Bosan dengan wisata pantai dan hiburan malam di Thailand? Silakan melancong ke Thailand utara dan kunjungi Baan Tong Luang, sekitar 30 kilometer di utara Chiang Mai. Baan Tong Luang adalah sebuah kawasan buatan yang disebut sebagai Hill Tribe Cultural Preservation Village (desa suaka budaya suku gunung) dan dikenal pula sebagai objek wisata eco-agroculture. Kawasan ini mulai dibangun pada tahun 2003 dan dibuka untuk umum pada akhir tahun 2005. Baan Tong Luang buka mulai pukul 8 pagi dan tutup pada jam 5 sore.
[caption id="attachment_186749" align="aligncenter" width="512" caption="Perempuan leher panjang suku Karen (foto : Eddy Roesdiono)"][/caption]
Sediakan uang tiket masuk sebesar 500 baht (sekitar Rp 150.000), di loket pintu masuk yang dijaga petugas-petugas berbusana modern biasa. Anda akan menerima brosur dan peta kawasan dan disambut pemandu. Selanjutnya Anda mulai bisa berkelana di sebuah kawasan yang didesain untuk menampung sekitar 150 orang dari lima suku tradisional Thailand Utara, yakni suku Ka Young , suku Karen Putih, Suku Lahu, sukuDara Ang(atau Pa Long) dan suku Hmong, yang ditempatkan berdasarkan kelompok suku mereka.
[caption id="attachment_186750" align="aligncenter" width="480" caption="Rumah "]
Mari kita berkenalan dengan masing-masing anggota suku-suku gunung itu.
Suku Ka Young (Karen) yang dipresentasikan melalui perempuan berleher panjang disangga dengankalung leher terdiri dari beberaparing. Gadis-gadis suku ini mulai mengenakan ring lehar sejak umur 5 tahun. Setelah berusia 20 tahun, ring ditambah makin tinggi. Ring-ring ini mereka percaya sebagai sesuatu yang memilik kekuatan gaib dan membuat mereka tampak cantik.Mereka bisa kehilangan kekuatan kalau menanggalkan ring-ring. Kenapa leher gadi-gadis ini bisa panjang? Itu karena bobot ring membuat tulang bahu turun.
Suku Lahu adalah imigran dari Tibet dan Cina barat daya. Para perempuan Lahu suka mengenakan anting-anting besar.
Suku Karen Putih ditandai dengan gadis-gadis perawan yang berbusana putih, dan baru ganti menjadi busana warna-warni bila sudah menikah. Meski Karen adalah suku yang lemah lembut, budaya Karen cukup garang bagi warganya yang melakukan perzinahan yang bisa mendatangkan hukuman mati. Kebanyakan anggota suku Karen menganut agama Kristen sebagai hasil dari ajaran misionaris barat.
Suku Dara Ang (Pa Long) juga berasal dari keturunan pengungsi Myanmar, yang ditandai dengan busana arung warna-warni, sabuk lebar berwarna perak dan mengenakan jimat rotan hitam untuk perlindungan diri dari setan dan roh jahat. Sebagian dari mereka adalah pemeluk Buddha dan sebagian lagi memiliki kepercayaan Animisme.
Suku Hmong berasal dari Cina selatan dan saat ini tersebar di Laos, Vietnam, Mnaymar dan Thailand.
[caption id="attachment_186751" align="aligncenter" width="378" caption="Lagi, perempuan Karen berleher panjang (foto : Eddy Roesdiono)"]
Memasuki kawasan Baan Tong Luan, Anda seperti berada di pedesaan asli mereka, seperti yang terlihat dari struktur bangunan tempat tinggal, cara hidup dan barang-barang kerajinan yang mereka gelar di beranda rumah-rumah seperti toko souvenir pada umumnya. Barang kerajinan bisa berbentuk gelang, manic-manik, kain, hiasan rambut, jimat dan semacamnya.
[caption id="attachment_186753" align="aligncenter" width="366" caption="Gadis karena dalam busana putih, menandakan ia masih perawan (foto : Eddy Roesdiono)"]
Sebagai suatu kawasan wisata buatan, para ‘penduduk’ desa ini juga diskenario untuk berperan seperti sedang menjalani kehidupan sehari-hari mereka, yakni menenun, mengurusi anak balita, mencuci pakaian atau memasak.
Bagi wisatawan, pertunjukan semacam ini sangat menarik perhatian. Pertama karena wisatawan tak perlu jauh-jauh mendatangi lokasi asli suku-suku tersebut yang tersebar di berbagai pegunungan di Thailand Utara, dan kedua, para pelaku asli di Baan Tong Luang disiapkan untuk menyambut wisatawan; mereka ramah, siap diajak berfoto, diajak bercengkerama (meski banyak kendala bahasa). Itulah sebabnya, kebanyakan para perempuan lima suku yang hadir di kawasan ini mengenakan make-up untuk tampil lebih cantik. Di kawasan asalnya, tentu saja mereka tak perlu repot-repot pakai riasan wajah.
[caption id="attachment_186755" align="aligncenter" width="321" caption="Perempuan tahu suku Lahu dengan anting gede (foto : Eddy Roesdiono)"]
Sejumlah orang menilai positif pertunjukan ini seperti yang terlihat dari angka kunjungan rata-rata sekitar 500 orang wisatawan perhari. Pernik-pernik cinderamata tradisional yang ditawarkan tergolong mahal dibandingharga rata-rata. Tetapi toh wisatawan tak keberatan. Barangkali karena mereka tahu bahwa Baan Tong Luang adalah kawasan yang sengaja didirikan untuk memberdayakan suku-suku yang secara ekonomis memang kurang beruntung. Suaka budaya seperti Baan Tong Luang disiapkan bagi anggota ke lima suku ini untuk memperoleh penghasilan dari berdagang, menjadi ‘aktor’ kawasan wisata buatan tersebut, dan untuk mengekspresikan diri melalui unsur-unsur budaya mereka kepada dunia luar.
[caption id="attachment_186756" align="aligncenter" width="428" caption="Kios cinderamata di Baan Long Tuan (foto : Eddy Roesdiono)"]
Pendapat miring mengenai kawasan in ditandai oleh tuduhan bahwa Baan Tong Luang tak ubahnya adalah ‘kebun manusia’ (human zoo) yang mempertontonkan atraksi tidak natural, yang diskenario untuk kepentingan wisata secara dangkal. Teman saya asal Jerman, Robert Blaese, ngotot menolak ketika saya ajak ke Baan Tong Luang. “Nggak, ah, saya sedih melihat mereka jadi tontonan seperti itu. Kayak nonton hewan di kebun binatang,” ujar Robert.
[caption id="attachment_186757" align="aligncenter" width="500" caption="Perempuan Karen menenun (Foto : www.thaiguidetothailand.com)"]
Robert memang tak berlebihan soaltidak alamiahnya suaka itu. Pada pukul 5 sore lebih sedikit, saya kebetulan menunggu beberapa teman yang masih berada di dalam kawasan. Saya sempat melihat beberapa perempuan anggota suku yang semula berpakaian tradisional dan tampak seperti terasing dalam ketertinggalan dalam kawasan itu, berbondong keluar kawasan, ganti pakaian di ruang ganti dengan celana jeans dan tank-top, lengkap dengan head-set di kuping yang mendentumkan lagu-lagu pop Thailand dari HP mereka. Mereka dijemput angkot sewaan. Ketika sopir saya tanya kemana para wanita ini hendak pergi, sopir bilang, “pulang ke rumah masing-masing. Ada yang di sekitar sini, ada yang di Chiang Mai”.
Jadi, mereka ini datang pagi-pagi, ganti pakaian biasa menjadi pakaian tradisional masing-masing, bekerja sebagai ‘aktor’, dan sorenya pulang ke rumah masing-masing. Sayang saya tak mendapatkan informasi apakah kawasan itu benar-benar ditinggalkan ‘penduduknya’ pada malam hari.
Namun, bagaimanapun juga, sebagai sebuah upaya suaka budaya dari suku-suku terpinggirkan, Baan Tong Luang boleh diacungi jempol, setidaknya bagi wisatawan yang tak mau ribet berkunjung ke masing-masing lokasi asli. Asyiknya lagi, anggota suku ini beradagang tanpa memaksa wisatawan untuk bali; mau beli boleh, lihat-lihat saja boleh. Selebihnya, Anda mungkin boileh merasa terhibur dengan fakta itu : para perempuan suku-suku itu rata-rata cantik dan berkulit cemerlang!
Rujukan :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H