Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (3)

13 Juni 2012   11:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13395885451136103908

SANG PENTERJEMAH (2) bisa dibaca di sini

Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi.

Apsara, dengan jari-jari lentik gemulai menata berbagai macam bunga di berbagai sudut pelataran wat, di altar-altar pemujaan, diikuti dengan semedi-semedi singkat setiap usai menata rangkaian bunga-bunga, membiarkan bahunya yang terbuka ditaburi sinar mentari. Indah sekali gerakan-gerakan tangan itu, yang sesekali dibarengi dengan gerakan tangan menaikkan kembali selendang yang kerap kali terjatuh dari bahu. Kalau saja aku tak sungkan pada punggawa yang melirikku tajam setiap kali aku memperhatikan Apsara, aku pasti suka berlama-lama menatapnya.

[caption id="attachment_182464" align="aligncenter" width="598" caption="Ilustrasi : www.google.com"][/caption]

“Majapahit itu kerajaan Hindhu, bukan?” tiba-tiba Apsara sudah berada di dekatku dengan nampan bunga kosong yang ia serahkan pada emban setia.

“Betul, Nyai!” aku tergeragap.

“Berarti kamu juga pemeluk Hindhu?”

“Benar, Nyai! Dan saya tahu nama Nyai, Apsara, adalah nama salah satu bidadari dala mkepercayaan Hindhu yang di Majapahit juga kami kenal dan sebut dengan nama Apsara, dari bahasa Sansekerta yang artinya bidadari surgawi” kataku.

“Benar! Ayahku, seorang Hindhu, memberi nama itu agar aku secantik dan secerdas bidadari Apsara,” ujar Apsara.

“Ayahanda Nyai pastilah seorang bijak yang pandai melihat masa depan. Nyai sangat sesuai dengan nama itu, cerdas dan cantik bak bidadadi Apsara,”

“Kau memujiku, orang Majapahit?” tiba-tiba Apsara memotong. Aku segera menunduk dan menyembah. “Maafkan kelancangan saya, Nyai! Saya yang orang rendahan ini biasa bicara apa adanya. Maafkan saya!”

Apsara tak menimpali. Ia membasuh tangan dengan air dari pancuran tak jauh dari pelataran wat, dan memerintahkan emban membongkar bekal makanan untuk para rahib yang baru saya selesai mendengungkan doa-doa. Makanan itu, ubi rebus dan kepalan umbi-umbian lain dalam balutan parutan kelapa segera dihidangkan di pelataran.

Apsara menepi ke bawah rerimbunan pohon untuk menghindari sengatan matahari dan untuk menjauh dari para rahib. Aku mengikuti.

“Sekarang kau mau tahu kenapa aku bisa berbicara bahasa Jawa?” tanya Apsara, duduk di sebuah gundukan batu.

“Kalau diperkenankan,” aku menyembah dan duduk bersama emban di permukaan tanah beralas dedaunan jatuh.

“Kakekku, adalah seorang pengelana. Ia meninggalkan nenek pada saat masih muda usia ke negeri Cina. Ia merantau ke negeri Mongol dan menjadi juru masak di istana raja Kubilai Khan. Kau tahu Raja Kubilai Khan pernah mengirim utusan bernama Meng Chi ke daratan kerajaan Singhasari di Jawa dan meminta Prabu Kertanegara, raja Singhasari untuk membayar upeti. Raja Kertanegara tak sudi membayar upeti. Ia mengirim balik Meng Chi ke Mongol dengan wajah hancur dan telinga terpotong. Raja Kubilai Khan marah. Ia mengerahkan kapal-kapal balatentara ke Jawa untuk menghabisi Singhasari. Itu terjadi pada tahun 1293. Kakekku berada dalam kapal itu sebagai juru masak,” Apsara berhenti berbicara, dan meneguk air dari mangkuk cekung tanah liat yang dituang emban dari sebuah kendi tanah liat juga.

“Pada saat rombongan besar utusan Mongol tiba di Jawa, raja Kertanegara sudah digulingkan oleh Jayakatwang dari kerajaan Kediri, dan penerus Kertanegara, yakni Raden Wijaya, mendirikan kerajaan baru di hutan Tarik yang sekarang bernama Majapahit. Nama Majapahit diambil dari nama buah maja yang rasanya pahit,” tutur Apsara, tersenyum sedikit.

Penuturan lincah dan penuh pengetahuan ini membuatku terbelalak. Apsara ternyata tahu benar sejarah Majapahit dengan rincian yang aku sendiri tidak tahu.

“Pengetahuan Nyai tentang Majapahit sungguh membuat saya malu. Saya orang bodoh yang tak banyak tahu sejarah negeri sendiri,” aku berseloroh, mengunyah sepotong ubi yang disodorkan punggawa.

“Bisa aku teruskan ceritanya?”

“Tentu saja, Nyai!”

“Raden Wijaya menyambut pasukan Mongol sebagai teman. Ia memanfaatkan pasukan Mongol untuk berperang melawan Jayakatwang dan bala tentaranya. Jayakatwang berhasil ditumpas. Dan tahu apa yang terjadi? Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya beralih menyerang pasukan Mongol dan mengusir mereka pulang. Salah satu kapal rusak berat dan tidak bisa kembali berlayar ke daratan Cina. Beberapa orang harus ditinggalkan di Majapahit, termasuk kakekku. Kakek baru bisa kembali ke Siam setelah menghabiskan 17 purnama di Majapahit”

“Selama itulah kakek Nyai mempelajari bahasa Jawa?” tanyaku

“Benar, dan kakek mengajarkan padaku bahasa Cina dan bahasa Jawa manakala kembali dari Majapahit!” kata Apsara.

Makin kagum aku dibuatnya. Boleh kusimpulkan baik kakek Apsara dan Apsara sendiri adalah pelajar bahasa yang hebat. Demikian fasih dan indah untaian kata-kata bahasa Jawanya.

“Bagaimana kau menulis namamu dalam aksara Jawa, Rakandi?” tanya Apsara.

Aku meraih sebatang ranting dan menorehkan namaku di permukaan tanah dalam aksara Jawa. Apsara meraih sebatang ranting lain dan menuliskan namanya pula dalam aksara Jawa!

Sungguh luar biasa perempuan ini.

“Jadi Nyai bisa berbicara dan menulis dalam bahasa Cina, Jawa dan Khmer sekaligus? Nyai sungguh luar biasa!”

“Kau memujiku lagi, Rakandi!”

“Ampun Nyai! Saya tak bisa menahan kekaguman!”

Nyai Apsara melanjutkan bicaranya.

“Sayaadalah juru bicara kerajaan bila ada tamu berkunjung ke kerajaan Ayutthaya. Sudah sering saya bekerja menerjemahkan dalam bahasa Cina dan Khmer. Tapi baru kali ini saya bertugas menjadi juru bicara bahasa Jawa,” kata Apsara.

“Saya sungguh merasa terhormat mendapat kedermawanan Tuanku Pibulwongsawat dalam hal ini. Saya tak bisa membayangkan bagaimana saya bisa berbicara dengan orang-orang di negeri ini tanpa kehadiran Nyai sebagai penterjemah,” aku menyembah.

“Ya, Tuanku Pibulwongsawat amat bijak. Kau perlu tahu juga orang yang ditunjuk untuk mendengar semua kisahmu tentang Majapahit adalah saya,” kata Apsara.

Aku menangkupkan kedua tangan tanda hormat. “Sudah saya duga, Nyai, dan saya merasa demikian terhormat,” aku mengulang kata-kataku.

“Nah, hari sudah sore. Saya akan memeriksa vihara dan berdoa beberapa saat sebelum kembali ke padepokan di tepi sungai. Pastikan gajah-gajah sudah diurus dan diberi makan dengan baik”

“Sembah, Nyai! Segera saya laksanakan!”

(BERSAMBUNG KE SINI)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun