Menjelang pukul 2 siang, langit mendadak gelap. Hujan deras turun seketika. Saya menepikan motor untuk berteduh, di emperan sebuah mini-market. Persis di sebelah mini-market, terdapat warung makan yang tak menyisakan tempat duduk.
Tak jauh dari tempat saya berdiri merapat ke tembok, seorang lelaki tua, berwajah lusuh, duduk bersandar, juga berteduh. Di sebelah kirinya ada dua keranjang kecil penuh tumpukan samiler (kerupuk singkong) mentah yang dikemas dalam kantong plastik merah. Orangtua itu rupanya pedagang samiler, dan dari tumpukan barang dagangan itu, saya perkirakan jualan hari ini sepi, atau bahkan tak terjual sebungkuspun.
Udara mulai dingin. Di sebelah kanan orangtua itu, adalah deret terakhir bangku kedai makan. Seorang lelaki muda tengah menyantap nasi kare ayam yang menebarkan aroma menggoda. Lelaki tua itu menoleh ke arah piring nasi kare; jakunnya naik turun, tanda ia menelan ludah. Ia kemudian memeriksa sakunya, dan hanya bisa mengais selembar uang dua ribu rupiah. Ia berseru pada pengelola kedai, “teh hangat satu!”.
Begitu ia menerima segelas teh dari pengelola kedai, ia segera membawa teh itu ke tempat ia duduk, dan mulai meniup teh agar lebih dingin. Jakunnya masih naik turun ketika sesekali ia menatap nasi kare milik pemuda di sebelahnya.
Cerita di atas memang hanya seutas ilustrasi, namun bukan tak mungkin itu jamak terjadi. Tak semua orang bisa mengisi perut dengan makanan layak pada saat ia perlukan.
***.
Tanggal 4 April 2015, sebelum penerbangan balik ke Surabaya setelah mengikuti rangkaian perjalanan Tur Asia Tenggara Samsung Galaxy S6 di Singapura yang disponsori Samsung dan Kompasiana, saya sempat diajak jalan oleh seorang teman ke Quayisle, sebuah kawasan makan tepi laut di Singapura yang menyediakan berbagai restoran beragam selera. Selepas makan siang, mata saya tertumbuk pada kotak-kotak berwarna putih krem tak jauh dari lift. Ada tulisan Food Bank di kotak-kotak itu. Food bank! Bank pangan! Apa pula itu?
Saya mengambil satu dari sejumlah booklet yang ditata rapi di atas kotak-kotak itu dan mulai membaca booklet yang ditulis dalam bahasa Mandarin dan Inggris itu. Halaman pertama booklet itu menuliskan, “Tahukah Anda berapa banyak makanan terbuang sia-sia pertahun di Singapura? 796 ribu ton!
Ini menarik.
Food Bank Singapore (FBS) adalah sebuah organisasi yang berperan sebagai pusat koordinasi sumbangan makanan di negeri mungil itu. FBS mengelola berbagai jenis makanan sisa dari petani, pabrik makanan, distributor makanan, toko makanan, konsumen dan sumber-sumber lain untuk kemudian disumbangkan kepada yang membutuhkan melalui berbagai agensi. Misi FBS adalah menjembatani penyumbang dan tersumbang, menyediakan akses dan informasi tentang pangan murah bagi anggota, menyebarkan informasi tentang pentingnya perencanaan sumber pangan untuk memastikan ketahanan pangan jangka panjang, dan mencari cara kreatif untuk memaksimalkan kegunaan makanan sisa.
Lalu, jenis makanan apa yang bisa disalurkan melalui Food Bank? Semua jenis makanan kemasan (kaleng, botolan, bungkusan) yang belum kedaluarsa dan masih dalam kondisi higienis yang baik. FBS memperoleh bahan-bahan makanan melalui dua cara, yakni pembelian dari pabrik, toko, petani atau sumber-sumber lain dengan harga diskon. FBS kemudian akan mengemas makanan itu dalam tiga jenis kemasan : kecil, sedang, besar. Kemasan kecil disediakan dengan harga S$ 10 (Rp 95.000), kemasan sedang S$ 30 (Rp 285.000), dan besar S$ 50 (Rp 450.000). Harga sudah termasuk pengemasan dan ongkos antar. Kemasan-kemasan ini berisi makanan minuman kebutuhan sehari-hari, yang akan sangat membantu meringankan beban warga yang mengalami kesulitan membeli makanan yang di Singapura termasuk mahal itu.
FBS juga menerima sumbangan dalam bentuk dana tunai untuk menutupi biaya operasional, dan bekerja sama dengan program-program CSR (Corporate Social Responsibility) sejumlah perusahaan. Tenaga kerja FBS semuanya tidak dibayar, dan setiap saat FBS mengundang relawan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari dan aktivitas-aktivitas khusus lain. Pada saat-saat tertentu, FBS juga mengirimkan bahan-bahan makanan gratis ke daerah-daerah lain (bahkan di luar negeri) yang sedang membutuhkan.
Selain dari petani, pabrik makanan atau toko makanan, FBS juga menerima sumbangan makanan dari masyarakat luas. Warga masyarakat bisa meletakkan bahan makanan sumbangan pada kotak-kotak Food Bank yang saya tulis di atas; syaratnya, makanan masih dalam kemasan belum terbuka dan belum kedaluarsa (minimal 4 minggu sebelum tanggal kedaluarsa). Silakan simak jenis-jenis makanan yang bisa disumbangkan pada foto di bawah ini :
[caption id="attachment_363794" align="aligncenter" width="560" caption="Foto : Eddy Roesdiono"][/caption]
Agar proses pemilahan jenis makanan berlangsung cepat dan efisien, warga penyumbang diminta untuk meletakkan bahan makanan sesuai dengan jenisnya, seperti yang tampak pada foto-foto di bawah ini (maaf hasil potretan kurang fokus).
[caption id="attachment_363795" align="aligncenter" width="560" caption="Foto : Eddy Roesdiono"]
[caption id="attachment_363796" align="aligncenter" width="490" caption="Foto : Eddy Roesdiono"]
[caption id="attachment_363797" align="aligncenter" width="560" caption="Foto : Eddy Roesdiono"]
Ketika membayangkankan cerita ilustrasi di atas, kita pasti terbetot untuk menggagas bank pangan serupa di tanah air. Kita mafhum bahwa masih sangat banyak warga Indonesia yang kesulitan mendapatkan pangan cukup dan layak sehari-hari, di tengah melambungnya harga bahan-bahan pangan.
Memang kita sudah memiliki skema sosial penyumbangan bahan pangan, namun kebanyakan skema sosial itu masih terbingkai pada kegiatan keagamaan (daging hewan kurban perayaan Idul Adha, bingkisan lebaran, bingkisan Natal), atau dilaksanakan pada momen kritis, misalnya sumbangan pangan bencana alam. Sangat jarang kita jumpai program berbagi pangan yang bersifat sustainable (terus menerus), yang berfokus pada mereka yang kurang beruntung dari segi hak makan.
FBS mengusung tagline sederhana tapi cerdas, yakni ‘Don’t bin it when you can still eat it” (Jangan buang makanan selagi masih bisa dimakan). Semangat inilah yang bisa kita tiru dan sesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi di tanah air.
Pertama, kita bisa ambil gagasan FBS, yakni mendapatkan bahan-bahan pangan kemasan dari berbagai sumber dengan harga murah dan mendistribusikannya kepada mereka yang butuh dengan harga terjangkau.
Kedua, kita bisa lebih memikirkan gagasan untuk menyalurkan makanan tak termakan (non-kemasan) dengan cara lebih baik. Ambilah contoh sederhana ini : seringkali keluarga yang baru saja menggelar hajatan (perkawinan, dan semacamnya), masih memiliki sisa makanan tak termakan seusai pesta. Makanan tak termakan ini kemudian biasanya dibagi-bagi ke tetangga sebelah, yang sebenarnya tak terlalu membutuhkan bantuan pangan. Bila kita punya Food Bank, kita bisa salurkan makanan tak termakan itu ke lembaga food bank semacam ini. Lembaga ini akan menerima dan menyediakan makanan dengan harga murah. Food bank bisa menyediakan kedai murah (sepiring nasi dan lauk pauk kelas kondangan seharga Rp 3.000, misalnya).
Tentu saja makanan di kedai singgah ini harus memiliki nilai martabat pangan; artinya, bukan makanan yang dikumpulkan dari sisa-sisa di piring tetamu kondangan, melainkan dari periuk nasi, periuk lauk, periuk sayur yang tak terambil.
Sumbangan makanan bisa pula berbentuk nasi kotak yang biasanya menjadi item konsumsi acara pertemuan, seminar atau sarasehan. Bila tersedia 500 kotak makan siang sementara yang hadir pada acara seminar hanya 300 orang, maka akan ada sisa 200 kotak. Kotak-kotak sisa ini biasanya dibawa pulang panitia, yang pada akhirnya disantap oleh orang yang tidak terlalu membutuhkan. Bayangkan biila kotak-kotak nasi yang masih layak makan ini disalurkan ke food bank, dan bisa dinimkati oleh lelaki tua kelaparan seperti yang saya ilustrasikan di atas hanya dengan harga Rp 2.000 per kotak, misalnya.
Lalu, untuk apakah kutipan Rp 2.000 untuk nasi kotak yang tadinya diperoleh gratis itu? Tentu saja untuk biaya operasional food bank; untuk biaya kebersihan, biaya cuci piring, atau biaya beli kemasan nasi bila bahan pangan sisa pesta kemudian dikemas lagi sebelum didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Akan lebih baik lagi, bila food bank punya sarana-sarana penyimpan awet makanan, misalnya freezer atau refrigerator, yang bisa menyimpan awet perishable food (makanan mudah rusak) seperti daging, buah dan sayur. Seringkali, misalnya, contoh di kampung saya, pada saat Idul Adha, pada saat daging kurban melimpah, kami panitia kerap bingung ke mana harus menyalurkan daging kurban, karena pada hari itu, rata-rata mereka yang membutuhkan sudah terpenuhi kebutuhannya. Walhasil, bahan makanan seperti itu terpaksa kita simpan sendiri dan pada akhirnya dikonsumsi sendiri karena tak punya waktu untuk membagikannya, kalau kita punya sarana penyimpang awet, kita bisa menyalurkan bahan-bahan seperti itu di lain hari kepada mereka yang membutuhannya. Dan ini memiliki nilai sosial yang tinggi.
Bila biaya operasional food bank sudah berlebihan, makanan bahkan bisa dibagikan dengan gratis, Dengan food bank, kita bisa pula mengumpulkan stok makanan yang bisa langsung disalurkan ke tempat-tempat rawan pangan, atau ke kawasan-kawasan terdampak bencana alam semacam banjir, gempa bumi dan sebagainya, tanpa harus menunggu pengumpulan sumbangan bahan pangan terlebih dahulu.
Gagasan food bank mungkin sederhana, tapi sangat berpotensi menciptakan keseimbangan antara makanan yang terbuang percuma (kesia-siaan) dengan kecukupan pangan bagi yang membutuhkan. Bila Singapura yang berpenduduk 4.5 juta jiwa itu buang sia-sia 796 ribu ton makanan pertahun, berapa banyak makanan terbuang percuma dalam kurun waktu sama di Indonesia?
Agaknya Kementrian Sosial Indonesia, Dinas Sosial daerah dan lembaga-lembaga masyarakat perlu mengadaptasi gagasan food bank. Ini akan menjadi upaya cantik solidaritas pangan bagi mereka yang membutuhkannya.
Salam Jumat ceria!
Rererensi : www.foodbank.sg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H