satpam yang kuajak bicara tadi pagi tak tampak batang hidungnya. Tidak pula aku menacri sahabat-sahabatku seperti tujuan semula bertandang ke kota ini.

Beranjak malam, sekitar pukul tujuh, aku berjalan ke kedai di pinggir jalan Huay Kaew. Ibu paruh baya penjaga kedai tengah menyiapkan kedainya.

“Pi, masih ingat saya? Saya yang dini hari kemarin makan nasi goreng di sini?”

“O ya, ingat. Mau bayar, ya? Kamu pergi begitu saja semalam,” kata perempuan itu.

“Lo, kan saya dibayari sepasang lelaki dan perempuan itu?” kataku.

“Laki-laki dan perempuan apa? Kamu datang sendiri, pelanggan terakhir malam itu. Kamu pergi selagi saya membungkuk cuci piring”

“Sebentar, bukankah Pi tahu ada dua dua orang lain—laki-laki dan perempuan—makan di sini, yang perempuan tersedak, saya bantu melonggarkan tenggorokannya,” aku ngotot.

Perempuan itu mulai terlihat jengkel.

“Kamu ini bicara apa, anak muda? Semalam kamu datang sendiri, makan sendiri, terus ngeloyor sendiri!”

“Pi, semalam saya menolong perempuan itu, menyelamatkan dari tersedak tulang ayam, di sini!” aku mengulang sembari menunjuk kursi tempat Nonta semalam, “Namanya Nonta, gadis cantik pakai celana jins pendek dan kaos ketat putih,” aku meradang.

“Sebentar….” nada perempuan itu mereda. “Kau bilang namanya Nonta, pakai celana jins pendek dan kaos ketat putih, tersedak tulang ayam ketika makan dengan calon suaminya di sini?”

“Ya! Itu yang saya bilang tadi,” tukasku.

“Kamu ngelantur! Itu kejadian setahun lalu. Nonta, perempuan itu meninggal di sini, tersedak tulang ayam karena calon suaminya, namanya Ped, tak bisa berbuat apa-apa. Ketika meninggal ia memang sedang pakai celana jins pendek dan kaos ketat putih dan tampaknya mereka habis bertengkar. Seminggu saya berurusan dengan polisi karena peristiwa ini. Nonta, yang sewa kamar apartemen Sunshine yang tak pernah ia tinggali itu!” ujar perempuan tua.

Aku lemas. Setahun lalu! Kalau cerita ini benar, lantas siapa Nonta yang kucumbui hebat semalam di kamar 555 itu?

Harusnya aku merinding mendengar ini. Tapi aku enggan begitu saja percaya cerita perempuan ini dan merasa perlu memecahkan teka-teki ini.

Aku mengumpulkan kekuatan dan segera balik ke apartemen Sunshine. Petugas Satpam yang berjaga tadi pagi tengah berjaga di meja tugas.

“Kamu lagi! Mau apa lagi?” tanya pak Satpam.

Aku mengacungkan kartu elektronik kamar 555. “Saya mau menginap di kamar itu lagi,” kataku.

“Kamu sinting! Itu kamar berhantu. Hantu perempuan cantik bercelana pendek, penghuni yang tak sempat menempati kamar karena tewas tersedak di warung. Kamar itu tidak pernah disewakan lagi karena tak ada yang berani menempati,” jelas pak Satpam.

“Kalau memang tak pernah ada yang menempati, lantas kenapa kartu elektronik ini ada padaku? Siapa yang kasih?” aku meninggalkan pak Satpam yang terbengong-bengong.

Jam delapan tepat aku membuka pintu. Suasana kamar apartemen masih seberantakan ketika kutinggalkan tadi siang. Aku membersihkan debu salah satu sofa dan duduk menatap pintu kamar Nonta dalam remang. Terus terang aku takut. Tapi seperti kata Nonta, aku harus mengalahkan rasa takut itu. Aku duduk menunggu, menebak apa yang akan terjadi. Dan aku terus menunggu sampai jarum jam merangkak melebihi pukul dua belas malam, sampai ketika, ketika tiba-tiba mataku tak kuasa kubuka karena kantuk.

Aku terbangun mendengar suara pintu kamar bercat biru muda itu berderak. Meski temaram, aku bisa melihat ruangan ini seperti aku melihatnya pertama kali tadi malam; ruangan yang nyaman dengan gambar daun-daun hijau muda ditingkah pencahayaan yang romantis; deru AC yang mengirimkan angin sejuk, dan sesosok perempuan cantik bercelana jins pendek dan kaos putih yang sedang menantikan di depan pintu kamar!

Aku berusaha menatap sosok itu dengan tenang. Ini benar-benar Nonta yang kulihat malam sebelumnya.

“Garuda! Aku tahu kau akan kembali untukku. Aku tahu kau telah berhasil mengalahkan rasa takut seperti kau bantu aku mengalahkan rasa takut untuk bercumbu dengan makhluk dari dimensi yang berbeda,” sosok Nonta berujar lirih.

“Kemarilah, temani aku seperti tadi malam…..”

Perasaanku tak keruan, campur aduk. Namun aku bangkit dari duduk, dan perlahan melangkah mendekati Nonta, mengikuti bergerak ke dalam kamar dengan perasaan yang sama seperti malam sebelumnya; yakni ketidakkuasaan menolak pesona itu.

Chiang Mai, 3 November 2014

Catatan :

Pad thai = mi goreng

Khao pad kai neung = nasi goreng satu

Pai sanambin Don Meuang = ke bandara Don Meuang

Nong = mbak, mas, laki-laki/perempuan muda

Pi = pak/bu, laki-laki atau perempuan yang dituakan

Khor thot khap = maaf

Dai kha = bisa

Pai thanon Huay Kaew ra ka tao rai khap = ke jalan Huay Kaew berapa?

Ha sib baht khap = 50 baht ya

Ratri sawad = selamat tidur

Song teeuw = angkot seperti bemo

Wat = kuil, candi, tempat ibadah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun