Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 24 : Mummy Perempuan di Ruang Kedap

8 Maret 2012   05:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:22 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 23 : LORONG ANEH bisa dibaca di sini

EPISODE 24 : MUMMY PEREMPUAN DI RUANG KEDAP

Potongan jerami sumamburat diikuti suara berisik dan jerembab yang datang berbarengan. Tubuh Pitra dan Zaldy seperti pesawat tak terkendali menukik langsung menerobos tumpukan jerami kering. Keduanya sadar mereka beruntung ada yang berbaik hati menyediakan tumpukan jerami sehingga mereka tak jadi gepeng seperti martabak tatkala terjatuh dari ketinggian yang bisa memporakporandakan tulang.

”Huah...Edan! Untung ada tumpukan jerami,” sembur Zaldy, sembari membersihkan potongan jerami dari wajahnya. Ia juga sibuk membersihkan potongan kecil jerami yang masuk mata dan mulut.

”Kalau tak ada jerami ini, kau bisa tahu bagaimana rasanya menjadi perkedel,” kata,” kata Pitra, masih terengah-engah.

”Ini benar-benar akal-akalan yang kurang ajar. Tempat apa pula ini?”Zaldy mengibaskan jaketnya. Pitra memijat-mijat bahu kanan yang terasa nyeri.

”Bajingan yang namanya Smallstone ini betul-betul ahli mempercundangi orang. Dia sediakan lorong curam, laku kita disambutnya dengan tumpukan jerami. Kira-kira ruang apa lagi ini?” Pitra menatap berkeliling. Ruang itu segi empat yang terbentuk dari susunan empat lempeng dinding, seluas 3 x 3 meter. Lantainya keras, dan cukup luas, dua kali lebih luas katimbang lebar lorong di atasnya.

Ruang apa ini?

Tadi sekilas mereka mendengar suara suara wanita menjerit histeris manakala sedang menukik jatuh. Tapi tak ada seorangpun selain mereka berdua.

”Kau tadi dengar suara wanita, kan?”tanya Pitra pada Zaldy.

”Dengar. Jelas sekali, malah”

”Tapi ruangan ini sepi?’

”Siapa bilang sepi?”

Tiba-tiba sebuah pintu besi di dinding panjang itu terbuka. Sebelumnya, tak mengira Pitra ada ruang besi di antara dinding-dinding itu. Seseorang muncul dari daun pintu putar.

”Karin! Kamu di sini!” Pitra gusar.

”Ya, aku sudah lebih dulu sampai!”

”Juga terperosok dari atas?”potong Zaldy.

”He-eh. Tadinya aku tiduran di tumpukan jerami. Tapi begitu kudengar ada suara orang sedang terjatuh menuju kemari, aku menghindar. Beruntung ada pintu ini, ”jelas Karin.

”Jadi, kau tadi yang berteriak?”tanya Zaldy.

”Ya, itu tadi teriakan terkejutku”

”Lalu apa kerjamu di balik pintu itu?” tanya Pitra.

”Pertama, aku menghindar agar tidak terhujam gedebug tubuh kalian berdua. Yang kedua, aku menemukan sesuatu di balik pintu itu”

”Nemu apa?”

”Sebuah jendela kaca,”Karin mengisyaratkan agar Pitra dan Zaldy mengikutinya, masuk ke bagian dalam pintu. Karin mengisyaratkan agar Pitra dan Zaldy mengikutinya, masuk ke bagian dalam pintu.

Bagian dalam pintu itu ternyata tak cukup muat untuk tiga orang. Hanya dua orang dapat berdiri bersama-sama di ambang pintu. Tapi, temuan yang ditunjukkan Karin cukup luar biasa. Ada sebuah jendela kaca seluas 40 x 60 cm yang memungkinkan orang melongok ke bagian dalam.

Karin mempersilakan Pitra melongok ke jendela kaca itu. Pitra melotot. Seonggok tubuh dibiarkan terlentang di atas sebuah pembaringan dalam sebuah ruang yang tak lebih luas daripada ruang yang ditempati Pitra. Terlihat jelas juntaian rambut tubuh teronggok itu hampir menyentuh lantai.

”Bisa kau tebak makhluk apa yang terlentang berselimut beludru hitam itu?” tanya Karin.

”Jasad Inrenanu?” pekik Pitra.

”Betul. Apa kataku, aku bisa menemukan tempat penyimpanannya, bukan?”

”Ya, ya! Kau beruntung!”

’Ruangan tempat jasad atau mummy Inrenanu itu kedap air, kedap udara dan kedap guncangan,” tutur Karin.

”Well, aku yakin kaca jendela inipun tak bergerak kau pukul?” sela Pitra.

”Tepat. Aku sudah memukul-mukul pakai sepatu. Tetap tak goyah. Tebal kaca ini lebih dari 10 milimeter. Kita hanya bisa melihat, tapi tak bisa melakukan apapun,” sambung Karin.

Pitra meraba dagu.

”Kau bilang kaca ini sulit dipecahkan?” tiba-tiba Zaldy menyela.

”Kelihatannya begitu”

”Coba ini!”

Zaldy mengepalkan tinju dan melayangkan pukulan keras ke arah kaca itu. Ia meringis kesakitan. ”Seperti menghantam besi,” erang Zaldy.

”Syukurlah kau sekarang sudah tahu,” ledek Karin.

Pitra berjalan ke bagian tengah ruangan dan memandang ke atas. ”Tak seorangpun. Tak seorangpun dari kita bisa naik ke atas sana,” Pitra menjatuhkan dirinya di lantai dan hanya mampu menatap ke atas.

”Aku bahkan telah bosan cari akal bagaimana lari dari kesulitan ini. Musuh kita terlalu kuat,” desah Karin bersandar di salah satu dinding.

”Ini pasti merupakan salah satu dari skenario Smallstone. Ia membiarkan kita menemukan apa-apa yang kita cari. Tapi sama sekali kita tak diberi kesempatan untuk mencegah maksud-maksud Smallstone. Aku bahkan bertemu Riri tadi.”

’Riri?’ tanya Karin dan Zaldy nyaris bersamaan.

”Ya, dia mendatangiku,”kata Pitra, memandangi Karin dan Zaldy berganti-ganti. Pitra kemudian menceritakan pertemuannya dengan Riri. tapi, tentu saja ada bagian-bagian yang tidak ia lontarkan.

”Kalau Smallstone berhasil membangunkan Inrenanu, dan gagal memgendalikannya, aku kuatir Inrenanu akan membinasakan sejumlah orang gypsy?” sela zaldy.

”Nenek moyang kelompok inilah yang membunuh Vlad Papis, ayah Inrenanu. Jadi semacam balas dendam,” jawab Karin.

”Dan ini semua tergantung pada jarum Kalugatii yang ada pada kita” Pitra menatap Karin dan Zaldy dengan mimik serius.”Apa yang musti kita lakukan sekarang?”

Zaldy mengangkat kedua belah tangan dan bahu bersamaan. Karin duduk menyelonjorkan kaki, bersandar pada tumpukan jerami. Pitra berkacak pinggang dan tak henti-hentinya menatap ke atas.

”Kurang berapa jam?” tanya Pitra.

Karin melihat arloji di tangan.”Empat jam lebih sedikit”

”Masih ada waktu. Aku ingin tahu apakah dinding-dinding ini bisa dibobol,” Pitra mondar-mandir memeriksa permukaan dinding dan berusaha mengamati sekat setiap dinding. Karin berdiri dan turut meraba-raba dinding.

”Terbuat dari beton kuno, dengan kerikil dan adonan semen yang kokoh. Kau punya gagasan lain selain mencoba membobol dinding ini?” Karin melipat tangan dan menyandarkan diri di dinding.

”Tidak dalam waktu dekat ini,” jawab Pitra.

”Kau betul. Barangkali sekarang kita perlu beristirahat agar pikiran jadi segar. Aku butuh tukang pijat. Tulangku rasanya copot satu-satu,” Zaldy merebahkan diri, dan berbantal kedua lengan, ”Sial juga, ya. Aku tak pernah punya musuh. Sekali punya musuh, begini beratnya.”

Pitra tak menimpali omongan Zaldy. Ia mondar-mandir sambil sesekali menengok ke atas dan ke dinding.

”Istirahatlah dulu, Pit. Kelihatan mukamu lelah dan putus asa,” gagas Zaldy. Pitra menatap Zaldy sebentar. Pasti Zaldy berbicara begitu bukan saja karena ia bosan melihatnya mondar-mandir di ruang sempit itu diikuti pandangan Karin yang berharap-harap Pitra segera dapat akal. Zaldy, pasti ingin Pitra benar-benar merelakskan pikiran agar akal sehat gampang didapat.

”Oke. Gagasan kamu baik juga,” akhirnya Pitra ikut-ikutan duduk dan merebahkan diri dekat jerami. Ia kemudian menyingsingkan lengan jaket dan menatap jarum arloji.

”Semoga ada keajaiban dalam empat jam ini. Sungguh aku tak mau begitu saja menyerahkan jarum Kalugatii pada si bangsat Smallstone itu,” Karin menatap Karin sekilas. Bau keringat Karin tertangkap hidung. Tak harum, tapi Pitra menyukainya.

”Pit,” ujar Karin, ”Perlihatkan padaku jarum itu”

Pitra merogoh saku celana, dan mengangsurkan kulit tas pembungkus jarum Kalugatii. Lama Karin memandangi jarum pipih yang di jepit di antara jempol dan telunjuk itu.

”Aku berkunjung ke banyak negara sebelum seorang fakir memberikan jarum ini di India. Aku telah meniti jalan yang panjang,” desis Karin.

”Sebenarnya aku tidak bodoh. Tapi aku tak kunjung mengerti kenapa Smallstone begitu bernafsu mengejar jarum Kalugatii. Dan ingin sekali aku tahu apa makna tulisan yang terpampang di sekujur jarum pipih ini?” tanya Pitra.

”Tulisan itu sebetulnya dibuat oleh Inrenanu dalam aksara Romawi pada hari kematian ayahnya. Menurut catatan, Vlad Papis, pangeran Walachia ayah Inrenau, tewas pada pertengahan tahun 1485, lebih dari setengah abad lalu. Inrenanu sendiri mati bunuh diri beberapa tahun kemudian dalam usia 40 tahun, di sebuah kastil tua di kota Giurgiu, Rumania”

Karin berhenti bicara, dan menatap Pitra.

”Bagi Smallstone jarum itu punya dua manfaat. Pertama mantra itu. Yang kedua, kegunan jarum Kalugatii sebagai penangkal roh-roh jahat yang mungkin masih bersemayam dalam tubuh Inrenanu,” kata Karin panjang lebar.

”Bagi Inrenau?” sela Pitra.

”Bagi Inrenanu, jarum itu bermanfaat untuk mengaktifkan kembali nafsu balas dendam dan gelombang-gelombang roh yang ada padanya, asalkan Inrenanu mendapatkan sendiri jarum Kalugatii. Dan mantra di sekujur jarum adalah sebagian dari rahasia Inrenanu,”tutur Karin.

Pitra memandang jarum itu,”Well, aku jadi faham sekarang. Tapi heran, ya, kenapa selama ini Inrenanu tak bisa lagi mengejar-ngejar jarum Kalugatii seperti yang sudah-sudah?”

”Karena Smallstone menyekapnya dalam ruangan isolasi yang kedap getaran, kedap suara, kedap cahaya, kedap air, kedap udara dan kedap bakteri, yang ruangannya baru kau intip melalui jendela kaca tebal itu. Dan smallstone sangat ketat mewaspadai jasad Inrenanu. Lagi pula, jarum itu sekarang ada pada kita.”

”Well, Cuma sebuah jarum. Tapi bikin ruwet juga rupanya,” komentar Pitra.

”Ya, sepele sekali kelihatannya,”balas Karin.

Pitra diam sesaat, dan menoleh Karin.

”Tapi, memang kadang banyak hal sepele yang bisa membawamu ke sebuah perjalanan panjang, Karin,” timpal Pitra dengan suara pelan.”Aku melakukan perjalanan yang istimewa inipun berkat hal yang sepele; karena aku punya tas kulit yang cocok buat mengamankan jarum itu”

Karin tersenyum kecut,”Kau menyindir?”

”Sama sekali tidak. Banyak hal yang terduga yang bisa terjadi tanpa disadari. Dan banyak teka-teki hidup yang musti diselesaikan. Semua orang akan menghadapi itu”

”Tapi yang kita alami sekarang ini boleh jadi langkah dan tak akan terjadi pada semua orang. Bayangkan, kita tersekap di sebuah ruang berselingkuh beton, sementara semangat dan harapan kita untuk melakukan hal yang baik pupus begitu saja,”Karin memandang jauh ke atas. Pitra bisa merasakan betapa sedihnya gadis ini.

”Kau gundah sekali, rupanya?” kata Pitra.

Karin menoleh Pitra

”Tidak. Aku cuma khawatir. Aku telah menyesatkan kalian berdua”

”It’s allright. Kamu nggak perlu ngomong begitu. Sudah bolak-balik aku bilang tak perlu kau ngomong itu,” ujar Pitra. ”Kau boleh tidak percaya, aku sama sekali tak takut akan hal-hal yang akan terjadi, bahkan untuk matipun”

Karin menatap Pitra tajam.”Tidak takut mati?”

”Kata orang bijak, takut mati berarti takut hidup. Padahal semua berakhir dengan mati?”

Karin menangkupkan kedua belah telapak tangan, dan menggunakannya sebagai bantal di pipi. Ia membalikkan wajah menatap Pitra.

”Aku suka kata-katamu itu,” ujar Karin lirih.

Pitra tersenyum,”Kau mau tahu satu hal?”

”Apa itu?”

”Saat ini, mukamu lucu sekali. Manis, tapi dekil”

”Masa?” Karin tersenyum,”Kamu juga mau tahu satu hal?”

”Ya”

”Mukamu kusut dan jelek!”

Pitra tersenyum lebih lebar. ”Kau juga kelihatan capek. Sebaiknya rebahan saja yang enak! Kesinikan jarum Kalugatii itu. Ingat ia tak bisa berada di tanganmu lebih dari satu jam?”tutur Pitra, mengikuti mata Karin yang menatapnya. Karin menyunging senyum dan memberikan pembungkus jarum itu pada Pitra. Pitra menimang sebentar jarum Kalugatii dan menatap 23 kata pendek-pendek dengan huruf kecil-kecil di punggung pipih jarum itu.

”Sebenarnya, apa makna tulisan ini?” Pitra bicara pada dirinya sendiri. Karin tersenyum. Ia tahu betul Pitra sangat penasaran pula pada jarum itu.

”Cuma mantara, dan angka-angka. Ditulis dalam bahasa romawi dan kita tak bisa membacanya karena hurufnya terlalu kecil, tak cukup terbaca dengan sebuah kaca pembesar sekalipun. Hanya itu yang aku tahu,”komentar Karin.

”Aku benar-benar ingin tahu manfaat mantra itu” kata Pitra.

”Kalau saja aku tahu,” ujar Karin seperti pada dirinya sendiri, ”Tapi ini memang benar-benar fenomena mistis. Di Indonesia, banyak juga kan orang baca mantra untuk keperluan gaib?”

”Benar. Hampir di segala tempat di dunia ini orang menggunakan mantra,” ujar Pitra. ”Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa percaya pada kegaiban, keanehan dan keajaiban?”

Karin merenung. ”Entahlah. Tapi aku memang merasakannya. Dan itu nyata. Itu bagian dari dunia”

”Tak banyak gadis pemberani macam kau. Aku beruntung kenal kau,” kata Pitra,”Nah sekarang kasih aku senyum agar wajah dekilmu kelihatan lebih segar”

Karin menyungging senyum, cukup manis, dan tampak penuh kedewasan, meski rona kekanak-kanakan masih kentara.

Tapi beberapa detik kemudian, Pitra merasakan getar yang lain dari senyum Karin. Di balik senyum itu, Karin menyembunyikan sebuah kelelahan yang panjang, segaris kejenuhan yang pekat. Itu terlihat dari gurat wajahnya. Karin memang letih dan capek. Namun, Pitra setuju sekali bila ada yang berpendapat gadis Malmedy ini sungguh tampak manis.

Manakala kedua belah bulu mata gadis itu mulai pejam dan kedua kaki telanjang Karin tertangkap tanda pemiliknya kedinginan, perlahan Pitra melepas jaket dan menyelimutkannya untuk Karin.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun