Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (12)

8 September 2012   06:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:46 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SANG PENTERJEMAH (11) bisa dibaca di sini

Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi

“Kau seniman, Rakandi. Kau pasti bisa mengendalikan kekuatan kesenimananmu dan gejolak hatimu. Aku tahu ini sulit, tapi aku yakin kau bisa melakukannya!”

“Beribu maaf, Nyai…..!”

“Aku tidak akan memerintahkanmu dua kali, Rakandi. Aku tanya sekali lagi, dan aku perlu jawabanmu!” suara Apsara bernada memerintah, meminta, memaksa.

Aku mengangguk perlahan.

“Baik, Nyai! Apapun perintah Nyai”

Dengan dada berdebar aku mulai membuat garis-garis kasar raga Aspara terlebih dahulu. Sinar dari luar rumah pohon itu sedikit bisa mengalahkan gelap di dalam ruangan, membantu memantulkan indah kulit Apsara. Bolak-balik aku menahan nafas yang memburu dan mati-matian aku menjaga agar tanganku tak bergetar lantaran seluruh tubuhnya gemetar.

Apsara bersikap santai, menyungging senyum dan tetap mengarahkan pandangan mata ke arahku seperti yang seharusnya. Aku tak berani menatap matanya, tidak pula berani berlama-lama memandang benda yang harus kulukis itu; setidaknya begitulah kesan yang ingin kutimbulkan kepada Apsara. Harus kubuktikan aku bisa seteguh seniman sebenarnya.

Aku mampu menjaga keteguhan itu kalau saja Aspara mulai tak banyak bergerak. Gerakan tungkai, atau lengan atau tubuh yang mungkin tak disengajanya itu menambah desir-desir hebat di dadaku. Benarkah ini perempuan cantik yang selalu kuinginkan untuk mengisi mimpi-mimpiku? Sedekat dan semungkin inikah mimpi itu terjuwud?

“Pusatkan pikiran, seniman!” Apsara berkata lirih, seolah mulai melihat kelunturan dalam keteguhanku. Aku tergeragap kecil. Aku sadar keelokan dekat di hadapanku ini telah menganggu keteguhanku.

“Saya sedang berusaha keras menjaga keteguhan saya, Nyai!” ujarku.

“Berusaha keras?” ulang Apsara, entah apa pula maksudnya.

“Ya, sangat keras…….saya bertekad ingin menghasilkan lukisan terbaik saya, Nyai!”

“Begitu?”

“Benar!”

Dan Apsara tidak banyak bertanya lagi sampai aku menuntaskan bagian pewarnaan.

“Saya sudah selesai dengan raga Nyai. Kini saya akan menuntaskan bagian-bagian di sekeliling Nyai,” kataku lega.

“Oh ya? Kau ingin aku tetap dalam posisi seperti ini?”

“Nyai ingin mengenakan pakaian sekarang?”

“Terserah kamu…..”

“Seharusnya ya, karena sudah selesai….…kecuali bagian sekelilingnya”

“Baiknya aku tetap begini saja; kau tuntaskan semua bagian dengan rinci, “ Apsara tersenyum kecil, tak bergerak. Selendang sutra merah itu masih melintang di tempat semula seperti sedia kala.

Aku hanya mengangguk kecil, walaupun aku sungguh amat tersiksa dengan kedermawanan ini. Dan kulanjutkan bagian-bagian mudah penuntasan lukisan.

“Rakandi!” kata Apsara.

“Ya, Nyai!”

“Di Jawa sana, apakah ada seseorang yang menantikanmu?”

“Mungkin kedua orang tua dan adik-adik saya”

“Tidak ada yang lain?”

“Maksud Nyai?”

“Perempuan, kekasihmu, misalnya”

“Saya tidak punya kekasih, Nyai!”

Lagi-lagi Apsara tersenyum kecil.

“Aku tanya ya, waktu kau melukisku di kamarku dan Tuanku Pibulwongsawat saat itu, bagaimana perasaanmu?” tanya Apsara.

“Seperti ada puluhan kaki kuda yang menghentak jantung saya, Nyai. Saya gemetar!”

“Kenapa?”

“Saya sangat terpesona keindahan raga Nyai. Belum pernah saya melihat perempuan secantik Nyai dalam hidup saya,” kataku. “Saya juga jengah dengan situasi saat itu, apalagi dengan kehadiran Tuanku Pibulwongsawat”

“Hm…..kalau saat ini, bagaimana perasaanmu?” Apsara menatapku.

Aku menghentikan goresan kuas dan memberanikan diri menatap Apsara.

“Seperti didera ratusan kaki gajah, Nyai. Menghentak! Bergejolak. Nafas saya rasanya seperti berhenti!” kataku.

“Kenapa?”

Aku terdiam sesaat.

“Jawab kenapa, Rakandi”

“Seperti yang Nyai ketahui, aya sangat mengagumi keindahan rembulan. Setiap saat menatap rembulan, saya selalu ingin meraihnya, dan saya selalu tersadar bahwa saya tak akan bisa meraihnya karena bentangan jarak. Jadi saya cukup berbahagia dengan menatapnya.”

“Katakan Rakandi, apakah aku seindah rembulan?” tanya Apsara.

“Seribu kali lebih indah daripada rembulan, Nya. Saya tak bisa melukisannya dengan kata-kata,” ujarku.

“Apakah aku kini berada terlalu jauh darimu, Rakandi?” suara Apsara perlahan sekali.

“Sangat jauh menurut saya, Nyai……” hampir meledak dadaku ketika mengatakan ini, dan entah kenapa aku lebih suka menunduk katimbang membalas tatapan Apsara. Apsara tidak berbicara lagi beberapa saat.

Aku harus mendongak manakala selembar benda tipis jatuh di kepalaku, dan luruh melintasi wajahku, meninggalkan desir angin kecil bersemerbak kenanga. Apsara baru saja melemparkan selendang sutra itu tepat ke wajahku. Aku menatapnya, setelah menangkap selendang di tangan.

“Jarak kita hanya sepelemparan selendang, Rakandi. Tidakkah kau mengerti itu?” kata Apsara.

“Maksud Nyai?”

“Raihlah aku, Rakandi. Kuijinkan kau mendapatkan rembulanmu,” ujar Apsara, dengan sinar mata menggelora. “Lintasi pintu ini. Mendekatlah padaku. Inginkan aku. Dapatkan aku!” Apsara mengangkat tubuhnya sedikit, menanti.

Tersulut sudah sumbu peledak di dadaku itu! Bakal ada yang meletup!

Tapi kemudian dentuman tak segera terjadi. Aku menatap tajam rembulan yang sudah teramat dekat itu.

“Nyai Apsara, saya sangat menginginkan Nyai lebih dari yang Nyai kira. Saya mencintai setiap jengkal keindahan raga dan kecerdasan Nyai! Tapi, Nyai, maafkan saya! Saya diamanati oleh Tuanku Pibulwongsawat untuk menjaga padepokan, menjaga isinya termasuk keutuhan Nyai…”

“Rakandi….”

“Saya sangat ingin mendekap, mencumbu dan menghangatkan Nyai seperti yang Nyai harapkan. Tapi amanat Tuanku Pibulwongsawat telah membelenggu saya. Amanat itu Nyai, mohon maaf, adalah kehormatan saya”

“Dan kau tak hendak mencederai kehormatan kamu itu meski aku telah bersiap mengorbankan kehormatanku?” Apsara duduk, tersimpuh di lantai kayu.

“Benar, Nyai! Akan sangat terhormat bila kita bisa jaga kehormatan masing-masing!” kataku.

“Begitu ya?” suara Apsara terdengar pasrah. Ia mencari busananya yang tadi ia lemparkan ke samping dan perlahan mengenakannya. Bisa kulihat ada genangan kecil di matanya.

“Maafkan saya, Nyai!”

“Kau telah mencampakkan aku, orang Jawa. Sekarang turunlah dari rumah kayu ini. Jangan berani menatapku lagi!” kata Apsara.

Aku tak segera bergerak. Genangan di mata Apsara meluber, menurunkan beberapa tetes di permukaan pipi cantik itu.

“Turun, kataku!” hardik Apsara.

Aku menuruti kata-kata Apsara. Aku mengemasi alat lukis dan bergerak turun meniti anak tangga. Aku menunggu di bawah dengan hati gundah. Benarkah aku telah menyakiti perempuan pujaanku ini?

Beberapa saat kemudian, dengan busana lengkap, Apsara duduk di beranda kayu menatapku di bawah.

“Kamu seharusnya bertanya kenapa aku mengingingkanmu, Orang Jawa!” ujar Apsara.

“Kenapa, Nyai?”

Chan rak khun! Aku trisno marang sliramu,” Apsara mengusap airmatanya.

Hatiku meluluh sedikit, dadaku sesak. Aku kembali meniti anak tangga naik, dan berdiri persis di hadapan Apsara. Kutatap matanya.

“Kubilang jangan tatap mataku,” kata Apsara.

“Saya menatap mata Nyai karena ingin menyatakan bahwa saya juga mencintaimu, Apsara. Saya akan menatap matamu terus kecuali kau pejamkan matamu,” kataku.

Apsara memajamkan matanya. Kupagut bibir perempuan itu lembut. Apsara membalasnya. Lama kami berpagutan dalam pelukan rapat di ujung anak tangga itu. Pepohonan besar dengan desir angin sejuk seperti menciptakan pusaran beraroma ribuan kembang.

Apsara melepaskan pelukan itu.

“Untuk apa ciuman ini?” tanyanya.

“Untuk menyatakan aku cinta kamu, Apsara! Dan untuk mengingatkan agar kita tidak akan melakukan hal lain lebih dari sekadar ciuman ini. Dan ini adalah ciuman pertama dan terakhir kita. Saya sangat menghormati Nyai, kedudukan Nyai, padepokan dan Tuanku Pibulwongsawat!”

Kupeluk sekali lagi Apsara dan kubiarkan ia menangis kecil dalam pelukanku. Bahuku basah oleh tetesan airmatanya. Hatiku menderu-deru, seperti ombak laut yang dihempas topan. Seperti dedaunan pohon yang diterpa angin.

Apakah aku akan menyesali kata-kataku ini?

(BERSAMBUNG KE SINI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun