Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 32 : Mata Elang

10 April 2012   09:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:48 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

EPISODE 31 : UDARA BEBAS bisa dibaca di sini

EPISODE 32 : MATA ELANG

Belahan ufuk timur masih berbalut remang. Tapi sudah bisa dipastikan dari sisi mana matahari bakal muncul. Dari sela-sela jajaran bunga liar, balur cahaya di ufuk timur tampak seperti teriris-iris. Meski belum benderang, itu sudah cukup memberi latar belakang yang indah pada dataran yang ditebari sejuta bunga dan kilau air di danau-danau kecil. Kalau cuaca sedikit terang, warna ungu keputih-putihan bunga itu bisa tampak jelas.

Pitra menatap lurus ke fiest-spad, jalan setapak khusus sepeda, yang seperti tengah berlomba dengan putaran jeruji ban depan sepeda. Angin berhembus kencang, mengirim dingin menyusup jaket sampai ke kulit. Sampai di mana Inrenanu? Dimana Karin?

Zaldy memeluk perut Pitra erat di boncengan. Sesekali tangannya sibuk memberi aba-aba belok kiri-kanan. Di sebelah kiri, sungai Rijn yang baru saja dilewati, diam membisu. Terkadang saja airnya membuncah atau menimbulkan kecipak kecil saat perahu-perahu yang ditambat diguncang angin. Hanya satu dua orang sibuk di perahu. Tak banyak kegiatan.

”Masih jauh?” tanya Pitra.

”Kau tanya terus. Apa jadinya kau tanpa aku?” seloroh Zaldy. ”18 kilometer lagi”

Pitra menggenjot sepeda kencang. Kadang mereka harus menerabas dan lewat di jalan mobil untuk menyingkat waktu. Dan kebanyakan, mereka menempuh jalan pintas kecil di pinggiran kota. Daikui Pitra, tanpa Zaldy, rasanya mustahil nemu jalan yang benar.

Jajaran rumah petani terlihat dari kejauhan, berselimut remang. Tapi dari cerobong, asap mengepul. Kehidupan sudah dimulai. Sayang, agaknya belum ada yang suka memulai kegiatan di luar rumah sepagi itu. Suasana lengang sekali. Satu-satunya suara gaduh adalah gemuruh kereta api yang cepat yang melintas rel sekitar setengah kilometer di belakang.

Beberapa lama kemudian, di hadapan kini terbentang sebuah sungai. Ini pasti anak sungai Rijn yang sudah lewat beberapa kilometer lalu. Jalur terputus begitu saja, dan sungai air dingin membentang.

Pitra mengeram sepeda mendadak.

”Tak ada jembatan,”seru Pitra. Zaldy melongok ke depan.

”Memang pakai perahu tambang. Mobilpun biasanya menyeberang dengan itu,” tukas Zaldy.

”Tapi tak ada penjaga tambang!”

”Sebaiknya aku periksa. Harusnya ada,” Zaldy turun dan celingukan mencari-cari. Ia kemudian menghampiri sebuah gardu jaga persis di tepi sungai.

”Ada orang tidur di dalam,” Zaldy menggedor jendela dan bicara dalam bahasa Belanda. Orang itu tergeragap.

”Vervelend! Mau apa kau, bocah?” sang penjaga membentak dari balik jendela kaca.

”Mau menyebrang,” kata Zaldy, setengah berteriak.

”Penyebrangan belum buka,” seru penjaga.

”Sekarang harus buka,” Zaldy menarik pengait jendela dan meneriakinya. ”Seberangkan kami sekarang!”

”Tidak bisa! Kau tahu, baru saja tidurku terganggu seorang gadis bersepeda yang ngotot ingin nyeberang. Sekarang kamu. Kenapa sih kalian orang-orang kota bangun terlalu pagi buat olahraga?”

”Itu bukan urusanmu. Kau harus seberangkan kami,” desak Zaldy.

Nee. Tidak!”

Zaldy tampak geregetan. Ia menoleh Pitra.

”Apa tidak sebaiknya orang ini aku lukup itu!”

’Apa itu lukup?” tanya Pitra.

”Pukul! Bahasa Malangan”

”Oh, astaga aku lupa. Tidak, jangan pukulorang itu!”

”Lantas?”

”Cari cara lain”

Zaldy melongok lagi ke dalam jendela. Si penjaga kembali tidur.

”He, bung! Seberangkan kami, dengar tidak?”

”Berenang sana!” jawab penjaga.

”Setan gundul!” Zaldy geram. Dipelototnya orang itu.

”Dengar, pemalas,!” semprot Zaldy, ”Kami orang Indonesia. Setengah abad lalu nenek moyangmu mau menyebrangi lautan dari Eropa ke Indonesia buat nyolong rempah-rempah. Sekarang, menyeberang limapuluh meter buat orang Indonesia saja saja kamu enggan. Kubakar gardu dan perahumu!” gertak Zaldy berang. Tergopoh-gopoh petugas itu bangun. Ia memandang Zaldy seksama.

”Kalian dari Indonesia?” tanyanya.

”Banyak tanya, kubakar juga jenggotmu,” Zaldy menuding jenggot yang awut-awutan.

”Baik, baik! Aku seberangkan kau,” ia membuka pintu, melompat ke perahu tambang dan menyalakan mesin. Zaldy melambaikan tangan agar Pitra cepat membawa sepedanya naik perahu tambang. Mesin menderu dan perahu tambang bergerak.

”Kau bilang ada gadis bersepeda menyebrang setengah jam lalu?” tanya Zaldy pada penambang

”Betul, seorang gadis dengan rok teramat minim dan ketat, warna hitam. Mukanya kusut, tapi cantik,” kata penambang.

”Itu Karin,” bisik Zaldy pada Pitra.

”Ya, pasti dia,” uajr Pitra, bergegas membawa sepeda turun ke belahan lain dari sungai itu, sesaat setelah tambang merapat ke tepi sungai.

”Hoeveel?” Zaldy menoleh penambang, menanya ongkos menyeberang. Zaldy merogoh saku dan mengeluarkan uang kertas sepuluh gulden.

”Satu gulden. Tapi kalau kau bayar dengan sepuluh gulden, aku tak akan kasih uang kembaliannya”

”Kenapa?” Zaldy urung memberi.

”Segitu ongkosnya. Harga khusus karena kau menyebrang terlalu pagi,” kata penambang berlagak bodoh.

”Dasar pemeras brengsek. Macam nenek moyangmu, kau,” Zaldy sewot. Tapi tak urung ia memberikan juga uang itu, meski itu satu-satunya.

Penambang menerima uang kertas lembab itu dengan bersungut-sungut, dan segera kembali ke seberang dengan perahunya.

Zaldy mengusap-usapkan jari ke celana. Jarinya belepotan.

”Aneh, ada barang lengket di sakuku ketika aku ambil uang tadi,” tutur Zaldy. Ia menelusupkan kembali tangannya ke saku. Ia menyentuh benda pipih lembek dan lengket di saku celana.

”Percaya tidak, ini kue Stroopwafel yang semula kubawakan untukmu di flat Spreeuwlaan beberapa hari lau,” kata Zaldy mendengus aroma gula dan madu kue stroopwafel yang meleleh di saku celana Zaldy.

”Ya, aku tahu. Kau mengambilnya kembali satu. Buat nambah tenaga kalau sedang bersepeda jauh, katamu,” kata Pitra. ”Tapi nanti saja kau bersihkan itu. Kita harus tancap pedal menusul Karin”

”Oke! Jam berapa sekarang?”

”Hampir pukul enam!”

”Lima belas kilo lagi. Tapi jalanan sepeda akan makin ramai para pengolahraga. Bisa lebih dari setengah jam untuk sampai Utrecht!”

”Kita genjot terus!”

”Ya, tancap terus!”

***

Karin menghentikan sepeda. Nafasnya seperti mau putus. Utrecht masih berselimut kabut tipis. Menjeleng pukul 7 pagi. Ia menyandarkan sepeda tak jauh dari terminal bus. Matanya menyapu berkeliling. Gerak lalu lalang manusia mulai membuat mata lelah. Mereka yang berangkat pagi biasanya adalah karyawan yang bekerja di luar kota dan sibuk mendapat bis atau kereta api ke tempat kerja.

Satu hal yang menguntungkan, stasiun kereta api dan terminal bus di sebagian besar kota-kota Belanda, berada pada tempat yang sama, dan nyaris pula bersanding dengan tempat keramaian utama di kota. Jadi, mereka yang ganti dari bus ke kereta api, tak akan mengalami banyak kesulitan. Hanya saja, kalau Inrenanu mengamuk di sini, penempatan tempat ramai yang berdempet-dempet ini bukan lagiide yang menarik.

Bergegas Karin menelusup di antara lalu lalang orang. Sosoknya menjadi pemandangan ganjil di tengah keramaian orang yang umunya mengenakan baju tebal dan panjang penahan dingin. Ia sendiri, cuma dibalut busana pesta dengan lebar kain tak menutupi seluruh tubuh. Span ketat yang kelewat tinggi, dan jaket yang menutup baju dalam yang tipis dan tak komplit menutup dada, tentu bukan busana yang cocok untuk pagi yang dingin seperti itu.

[caption id="attachment_170931" align="aligncenter" width="465" caption="Stasiun kereta api Utrecht Centraal (foto : en.wikipedia.org)"]

1334049631109012487
1334049631109012487
[/caption]

Ia menerobos kerumunan orang yang berjalan tergesa dan mencari-cari. Bosan mondar-mandir di peron pemberangkatan kereta api, ia naik ke lantai atas, ke pertokoan Hoog Chatarijne, yang belum membuka sebuah tokopun.

Hoog Chatarijne terlihat sibuk dengan seliweran orang mencari peron masing-masing untuk menemukan kereta api yang tepat. Lampu-lampu yang tergantung di pipa-pipa besi di atas masih menyala. Peralatan luas di tengah pertokoan, tempat berbagai per-tunjukkan seni dan pengamen bebas, masih kosong. Dimana tempat mukim kelompok gipsy itu?

Karin berjalan berkeliling Hoog Chatarijne. Kelompok gipsy biasanya mengamen dan tidur di emperan toko. Mereka dikenal jorok., bau apek dan juga kerap dituduh sebagai pencuri sekaligus gelandangan yang hidup bebas.

Tapi tak ada tanda-tanda orang gypsy sedikitpun.

Karin sampai di jalan masuk Hoog Chaterijne di lantai satu. Masih belum terlihat orang gypsy, kecuali sekitar 15 orang pemuda berkulit sawo matang dengan rambut lurus dan mata sedikit sipit. Itu pemuda Peru asal pegunungan Andes, Amerika Selatan yang ngamen dengan alat musik tiup panflute. Mereka juga biasanya menjual kaset rekaman musik mereka.

Tak ada orang gypsy. Kira-kira dimana mereka menginap? Apakah Inrenanu sudah menemukan orang-orang gipsy itu? Mungkin belum. Tapi boleh juga Inrenanu sudah sampai. Anak buah Smallstone bilang Inrenanu bisa melayang cepat dengan bantuan energi matahari. Matahari sudah bersinar. Sangat mungkin Inrenanu sudah memahami posisi orang-orang gipsy itu. Ataukah ia kini sedang menanti di suatu tempat dengan mulut menganga menanti mangsa. Karin menyesal tak mencari tahu apakah Inrenanu bisa berubah bentuk atau menepati sebuah benda teretntu?

Karin mondar-mandir. Ia jadi ragu. Belum tampak kelompok gypsy itu. Ia kemudian memilih duduk bersandar di sebuah kursi kayu dan mewaspadai setiap kerumunan yang lewat. Orang gypsy gampang dikenali lewat pakaian dan warna kulit serta tampangnya. Ketika duduk, ia baru merasa seluruh tubuh penat betul dengan perut amat keroncongan.

Tapi perempuan Malmedy itu tetap waspada. Kalau saat-saat lalu ia bisa berbagi mata dengan Pitra dan Zaldy, kini ia benar-benar harus mengerahkan seluruh panca inderanya untuk menantang ancaman. Ia harus pula segera menemukan kelompok gipsy itu untuk memberitahu bahaya tengah mengancam mereka.

Karin merebahkan punggung dengan mata tetap sewaspada elang. Semua orang yang lewat bisa dipantau dengan mata yang bergerak lincah. Satu-satunya hal yang tidak ia sedari tadi adalah mata yang sedang mengintai balik sebuah tempat tersembunyi. Sepasang mata itu kini tengah mengintai dengan ketajaman yang mungkin setara dengan kewaspadaan Karin.

Lalu lalang orang semakin memuncak. Karin makin resah. Ia melangkah ke koridor menuju jalan masuk pameran kereta api. Saat ini masih berlangsung pameran Treinen door de Tijd, memperingati 150 tahun perkeretaapian Belanda.

Karin meraih teropong. Beberapa buah lokomotif yang dipajang di bawah sana setiap hari rata-rata menyedot 5.000 penonton. dan itu tak lama lagi, saat hari merangkak siang.

Ia mencoba mengatasi keresahan dengan memandangi setiap sudut ruangan. Besi-besi pilar stasiun baru berwarna-warni malang melintangdia atas dan papan-papan elektronik penunjuk peron kereta api bergelantungan.

Sepasang mata yang mengawasi Karin sedari tadi beringsut menguntit gadis itu dalam jarak yang aman, dengan mata yang enggan lepas. Dan, tetap Karin tak menyadarinya.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun