Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (13)

12 September 2012   06:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SANG PENTERJEMAH (12) bisa dibaca di sini

Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi

Kupeluk sekali lagi Apsara dan kubiarkan ia menangis kecil dalam pelukanku. Bahuku basah oleh tetesan airmatanya. Hatiku menderu-deru, seperti ombak laut yang dihempas topan. Seperti dedaunan pohon yang diterpa angin.

Apakah aku akan menyesali kata-kataku ini?

Apsara mendorongku keras hingga aku terpental ke tanah di bawah anak tangga. Ia bergegas menuruni anak tangga dan berjalan cepat ke arah perahu ditambatkan. Aku naik ke rumah pohon. Lukisan Apsara tanpa busana masih tergeletak di lantai rumah pohon. Aku menggulungnya, mengikat dengan tali akar pohon. Aku bingung sesaat. Tak baik membawa lukisan ini ke padepokan. Kusisipkan gulungan lukisan itu di antara bilah-bilah kayu dinding rumah pohon. Aku menyusul Apsara ke pinggir sungai.

Sepanjang perjalanan berperahu kembali ke padepokan, Apsara tidak bicara sama sekali. Duduk takzim di hadapanku, ia memalingkan wajah ke samping, lebih suka menatap kilau sinar matahari di hamparan perairan sungai. Air mata masih menggenangi mata dengan gerakan dada naik turun.

“Nyai….” aku mencoba bicara.

“Jangan bicara, orang Jawa. Jangan bicara! Aku tak ingin mendengar apapun darimu,” potong Apsara.

Aku tak berani bicara dan ikut-ikutan menatap hamparan air di sebelah lain.

Ketika perahu sampai di dermaga Ayutthaya, Apsara bergegas turun, berjalan cepat ke padepokan, meninggalkan aku di perahu. Jelas sudah ia marah besar padaku!

Selama beberapa hari aku tak melihat Apsara. Dalam hati kuakui aku rindu padanya, sangat ingin menatap wajah cantik itu dan dalam tidurku tak pernah sekalipun Apsara tak hadir. Harus kuakui, aku hanya mampu menyambut gairah Apsara dalam mimpi-mimpiku, dan perlahan-lahan timbul sesal di dadaku kenapa aku harus menampiknya di rumah pohon saat itu.

Tuanku Pibulwongsawat telah kembali dari utara. Dari punggawa yang ikut perjalanan Pibulwongsawat ke utara, kudapat kabar bahwa pasukan Bama berhasil didesak mundur dan tak lagi terlihat tanda-tanda mereka di seputaran Ayutthaya. Pibulwongsawat juga menyatakan lega karena tak terjadi apa-apa pada padepokan.

Aku baru bisa menatap wajah Apsara ketika Pibulwongsawat memanggilku ke ruangannya. Tanpa menatapku, Apsara menerjemahkan kata-kata Pibulwongsawat yang mengucapkan terimakasih karena aku telah menjaga padepokan dengan baik selama seminggu ketidakhadirannya. Dari bibir Apsara, kudengar Pibulwongsawat memujiku sebagai kesatria yang bisa diandalkan.

Tentu saja pujian ini tidak mengenakkan aku. Andai saja ia tahu bahwa aku tidak sekesatria yang ia duga, karena telah terpesona kecantikan istrinya dan hampir membuat aku dan Apsara terperosok ke penistaan kehormatan kepala keamanan kerajaan Ayutthaya ini.

***

Entah sudah berapa lama kurasakan sepi mencekam ini. Apsara benar-benar jarang menampakkan diri di hadapanku. Tidakkah ia melakukan tugasnya mengawasiku sebagai orang asing sebagaimana amanat Pibulwongsawat? Kalau memang benar tak ada lagi yang diperlukan dari aku, kenapa aku harus berlama-lama di negeri ini? Bisakah aku meninggalkan negeri ini dan begitu saja melupakan keelokan Apsara?

Aku duduk dengan masygul di depan ruanganku. Wajah Apsara melintas di benakku. Sungguh-sungguhkah ia mencintaiku seperti yang ia ucapkan? Kalau memang ia mencintaiku, apa arti Pibulwongsawat baginya? Kenapa Apsara bisa seberani itu bermain api? Kalau hanya memujinya saja, dan ketahuan Pibulwongsawat, kepalaku bisa dipenggal, bagaimana pula bila Pibulwongsawat tahu apa yang ia lakukan di rumah pohon itu?

Sungguh keberanian dan kenekatan luar biasa. Gairah itu demikian kuat. Kenapa pula musti kau tampik, Rakandi?, aku menanya diriku sendiri.

“Hei, orang Jawa. Jangan melamun! Siapkan gajah! Tuanku Pibulwongsawat dan para istri diundang bertandang ke istana raja,” rekan perawat gajah menyenggolku. Aku tergeragap.

Segera kusiapkan beberapa gajah. Menurut teman perawat gajah, Pibulwongsawat dan para istri diundang santap siang di istana raja. Rombongan undangan ke istana raja sudah siap. Tapi di mana Apsara? Ia tak nampak di antara istri-istri Pibulwongsawat.

Kubantu dua istri Pibulwongsawat naik gajah. Pibulwongsawat menghampiriku dan bicara sedikit, yang untungnya bisa kufahami.

“Apsara sakit, sudah beberapa hari sakit. Ia tidak bisa ikut. Kau dan beberapa punggawa menunggu padepokan,” demikian kata Pibulwongsawat. Aku mengiakan.

Rombongan gajah dan beberapa punggawa berkuda bergerak perlahan meninggalkan padepokan.

Apsara sakit?

Aku duduk kembali di depan padepokan, menyiapkan lukisan. Kuputuskan membuat lukisan sejumlah punggawa yang sedang mengisi saat siang itu menonton pertunjukan sirkus jalanan dari kelompok sirkus Cina agak jauh di pelataran luar padepokan. Harusnya akupun bergabung dengan para punggawa itu dan menghibur diri, tapi aku lebih suka menyibukkan diri dengan melukis.

Sebuah lukisan kesibukan pelataran baru saja telah kuselesaikan, ketika sesosok perempuan berdiri tak jauh dariku. Itu Apsara! Aku menatapnya. Ia tak menoleh padaku.

“Nyai, saya dengar sudah beberapa hari ini Nyai sakit?” aku berbasa-basi.

Apsara tak menyahut, hanya memandang kesibukan jauh di pelataran sana tanpa minat.

“Nyai sakit apa?” tanyaku.

Apsara menolehku.

“Aku sebenarnya tidak sakit. Aku hanya tak ingin keluar ruangan, tak ingin menikmati kemeriahan istana. Biarlah dua istri Tuanku Pibulwongsawat yang menemani Tuanku. Beliau tidak keberatan,” kata Apsara. Inilah pertama kali ia bicara padaku dalam seminggu ini.

“Saya senang Nyai mau bicara lagi pada saya,” kataku.

“Dan kau pikir aku senang tidak bicara padamu selama seminggu?” suara Apsara berubah ketus.

“Maksud Nyai?”

“Aku rindu kamu. Aku ingin menatap wajahmu, ingin bicara padamu. Tapi hatiku masih sakit karena kejadian seminggu lalu. Kau perlu tahu itu!”

“Nyai rindu pada saya?”

“Menurutmu bagaimana? Dan kau, tidakkah kamu rindu padaku?”

“Sangat rindu, Nyai!”

“Pembohong!”

“Saya berkata benar, Nyai! Saya sulit tidur di malam hari sejak saat itu”

“Kenapa?”

“Karena rindu dan …….karena ……”

“Telah berlaku kejam padaku!,” potong Apsara.

“Kejam?”

“Ya, kejam!”

“Saya….”

“Sudahlah. Kau pasti mau bicara soal kehormatan. Jangan bicara soal kehormatan lagi…”

“Sebenarnya….sebenarnya…..itu bukan masalah kehormatan semata, Nyai,” kataku.

“Lalu, masalah apa?” Apsara kali ini menolehku penuh. Bisa kunikmati kecantikan itu. Bibir merah, wajah cerah dan kulit bahu yang membiaskan cahaya matahari siang.

“Maafkan saya, Nyai. Saat itu…..saat itu….sungguh bukan merupakan saat yang tepat,” aku terbata, mencoba menilai sendiri apakah kata-kataku itu sudah tepat.

Apsara menatapku.

“Berdua di rumah pohon nan sunyi, hanya ditemani desir angin menghembus pepohonan, itu bukan saat yang tepat menurutmu?” tanya Apsara.

“Bukan, Nyai…..” kataku.

Apsara menoleh dan menatap mataku dalam-dalam.

“Kau boleh jadi adalah seorang seniman, seorang pendekar, seorang lelaki muda yang tampan. Tapi kau sama sekali tak memahami perempuan, tidak memahami keindahan dan tidak memahami cinta…..,” Apsara langsung berbalik menuju ke ruangan tengah seusai mengucapkan ini. Aku berdiri dan menatapnya melalui pintu.

Kini Apsara berdiri di ruang tengah, berbalik ke arahku. Ia tahu aku mengikutinya dengan pandanganku.

“Katakan apa dan kapan saat yang tepat itu, Rakandi?” ujarnya dari jauh.

“Saat yang tepat itu…..”

“Aku tak bisa mendengar suaramu. Mendekatlah kemari!” Apsara sedikit berteriak.

Aku berdiri terpaku. Kutoleh belakang. Lamat-lamat terdengar keriuhan alat musik tabuh bertalu-talu mengiringi pertunjukan sirkus di luar sana. Semua punggawa bergerumbul menikmati pertunjukan itu.

“Saya….boleh masuk?” tanyaku.

“Mendekatlah kemari. Tidak ada siapa-siapa di sini!” kata Apsara.

Perlahan aku beringsut ke ruang tengah, mendekati Apsara, yang berdiri menanti.

Ketika jarakku tak terlalu jauh dari Apsara, ia berkata :

“Aku ingin tahu apa yang kau sebut saat yang tepat itu?”

Kubalas tatapan Apsara.

“Saat yang tepat itu adalah……”

“……seperti saat ini?” sambung Apsara.

“Ya….seperti saat ini,” kuberanikan bicara. Tak mampu lagi aku mengucapkan kata-kata yang kelak akan kusesali. Entah apa yang akan dikatakan Aspara soal ini.

Apsara berjalan mendekatiku dengan langkah gemulai dan senyum teramat indah.

“Sudah kuduga itulah cara meluluhkanmu, Rakandi!” ia mengelus kepalaku. Harum tubuhnya menyundut hidung.

Apsara berbalik dan berjalan perlahan menjauhiku, dan menoleh. Perempuan ini sungguh pintar menggoda dengan caranya yang unik.

“Kau tahu letak kamarku, Rakandi? Cari aku di kamarku. Kutunggu kau di sana!”

Lagi-lagi aku diam terpaku. Ia menungguku di kamarnya?

Kalau sebelumnya aku menilai Apsara sangat berani bermain api, kali ini aku harus meralat keberanian itu. Apsara luar biasa berani! Gerangan kekuatan dan keberanian apa yang telah merasukinya? Gairah?

Gairah dan cinta! Itu jawabannya. Bisa kulihat itu dalam tatapan mata dan gerak tubuhnya.

Apsara telah menghilang di belokan ruangan, meninggalkan semerbak kenanga. Aku tahu jalan menuju kamarnya. Harus kubalas keberanian ini dengan kebenarianku pula. Tak kubiarkan ia lama menanti. Kukejar dia. Kucari dia.

Ia mengunci pintu rapat-rapat, dan membiarkan siang itu demikian indah,membiarkan sinar matahari di luar sana demikian panas membara membakar bumi dan suara musik tabuh tak henti-hentinya bertalu-talu.

***

Gelora panas dan keberanian itu telah mengalahkan segalanya. Entah sudah berama lama dan berapa banyak kureguk manis cinta bersama Apsara di kamar itu. Gedoran keras di pintu menyadarkan aku danApsara.

Gedoran! Siapa yang menggedor?

Apsara cepat berpakaian. Wajahnya berubah panik, sepanik hatiku. Ia tak segera membuka pintu. Pintu itu dirobohkan dengan garang dari luar. Pibulwongsawat berdiri di depan pintu bersama kedua istrinya. Bisa kulihat murka di wajahnya.

Tiga punggawa menyeret Apsara keluar kamar, tiga punggawa lain mendorongku dengan kasar. Punggawa-punggawa menghempaskan aku dan Apsara di lantai ruang tengah. Terdengar gelegar amarah dari kata-kata Pibulwongsawat. Meski aku tak faham sedikitpun kata-katanya, bisa kupsatikan kata-kata itu bersisi amarah hebat dari seorang suami yang cemburu, dipermalukan dan dipencundangi.

Sesaat kemudian Pibulwongsawat menggelegar lagi. Kali ini bisa kutangkap maknanya. Ia ingin aku dan Apsara digiring ke pelataran karena ia tak ingin mengotori ruangannya dengan darah pezinah.

Sempat kutatap wajah Apsara ketika punggawa menggelandangnya ke pelataran dalam tatapan sinis dua istri Pibulwongsawat. Sinar matahari terik menyengat kulitku yang hanya mengenakan kain bawah.

Kalau sebelumnya kulihat ketakutan di wajah Apsara, kali ini aku melihat rona pasrah dan bahkan rona kemenangan di wajah Apsara. Ia menatap Pibulwongsawat dengan gagah berani.

Amarah Pibulwongsawat makin memuncak. Dengan pandangan matanya ia memerintahkan para punggawa untuk menjajarkan aku dengan Apsara. Pibulwongsawat menghunus pedang dan menggelegarkan kata-kata yang intinya akan segera memenggal kepalaku dan kepala Apsara.

Sampai titik ini aku benar-benar gundah. Aku rela kepalaku ditebas karena kesalahan ini; tapi sama sekali tak rela melihat leher Apsara dipenggal karena terlalu berani melabuhkan cinta dan gairah itu kepada seorang asing seperti diriku.

Manakala pedang itu terangkat tinggi dan siap ditebaskan, aku menoleh Apsara yang pada saat bersamaan tengah mengirim senyum padaku.

“Kekasih, aku senang, bangga dan merasa terhormat mendapatkan kebahagiaan ini. Mari kita tebus keindahan ini dengan perjalanan bersama-sama ke nirwana,” desah lirih Apsara.

“Apsara cintaku, jangan kau berpikir aku menyesal melakukan ini. Aku rela melakukan perjalanan ini bersamamu; jalan ke tempat di mana kita akan bersama-sama selamanya.

Orang-orang yang mengelilingi aku dan Apsara pada jarak aman menahan nafas. Pedang itu kokoh berada dalam cengkeraman kedua tangan Pibulwongsawat, berkilauan di bawah sinar matahari.

“Maafkan saya, Apsara!” Pibulwongsawat berucap dengan nada gemetar geram. Terayunlah pedang itu!

Namun, sebelum pedang itu benar-benar terayun luruh ke arah leher Apsara, tiba-tiba terdengar derap-derap kaki kuda mendekat. Semua orang menoleh, dan langsung menjatuhkan diri ke tanah menyusun kedua tangan untuk menyampaikan sembah.

“Hentikan!” terdengar suara membahana di sela-sela derap kaki kuda. Semua orang menoleh, dan langsung menjatuhkan diri ke tanah menyusun kedua tangan untuk menyampaikan sembah.

“Raja Ramathibodhi di sini!” desis orang-orang itu.

Pibulwongsawat menjatuhkan pedang, dan merapat di tanah untuk menyembah.

Mengapa Yang Mulia Raja Ramathibodhi datang ke padepokan? Kenapa pula Yang Mulai minta ini dihentikan?

(BERSAMBUNG KE SINI)






Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun