Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novelet: Perempuan Yunani dan Guru Privat Bahasa Indonesia (11)

30 Oktober 2011   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

EPISODE 10 BISA DIKLIK DI SINI

Aku memeriksa kode booking tiket penerbangan Jetstar Surabaya-Singapura, dan Olympic Airlines Singapura – Instanbul – Athena. Tertulis tanggal keberangkatan 20 hari dari sekarang. Seriuskah Eleni dengan permintaannya ini? Seberapa bernilaikah pertemuan ini?

Aku memeriksa paspor yang terbit setahun lalu ketika aku harus bertugas sebagai penerjemah untuk sejumlah karyawan sebuah perusahaan Indonesia di Singapura. Lalu aku memeriksa buku tabunganku pribadiku. Sedikit mengkerut hatiku melihat saldo yang tak melebihi angka Rp 5 juta. Lalu kuperiksa semua persyaratan traveling ke Yunani. Harus ke Kedutaan Yunani di Jakarta untuk wawancara visa Schengen, kawasan 25 negara Eropa dengan visa tunggal, khusus Yunani, harus bayar premi asuransi perjalanan dan harus ini itu.

Seberapa bernilaikah pertemuan ini?

Aku tak segera membalas email Eleni selama beberapa hari. Sementara itu soal Trista yang balik lagi dengan Alexandrous rupanya tak bisa tersembunyikan lagi. Kegetiran hubungan dengan Trista membuatku tak berhasrat bertanya ketika ia mulai sering pulang malam. Kami tak pernah duduk semeja makan, tak pernah bercengkerama, tak pernah saling peduli. Hidup serumah, tapi bak orang asing satu sama lain. Dan ia memilih tidur bersama Reina di kamar Reina. Sehari-hari ia makin kelihatan sexy dan tak henti memperhatikan penampilan.

Okay, the game restarts!

Surat undangan sponsor kunjungan ke Yunani dari Eleni tiba, hampir berbareng dengan sms Eleni berisi kode kiriman uang lewat Western Union senilai beberapa kali lipat nilai tabunganku. Meski aku tak membalas email Eleni, aku yakin ia tahu aku akan memenuhi undangannya.

Aku tak berpikir panjang. Segera kuisi aplikasi visa Yunani online. Beberapa hari kemudian aku dapat panggilan wawancara visa ke Kedutaan Yunani di Jakarta. Pagi itu aku menulis pesan singkat yang kutempel di kulkas untuk Trista.

“Aku ada urusan penting ke Jakarta dua atau tiga hari. Kamu enjoy aja!” begitu isi pesanku. Aku tak perduli surat itu dibaca atau tidak.

Tak perlu menunggu lama persetujuan visa di Jakarta.Pasporku distempel visa Yunani dua hari kemudian. Aku mengirim sms ke nomor HP Yunani Eleni yang disertakan pada email terdahulu.

My dear Eleni, I’ll be there,” tulisku di sms itu.

***

“Boleh aku tahu kau sibuk apa?” tanya Trista tanpa nada menyelidik.

“Mengurus visa Yunani. Aku ke Yunani minggu depan,” kataku terus terang.

“Oh, gitu?” ujar Trista datar.

“Eleni minta aku datang ke sana. Ia bilang itu penting. Apakah ini mengusikmu?” tanyaku asal-asalan, mengunyah apel.

“Berapa lama?”

“Dua minggu,” jawabku.

“Kalau itu maumu, kau dapat ijinku, meski kau tak pernah minta ijin atau paling tidak membicarakan ini pada istrimu!”

“Aku juga membiarkan kau berhubungan lagi dengan Alexandrous meski kau sendiri yang janji menyudahi hubungan itu. Jangan dikira aku tidak tahu”

Trista hanya mengangkat bahu.

“Baik, kubantu kau mengepak bagasi malam sebelum kamu berangkat,” kata Trista ringan.

“Tidak dibantu juga tak apa-apa. Rasanya selama ini kau tidak pernah peduli yang begituan,” kataku, “Aku cuma minta satu hal, tolong jaga Reina baik-baik. Kau boleh sibuk, tapi Reina tak boleh terabaikan. Aku minta maaf harus memenuhi undangan Eleni; aku yakin akan ada penyelesaian yang lebih baik setelah ini. Ini persoalan besar sekarang. Aku harap kamu mengerti”

Trista mengangguk tak berdaya.

Dan selebihnya aku dan Trista jarang bicara. Aku tidak tahu apakah Trista bicara pada Alexandrous soal undangan Eleni ke Yunani. Ah, pastilah Alexandrous tahu itu.Dan aku tidak perduli.

***

Trista tak ada di rumah ketika aku berangkat ke Singapura selepas siang hari itu. Kupeluk dan kucium Reina, kujanjikan boneka lucu sepulangku nanti. Mata bundar Reina yang polos dan penuh harap pada janjiku sebenarnya mencabik-cabik hatiku. Tapi aku tahu ini perjalanan penting. Sangat penting.

Aku terbang bersama Olympic Airlines pukul 23.20, sampai di Istanbul untuk stop-over jam 5 pagi. Pesawat melayang lagi ke Athena dan mendarat di bandara Eleftherios Venizelos sedikit sebelum pukul 8 pagi.

“I miss you. I miss you so much,” Eleni memeluk dan mendaratkan bibirnya yang hangat menyambutku di pagi sejuk musim semi itu. Kami kemudian bermobil membelah kota Athena yang didominiasi bangunan-bangunan berwarna putih, berselang seling antara bangunan modern dan peninggalan sejarah.

“Perkenalkan kota Athena, ibukota Yunani. Kamu senang?” tanya Eleni di balik kemudi.

“Senang sekali! Tak kuduga bisa bertemu lagi denganmu di negeri indah ini,” kataku. Eleni mengelus daguku.

Kami menuju ke Hotel Poseidon, di jalan Possidononos, kawasan Paleo Faliro, sekitar 30 kilo dari bandara. Hotel ini menghadap ke hamparan laut Aegea dengan pemandangan perbukitan yang disaput titik-titik bangunan berwarna serba putih. Kamar hotel menebarkan wangi bunga chamomile.

“Well, katakan, bukankah ini indah? Suamiku dan istrimu lagi asyik di Surabaya, dan kita saling melepas rindu di Athena,” kata Eleni.

“Kau benar-benar rindu aku?” tanyaku.

“Lebih dari yang kau bayangkan!” Aku merenggut pinggang Eleni dan memberikan dekapan yang mungkin sudah ia nantikan sejak tadi.

Kali ini kami tak perlu musik. Getar-getar di dadaku dan dalam hasrat Eleni sudah cukup menjadi musik pengiring yang menggelora, cukup membuat tempat tidur kayu berat itu bergeser beberapa centimeter digoyang rindu dan desah-desah yang hebat.

Hanya inikah alasan Eleni mengundangku ke negerinya?

Aku menunggu-nunggu kejutan lain. Dan kejutan itu tak kunjung tiba. Tiga sore kemudian, Eleni mengajakku terbang dari Athena ke kota Skiathos di pulau Skiathos dengan Olympic Airlines, tiba jam 6 malam lebih sedikit. Dari Bandara Alexandros Papadiamantis di Skiathos, kami naik taksi ke pinggiran kota Skhiatos, melewati hamparan panorama indah dunia yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kami sempat mampir membeli bahan-bahan makanan di sebuah toko swalayan.

“Ini kota kelahiranku, lihat pantai yang cantik dengan gugusan bangunan serba putih ditingkah matahari sore, khas lautan Aegea,” kata Eleni seolah tak memahami penantianku.

Kami meluncur ke sebuah rumah tinggal berdinding batu-bata yang juga didominasi warna-warna cerah, di sebuah perbukitan yang lagi-lagi menampakkan hamparan laut dengan kelap-kelip lampu yang mempesona di pinggiran pantai.

“Ini rumah bibiku. Ia tinggal di Norwegia bersama suaminya. Rumah ini aku yang rawat,” kata Eleni.

Eleni membuka pintu rumah dan membiarkan aku mengagumi bagian dalam rumah kuno dengan banyak sentuhan lokal. Perempuan Yunani itu kini sibuk menyiapkan meja di berada terbuka, memasang taplak dan menyalakan tiga buah lilin yang ditopang dudukan berwarna kemasan. Sejumlah makanan terhidang di meja. Manis sekali tatanan makanan di atas meja itu, yang disandingi sebotol anggur merah.

“Well, ini bisa jadi makan malah terindah dalam hidupku. Bersanding denganmu di meja berlilin romantik, menghadap hamparan keelokan laut di sana,” kataku.

“Percayalah, inipun akan menjadi makan malamku yang paling indah,” tutur Eleni, memelukku dari belakang, mensejajarkan kepala dengan kepalaku yang tengah terhisap panorama cantik pantai Skiathos senja itu.

“Rodi, mungkin kau bertanya-tanya kenapa kau harus menemuiku di sini. Dan kenapa pula kau harus kugiring ke kota kelahiranku ini,” Eleni minta aku duduk. Ia duduk di sebelah lain menghadapku.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat penting. Lihat, aku punya ini,” Eleni mengeluarkan sepucuk surat dari tas tangannya. Perlahan ia membuka amplop dan membuka lebar surat itu dan menebarkannya di hadapanku. Melalui temaram cahaya lilin, sekilas surat itu terlihat ditulis di atas kertas berkop surat resmi.

“Surat dalam bahasa Yunani?” tanyaku.

“Ya, mau tahu isinya? Aku bisa menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,” Eleni memajukan wajahnya.

Aku menggangguk.

“Beri aku ciuman dulu”

Kuturuti permintaan Eleni. Ia memejamkan mata menerima kecupan itu. Sejenak kemudian ia mulai membacakan isi surat itu.

Tiba-tiba debar aneh menggerayangi dadaku.

[caption id="attachment_138935" align="aligncenter" width="239" caption="Perempuan Yunani (foto : dcgreek.com)"][/caption]

(BERSAMBUNG KE EPISODE TERAKHIR DI SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun