Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (11)

3 September 2012   06:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:59 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (10) bisa dibaca di sini

“Tunggu apa lagi? Segera coba dan biasakan berada dalam pakaian perang itu, supaya nyaman dipakai bila dibutuhkan,” kata Apsara sebelum mengikuti kedua istri Pibulwongsawat ke ruang dalam.

“Baik, Nyai!” kataku.

Pakaian zirah ini bukan main beratnya. Bagian dada dan bahu rapat tertutup lempengan logam. Bagian bawah memanjang dilengkapi dengan rumbai-rumbai kulit yang berlapis besi. Penutup kepala terbuat dari logam tak kalah beratnya. Apakah bisa bergerak lincah dengan zirah ini?

Benar kata Apsara, aku harus membiasakan diri berada dalam baju zirah ini. Bila ada serangan mendadak, kalau tak biasa mengimbangi bobot baju zirah ini, bisa-bisa gerakannya terhambat. Pertanyaannya, haruskan kukenakan terus baju ini. Aku keluar bilikku dengan baju itu. Salah satu dari punggawa padepokan melihatku sembari melontar entah pujian atau ledekan.

“Ooi……orang Jawa pakai baju kebesaran Ayutthaya. Hebat, teman!”

Punggawa itu mengenakan pakaian yang persis sama dan beberapa punggawa yang berlalu-lalang juga mengenakan pakaian zirah. Pastilah ini perintah Pibulwongsawat agar kawasan padepokan tetap siaga meskipun ancaman musuh sebenarnya ada jauh di utara.

“Nah, begitu! Hebat!” Apsara muncul dari balik pintu dalam, dengan dandanan rapi, berkain sutra warna keemasan dan kain pelilit dada warna cerah. “Kau pantas dalam baju itu. Tak ubahnya mirip punggawa Ayutthaya”

“Ya, ini menimbulkan perasaan aneh bagi saya, Nyai. Di Majapahit saya hanyalah rakyat jelata, tapi jadi punggawa kerajaan di Ayutthaya.

“Tak perlu merasa aneh. Orang bijak bilang kita selalu harus menyesuaikan diri dan terima dengan keadaan yang tersedia,” seloroh Apsara.

“Baiklah, Nyai. Mohon jangan tertawakan kekikukan saya!”

“Tidak sama sekali. Oh ya, hari ini saya ingin berperahu di seputaran sungai. Tuanku Pibulwongsawat memerintahkan kau yang mengawal saya. Bawa serta sebagian alat lukis. Nanti kau bisa melukis lalu lalang kapal pedagang di kawasan sungai, sekaligus melihat adakah kapal mencurigakan. Sudah pula kubawa bekal makanan,” kata Apsara. Emban setia membawa buntalan makanan dalam kantung kain yang dilingkarkan di bahunya.

Aku segera masuk bilik dan membawa serta dua kuas dan sejumlah pewarna serta beberapa lembar kain lukis, kutempatkan dalam kantung kain. Apsara langsung mengisyaratkan agar kami berjalan menuju sungai.

“Tak ada punggawa pengawal?” tanyaku, melihat tak ada orang lain yang ikut selain emban setia.

“Dua istri Tuanku Pibulwongsawat mengijinkan aku pergi tanpa pengawal. Mereka tak keberatan aku berjalan-jalan sedikit dengan hanya pengawalanmu. Mereka tahu kau bisa diandalkan. Mereka juga tahu tugasku adalah juga mengawasi kamu, orang Jawa,” kata Apsara dengan nada bersungguh-sungguh.

Aku tak mengerti kenapa Apsara yang biasa dikawal dua punggawa kali ini bisa melenggang sendiri tanpa pengawalan. Sudah sepercaya itukah Tuanku Pibulwongsawat kepadaku?

Kami berjalan menuju ke bibir sungai. Di tepi sungai, emban menyerahkan bungkusan bekal makanan kepada Aspara, berjalan mundur dan balik ke padepokan.

“Emban kemana?” tanyaku.

“Emban hanya membantu membawakan makanan sampai ke perahu. Ia harus kembali ke padepokan untuk memijat istri kedua. Emban istri kedua sedang sakit,” tutur Apsara.

Aku tak segera beranjak ke sebuah perahu cukup untuk berempat dengan penaung. Seorang pendayung telah siap di perahu, lelaki tegap bercambang lebat dengan mata bulat.

“Ini Jorat, pendayung perahu,” kata Apsara sambil menyapa pemuda pendayung itu. Jorat hanya mendengus dengan pandangan mata yang seperti tak bisa menatap lurus.

“Ia pemuda kurang waras,” Apsara berbisik kepadaku, “tapi tenaganya sangat kuat dan kesetiaannya tidak diragukan. “Ia tidak bisa bicara. Ia hanya bisa menerima perintah!” tambah Apsara.

Aku mengangguk ke arah Jorat. Pemuda ini sekali lagi, hanya mendengus.

Dan Apsara benar. Ketika kami sudah duduk dengan nyaman di atas perahu, Jorat lincah menggerakkan sepasang dayung di kanan dan kiri di bagian belakang perahu. Tak bisa kulihat bagaimana ia bekerja mendayung karena terhalang gubukan naungan di perahu itu, tapi dari laju perahu, bisa kurasakan tenaganya yang luar biasa.

Manakala perahu bergerak menyusur sungai, Apsara bicara.

“Kau tahu tugas dan tanggungjawab yang kauemban sekarang, Rakandi?”

“Ya, Nyai. Menjadi wakil Tuanku Pibulwongsawat atas keselamatan padepokan ini. Saya agak kuatir sebenarnya, tak yakin apakah saya mampu melindungi tempat tinggal dan orang-orang terkasing Tuanku Pibulwongsawat, “kataku.

“Benar, tapi percayalah. Tuanku Pibulwongsawat tahu apa yang ia lakukan. Ia prajurit luar biasa dengan banyak pengalaman,” kata Apsara.

“Boleh Nyai ceritakan bagaimana Nyai bertemu tuanku?” tanyaku.

Apsara menebarkan pandangannya ke permukaan sungai.

“Pibulwongsawat diangkat menjadi kepala keamanan kerajaan saat kerajaan Ayutthaya mulai berdiri pada tahun 1350. Aku bertemu Tuanku Pibulwongsawat saat ayahku mengajukan aku sebagai penterjemah kerajaan 5 tahun lalu, ketika aku masih berusia sembilan belas tahun. Rupanya Tuanku Pibulwongsawat jatuh cinta padaku. Ia memintaku menjadi istrinya setahun kemudian. Kami berbeda usia cukup jauh. Beliau 52 tahun sekarang!”

“Maaf, saya tak pernah melihat ada anak-anak tuanku Pibulwongsawat di padepokan?”

“Tuanku Pibulwongsawat tak punya anak, dari semua istrinya. Barangkali beliau tidak bisa memberikan keturunan,” ujar Apsara.

Aku tak bicara.

“Sekarang kamu yang cerita, Rakandi. Aku belum mendengar penjelasan lengkap tentang kemahiran ilmu beladirimu,” ujar Apsara.

“Baiklah, Nyai. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Saya belajar ilmu silat dari pendekar-pendekar Modo, tempat kelahiran Patih Gadjahmada, dan dari beberapa pendekar lain yang sempat belajar pada prajurit Mongol yang pernah datang ke Majapahit. Tetapi seperti yang saya bilang, saya tak pernah tertarik menjadi prajurit Majapahit”

“Kenapa?”

“Saya tak terlalu suka melihat pertumpahan darah. Saya melukai orang hanya kalau terpaksa, seperti yang saya lakukan atas orang-orang Bama kapan hari itu. Hari itu saya menyesal luar biasa telah membunuh orang,” kataku. Apsara menatapku sesaat.

“Lalu, ilmu sungging, ilmu melukis itu, bagaimana kau mempelajarinya?” tanya Apsara.

“Saya belajar dari seorang empu lukis di Modo juga. Ia seorang pertapa Hindu yang menghabiskan masa tua dengan melukis. Ia guru yang hebat,” kataku.

Apsara menatapku lagi dari tempat duduknya di dalam gubukan naungan di perahu itu. Kini perahu sedang melaju sedikit ke selatan, mengikuti aliran sungai.

“Kau pemuda yang mengagumkan, Rakandi! Boleh tahu umurmu?”

“Sedikit di bawah Nyai,” kataku menunduk, tak tahan ditatap Apsara seperti itu.

“Maaf, saya malu dipuji seperti itu. Saya tak pantas mendapat pujian ini,” kataku merendah.

“Jangan rendah diri, orang Jawa. Lihat betapa hebat dan gagahnya dirimu : seorang seniman lukis dan petarung yang hebat, dan wajah yang tampan pula,” kata Apsara. Terus terang aku terkejut dengan sanjungan terakhir itu. Aku berusaha menatap Apsara.

“Terimakasih, Nyai. Saya bingung, apakah biasa perempuan Siam memuji lelaki lain yang bukan suaminya?” kataku, menangkupkan kedua tangan tanda sembah.

“Sebenarnya tidak, tapi entahlah kata-kata itu meluncur begitu saja. Maafkan saya bila ini mengganggumu”

“Sama sekali tidak, Nyai. Mana ada orang yang tak suka dipuji, kecuali mungkin Nyai sendiri,” kataku.

Apsara tertawa renyah. “Rupanya itu mengganggu pikiranmu, ya? Memangnya kenapa kalau ada perempuan yang tidak suka dipuji?” tanya Apsara.

“Pujian itu doa, Nyai, agar segala kebaikan yang dimiliki orang yang dipuji tetap melekat padanya. Bisa saja ada perempuan yang tak suka didoakan oraqng lain. Akal hanya saya, saya tak tahan untuk tidak memuji Nyai seperti yang sudah-sudah, dan sekali lagi saya minta maaf kalau ini tidak berkenan,” kataku.

Apsara kembali menatap hamparan air sungai yang memantulkan sinar matahari tengah hari.

“Katakan, Rakandi. Ketika kau memujiku, apakah kau bicara tulus?” Apsara ganti menatapku, membetulkan helai rambutnya yang tersapu angin menganggu wajah.

“Sangat tulus, Nyai. Dari hati saya yang paling dalam. Bahkan kalau boleh dan tak takut kepala dipenggal, saat inipun saya ingin memuji Nyai: keelokan dan kecerdasan Nyai”

Apsara tak bicara, dan kembali menatap hamparan air. Aku menunduk, sungguh kuatir kata-kataku membuatnya murka.

“Kau boleh memujiku kali ini, Rakandi!” ujar Apsara tiba-tiba.

“Maaf, Nyai?”

“Aku bilang, kalau kau mau, kau boleh memujiku sekarang!”

“Oh, maaf, apakah….?”

“Ayo, mana pujian itu?”

“Maaf, pujian yang terpendam selama ini : Nyai sungguh cantik, memesona dan cerdas. Nyai memiliki kerling mata dan gerak wajah yang bisa meruntuhkan hati lelaki manapun,” kataku.

“Termasuk lelaki Jawa, ya?” sergah Apsara.

“Maafkan saya, Nyai. Benar, sayapun terpesona. Maafkan saya…..” aku terbata. Kalau ia marah, biarlah aku dimurkainya saat inii. Yang penting, sudah kusampaikan pujian itu padanya.

“Haha, air mukamu jadi aneh, pendekar! Ketahuilah, aku senang mendengar pujianmu. Aku merasa nyaman dengan pujianmu, bahkan pujian lancangmu yang pertama saat itu, aku suka mendengarnya,”

“Benarkah, Nyai?”

“Benar. Kamu boleh memujiku kapan saja, tentu saja bila tak ada orang lain…,” kata Apsara menyungging senyum kecil yang manis.

“Senyum itu, senyum Nyai. Sungguh penuh keajaiban! Maaf saya memuji!”

“Itu pujianmu?” tanya Apsara.

“Benar, Nyai!”

“Hahaha, kamu lucu, Rakandi!”

“Ini benar, Nyai. Saya bertanya-tanya, benarkah Nyai tersenyum manis untuk saya?”

Apsara menatapku lekat. “Benar, Rakandi. Ini ucapan terimakasih karena kau telah menyelamatkan hidupku dua kali,”

Dan kami terdiam sesaat. Dalam diam itu, Apsara seolah membiarkan aku menatapnya berlama-lama, dalam kecipak air sungai yang dibelah perahu.

***

Apsara meminta Jorat membelokkan perahu ke arah anak sungai yang dipenuhi rerimbunan pohon rindang. Makin menjorok ke dalam, aliran sungai mengecil dan pepohonan makin rindang dan teduh, tersembunyi dari sinar matahari dan dari lalu-lalang perahu di sungai.

“Kita ke mana, Nyai?” tanyaku.

“Ke rumah pohon, tempat aku menghabiskan masa kecil dengan teman-temanku. Sejak menikah aku tak lagi pernah menengok rumah pohon itu. Aku ingin tahu seperti apa keadaan rumah pohon itu sekarang?”

Perahu dipinggirkan dan ditambatkan oleh Jorat ke tepian sungai yang ditunjukkan ole Apsara. Kami bertiga kemudian berjalan beberapa ratus depa menembus kelebatan pohon. Rumah pohon yang dimaksud Apsara masih berdiri tegak, namun dipenuhi tumbuhan liar. Rumah pohon itu berdiri sekitar lima kali tinggi orang dewasa, bertengger di dahan-dahan besar. Apsara lincah menaiki pokok-pokok kayu tangga yang terikat di batang pohon, dan kemudian membuka pintu rumah pohon. Apsara memintaku menyusul naik. Bau apek menyergap hidung ketika pintu terbuka.

“Makan siang di sini, bagaimana menurutmu?” tanya Apsara.

“Gagasan bagus, asal dibersihkan dulu,” aku menimpali.

Apsara kemudian bicara pada Jorat. Jorat segera mengambil alih pekerjaan pembersihan rumah pohon itu, dengan bantuanku dan bantuan Apsara. Tumbuhan liar yang membelit papan-papan kayu dibabat habis dan lumut-mulut yang menempel di dinding dibersihkan. Jorat diminta pula mengeratkan tali-tali pengikat bilah-bilah kayu tangga.

Sesaat kemudian rumah kayu yang kuperkirakan dua kali lebih besar daripada pembaringan itu tampak bersih dan segar, termasuk papan kayu yang menjadi beranda rumah kayu itu.

“Pasti menyenangkan bisa bermain seharian di hutan ini,” kataku.

“Benar, aku dan teman-temanku bisa mandi pula di sungai di bawah sana”

“Tak takut ada yang mengintip?”

“Tidak, mana ada orang yang mengintip, kecuali seniman jahil macam kamu,” Apsara tergelak. Aduh, indah sekali senyum itu.

Tak lama duduk dengan kaki berjuntai, Apsara menunjukkan betapa damai dan heningnya suasana hutan di sekeliling rumah kayu itu. Bila menatap lurus, aku bisa melihat batang-batang pohon rindang dengan udara segar, dan ke bawah sana, hamparan perdu-perdu liar.

Apsara memerintahkan Jorat mengambil bekal makanan di perahu. Sessat kemudian, Jorat membawa bekal itu naik ke rumah pohon. Apsara memisahkan sebagian makanan dan minuman untuk Jorat.

“Ini, bawalah makanan untukmu ke perahu dan jagalah perahu. Jangan tinggalkan perahu tanpa kuminta!” kata Apsara.

Jorat mendengus, tampak senang dengan jatah makanan itu. Ia menghilang di balik perdu liar, untuk menikmati santap siang di perahunya.

Bekal makan siang itu luar biasa nikmatnya. Kata Apasara, itu adalah masakan istri pertama Tuanku Pibulwongsawat yang jago memasak, lengkap dengan air nira dalam tabung-tabung bambu. Apsara meminta aku turun ke bawah untuk menemaninya membasuh muka dari air anak sungai yang bening dan segar. Tetes-tetes air di wajah dan bibir Apsara, sungguh tak terbayangkan indahnya.

“Mana alat-alat lukismu?” tanya Apsara.

“Ini,” aku mengayunkan bungkusan kain yang terikat rapi yang kulilitkan di bahu.

“Kamu mau melukis untukku?” kata Apsara.

“Siap, Nyai!”

“Baiklah. Aku belum pernah melihat seorang pelukis dengan baju zirah. Apa tidak sebaiknya baju zirah itu ditanggalkan?”

“Apakah cukup aman di sini, maksud saya, bagaimana kalau tiba-tiba ada musuh?”

Apsara tersenyum renyah. “Kupastikan aman!”

Aku bergerak ke belakang pohon besar dan melepaskan baju zirah itu. Lega rasanya terbebas dari beban pakaian berat. Di bagian dalam, aku mengenakan pakaianku sehari-hari.

“Nah, begitu! Mau melukis dari rumah pohon?” kata Apsara mendahului naik tangga rumah pohon.

“Maaf, bukankah kita mau melukis sungai?”

“Terlebih dahulu kau buat lukisan alam di sekitar rumah pohon ini. Ayo naik,” ia mengisyaratkan aku untuk mengikutinya. Kami berdua kemudian duduk di beranda kayu rumah pohon itu, menghadap ke bentangan pepohonan rindang.

“Buatkan aku lukisan jajaran pepohonan itu, sementara aku akan bersemedi mengucap syukur atas keindahan Sang Pencipta,” ujar Apsara.

Aku mengangguk dan mulai menyiapkan peralatanku. Apsara sendiri duduk bersimpuh tak jauh di sebelahku dengan mata terpejam dan wajah jauh menengadah ke depan. Ia kemudian tenggelam dalam semedinya.

Sesekali aku melihat bibir cantik itu berkomat-kamit, masih dengan mata terpejam dan sinar wajah teduh. Duh Gusti! Keindahahan yang tak terperikan!

Aku menyelesaikan lukisan itu hampir bersamaan dengan tuntasnya semedi Apsara. Apsara menengok lukisan itu dan mengernyitkan kening.

“Kali ini lukisanmu tidak memiliki nyawa dan tidak memancarkan keindahan benda yang kau lukis,” kata Apsara.

“Nyai benar! Saya tidak mampu memusatkan pikiran saya”

“Kenapa?”

“Saya terlalu sering melirik Nyai,” kataku terus terang.

“Ah, kau mulai kurang ajar!”

“Maaf, katanya saya boleh memuji Nyai,” sergahku.

Apsara tersenyum.

“Begini saja, Rakandi. Tampaknya kau tak terlalu hebat dalam melukis pepohonan,” Apsara berhenti berbicara. “Maukah kau melukis aku, di dalam rumah pohon itu”

“Baik, Nyai!”

Apsara kembali menaiki tangga dengan lincah. Aku menyusulnya dengan peralatan lukisku. Apsara kemudian masuk ke rumah pohon. Aku menunggunya di landasan beranda kayu, sibuk menata cat dan meluruskan kain lukis di hamparan kayu landasan.

“Kau siap?” suara Apsara membuatku mendongak.

Gusti!

Apsara rebahan di lantai rumah pohon itu menopang kepala tanpa sehelai benangpun di tubuhnya, kecuali selendang sutra merah tipis kecil yang melintasi bagian terpentingnya! Cahaya dari luar menambah kasat mata pemandangan itu.

“Nyai!” aku tergeragap. “Saya….”

“Kenapa, seniman?”

“Saya tidak mengira Nyai mau dilukis seperti ini?”

Apsara masih tetap dalam posisi yang sama.

“Kau sudah pernah melukis aku setengah terbuka, aku yakin kau bisa melukis aku seperti yang aku minta. Aku yakin kamu bisa, dalam arti, kau bisa memusatkan pikiranmu dan tidak berpikiran yang lain-lain selain menorehkan aku ke dalam lukisanmu. Dan aku memerintahkan kau untuk tidak berpikir macam-macam selain menuntaskan tugas melukis dengan baik,” Apsara menyorot mataku.

“Saya…..maaf, Nyai….,” aku berusaha tak menatap keelokan di hadapanku.

“Kau seniman, Rakandi. Kau pasti bisa mengendalikan kekuatan kesenimananmu dan gejolak hatimu. Aku tahu ini sulit, tapi aku yakin kau bisa melakukannya!”

“Beribu maaf, Nyai…..!”

“Aku tidak akan memerintahkanmu dua kali, Rakandi. Aku tanya sekali lagi, dan aku perlu jawabanmu!” suara Apsara bernada memerintah, meminta, memaksa.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun