Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perempuan dari Malmedy 23 : Lorong Aneh

1 Maret 2012   12:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:41 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1330604393731011490

EPISODE 22 : KEINDAHAN DI SAAT TIDAK TEPAT bisa dibaca di sini

EPISODE 23: LORONG ANEH

”Stop kataku. Terus ikutin perintahku”

”Memangnya kenapa?” tanya Zaldy.

”Ikuti, kataku, sontoloyo!”

”Oke...oke aku berhenti. Terus bagaimana?” Zaldy berkacak pinggang.

”Dengar, ini ngaur hena. Ayas naka kirat nangat umak,” kata Pitra

”Apa...? Kamu ngomong apa?”

Aduh mak, itu bahasa sandi kita,” hardik Pitra jengkel.

”Astaga. Aku lupa. Ulangi sekali lagi!”

”Ayas naka kirat nangat umak,” Pitra menunjukkan jarinya ke arah Zaldy. Zaldy berusaha keras menerjemahkan ucapan Pitra. Kini ia faham Pitra hendak menarik tangan Zaldy ke arah Pitra.

”Oyi, ipat anapek?” Zaldy masih melempar tanya.

”Sudahlah. Anam nangat nanak-mu!”

Zaldy menjulurkan tangan kanananya seperti yang diminta Pitra. Cepat Pitra menangkap tangan Zaldy dan menariknya sekuat tenaga. Zaldy seperti terbang dihela Pitra. Keduanya kemudian jatuh bergedebug di lantai mulut lorong tempat Pitra berdiri.

”Apa-apaan, pakai main tarik segala?” protes Zaldy.

”Dengar, semprul! Lorong ini aneh dan kacau. Kau dengan mudah ditipu dan disesatkan!” jawab Pitra.

”Lalu apa hubungannya dengan upayamu menarik tanganku?”

”Kau perhatikan bagian tepi lantai perempatan lorong itu,” Pitra menunjuk. Zaldy memperhatikan.

”Ada sekat berbentuk lingkaran. Pada saat kau menginjak bentuk lingkaran itu, ia akan berputar tanpa kau sadari. Itulah sebabnya kau selalu tersesat dan bahkan bisa kembali ke lorong yang sama apabila kau sampai di pertigaan, perempatan, perlimaan atau perenaman lorong-lorong ini”

”Pantas, aku habiskan nyaris tiga jam untuk muter-muter,” tutur Zaldy, ” Kamu sudah nemu apa?”

”Nanti saja kuceritakan. Kita harus cari Karin. Aku khawatir ia tersesat juga,” timpal Pitra.

”Tapi kemana dia musti di cari?”

”Kita mulai saja dari lorong ini. Aku sengaja menarik kamu ke lorong ini karena aku yakin yang ini menuju ke suatu tempat,” kata Pitra.

”Bagaimana kau tahu?”

”Cuma dari perasaan. Ayo!”

Zaldy berlari mengikuti Pitra ke ujung lain dari lorong itu. Ketika sampai di sebuah perlimaan, keduanya mendadak bingung.

”Bagus, nalurimu membawa kita ke sebuah lima pilihan. Sekarang lorong mana yang menurutmu terbaik?” omel Zaldy.

”Yang mana saja”

”Bagaimana cara memilihnya?”

”Kali ini atik iridreb id narakngil. Raib narakngil utingay hisak atik nahilip, ajar Pitra.

”Gila! Kamu ngomong apa itu?” Zaldy memegang dahinya.

Pitra melotot. Zaldy berpikir keras membalik kata-kata itu. Sebentar kemudian mulutnya menadakan ia tahu maksud Pitra. Segera saja ia ikuti Pitra melangkah dan menginjakkan kaki di lingkaran itu. Tak sampai sedetik kemudian terasa ada gerakan sangat cepat yang tak mereka sadari di kaki mereka. Zaldy kini faham lingkaran di lantai perlimaan itu memang bergerak. Kini di hadapan mereka ada sebuah lorong yang sebetulnya berbentuk sama dengan lorong lain. Tapi inilah pilihan mereka. Pitra memberi tanda dengan kepala, dan keduanya mulai menyusuri lorong itu, dengan langkah agak cepat.

Hampir dua menit kemudian, Pitra menghentikan Zaldy.

”Zal, tak kau rasakan jalanan sekarang menurun?”

”Betul. Lututku lelah menahannya”

”Tapi rasanya kita akantemukan sesuatu di ujung sana. Ayo!’ ajak Pitra. Zaldy berdiri dari bersandarnya dan mengikuti Pitra. Tapi, tanpa mereka sadari, lorong itu tiba-tiba menukik tajam dan menjadi licin, dan gerakan lari mereka jadi tak terkendali.

”Berhenti, Pit! Berhenti!” teriak Zaldy panik.

”Nggak bisa. Melorot terus!” Pitra berusaha meraba-raba dinding untuk menahan gerakan turun tubuhnya. Zaldy malah sudah terjatuh-jatuh dengan tubuh yang meluncur deras ke bawah.

”Ini pasti tempat Inrenanu jahat itu. Aku berfirasat kita jatuh ke sarangnya,” teriak Zaldy di tengah paniknya. Pitra cuma bisa melotot. Lorong di depannya semakin curam, dan tubuh keduanya seperti tak terkendali melaju deras ke arah bawah.

Sekarang keduanya harus mengakui mereka meluncur ke sebuah ruangan di bawah tanpa ada kemungkinan mandeg. Zaldy memejamkan mata. Di benaknya sudah terbayang lantai keras yang bakal menyambutnya. Pitra menahan angin keras yang menerpa tubuh. Desing angin terdengar jelas di permukaan telinga, dan rambut berkibar keras. Sementara itu, sayup-sayup ia mendengar suara wanita menjerit-jerit histeris. Ia tak tahu jeritan siapa itu. Yang ia tahu, jeritan itu makin lama makin terdengar keras. Ini menandakan mereka berdua tengah meluncur ke arah jeritan itu.

Zaldy nyaris kehilangan kesadaran. Jantungnya berdebar keras, diikuti rasa miris yang luar biasa. Gerangan apa yang menyambutnya di bawah sana.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun