Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kru Suay Mak (18)

2 Oktober 2013   14:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13806974792094451608

Kru Suay Mak (17) bisa dibaca di sini.

Suasana makin aneh ketika Mirza mulai merasakan pedati itu bergerak makin cepat, tanpa goyangan yang seharusnya lantaran roda pedati terantuk batu. Roda pedati seperti tak menyentuh tanah. Angin berdesir makin kencang di telinga mereka. Mirza berpegang pada kayu dinding pedati.

“Nut……..Nut…..apakah menurutmu ini ide yang baik……perasaanku mulai tak enak nih…..” desis Mirza di tengah angin yang makin menderu.

Nut tidak menjawab. Kali ini ia sama takutnya. Apakah pedati ini benar-benar terbang menembus malam? Terbang ke mana?

Angin mendesir makin hebat. Kalau benar-benar pedati ini sedang terbang kenapa tak terlihat pemandangan apa-apa di sekitarnya, misalnya kelip-kelip lampu di bawah sana? Tak ada rona apa-apa kecuali malam gulita. Nut dan Mirza berbareng menatap Ming yang mengendalikan pedati itu. Hiasan di pelindung kepala Ming berayun-ayun tertiup angin.

Nut dan Mirza sama-sama tak dapat menahan deraan angin di mata mereka dan debur-debur udara dingin yang menembus lapisan jaket. Mereka menutup mata dan sebentar kemudian sama-sama tak tahu apa yang terjadi.

Mirza tak tahu berapa lama ia hilang sadar. Suhu dingin benar-benar menyeruak ke dalam kulit. Ia membuka mata. Ia tahu ia kini terbaring pada hamparan rumput basah. Sinar matahari pagi menerobos sela-sela pepohonan lebat dan rapat. Kepala Nut berada di dadanya. Nut terbangun ketika Mirza mencoba menggerakkan badan.

“Ming. Mana dia?” tanya Nut, menengok sekeliling.

“Tak kulihat dia. Kita juga sudah tidak berada di atas pedati Ming. Apakah ia menjatuhkan kita di sini semalam?” kata Mirza. “Ini di mana kira-kira?”

“Yang jelas di tengah hutan lebat!” ujar Nut, bangkit. “Sudah pagi. Kita tidur di sini semalaman rupanya”

Mirza membantu Nut membersihkan kotoran di pakaian. Nut tampak letih.

“Aku ingin tahu apakah ada jalan ke luar dari hutan ini,” kata Nut.

“Yup. Tenggorokanku kering, pingin minum”

“Ayo jalan, naik bukit itu!” kata Nut.

“Tunggu, Nut. Aku mendengar gemericik air, dari arah sana,” Mirza menunjuk. “waktunya minum!”

Bergegas Mirza mendekati suara gemericik air. Benar saja. Tak jauh dari tempat mereka berdiri ada sebuah tebing kecil dengan sumber air di dinding tebing.

Mirza dan Nut mendekati tebing, menangkupkan kedua belah tangan, menadah air.

“Stop!” tiba-tiba seutas suara terdengar dari arah belakang. Nut dan Mirza menoleh berbarengan. Seorang perempuan tua, dengan pakaian adat yang sama warna-warninya dengan busana Ming, berdiri dengan gentong air terbuat dari tanah di pelukannya. Mirza takjub melihat ukuran panjang leher perempuan tua ini, sekitar 20 cm dari pundak ke kepala. Leher itu dikelilingi 8 ring logam yang tersusun seperti menyangga kepala.

[caption id="attachment_269745" align="aligncenter" width="300" caption="Perempuan suku Karen (foto : www.luxury-thailand-travel.com)"][/caption]

Nut menangkupkan kedua tangan di depan dada tanda menghormat. “Sawatdi kha, bibi!”

“Basahi jidatmu dengan air itu dan berdoalah dulu sebelum mengambil air,” si bibi tua berkata dengan suara berat.

“Oh, maaf,” kata Nut. Ia mengais air dan membasahi jidat dengan air. Mirza menirukan. Sejuk menjalari jidat mereka. Nut melakukan doa dan sembah alam. Lagi-lagi Mirza menirukan.

Mereka minum sepuasnya dari air jernih itu, kemudian mundur, memberi jalan bibi tua itu. Nut menatap perempuan itu dan berbisik di telinga Mirza.

“Kalau dari pakaian dan cara bicaranya, aku bisa pastikan ia adalah anggota suku Karen”

“Bukan suku Akha?”

“Bukan. Orang-orang Karen tinggal di pegunungan di utara pegunungan suku Ahka,” jawab Nut.

Bibi tua selesai menadah air. Gentong keramik berhias manik-manik itu disungginya di atas kepala. Ia menoleh Mirza dan Nut.

“Kalian orang kota?” tanyanya.

“Betul, bibi. Kami dari Chiang Mai?”

“Bagaimana sampai ke sini?”

“Semalam kami berjalan dari desa Akha,” jawab Nut.

“Berjalan? Tak ada jalan dari Akha ke sini. Gunung-gunung tinggi, tak ada jalan!” kata bibi.

“Ya…hm….kami jalan menerabas semak-semak….tahu-tahu sampai di sini,” kata Nut.

“Hm! Mau apa kalian ke sini?”

“Kami dalam perjalanan ke Pang Mapha!”

“Aneh! Kenapa tidak lewat jalan raya?” tanya bibi.

“Hm…gimana ya….begini, boleh kami ikut bibi ke desa Karen?” tanya Nut.

Bibi tua tidak menjawab. Ia berbalik ke arah punggung perbukitan.

“Bibi tua itu tidak menjawab pertannyaanmu. Ia jalan terus. Itu artinya yes apa no, ya?” tanya Mirza.

“Dianggap yes saja. Yuk kita ikuti dia,” kata Nut.

Bibi tua itu tahu ia diikuti dua orang kota itu. Ia tidak bicara apa-apa dan hanya membiarkan mereka mengikutinya.

Setengah jam kemudian mereka mulai melihat tanda-tanda perkampungan suku Karen, dalam terpaan matahari pagi yang makin benderang.

Kehadiran bibi tua dalam kuntitan dua orang kota itu menarik perhatian warga Karen. Sejumlah orang menantikan di depan rumah masing-masing, menatap dengan perasaan curiga. Para perempuan yang semuanya memiliki leher panjang dengan ring berjumlah mulai tiga sampai sepuluh menatap Nut tanpa kedip.

Bibi tua meletakkan bejana air di depan rumah dan berbicara pada seorang lelaki paruh baya yang baru saja menyeruak menyeruak dari kerumunan.

Nut segera menangkupkan kedua tangan memberi hormat.

“Salam, paman! Kami dari Chiang Mai. Kami tersesat di hutan!” kata Nut.

“Nama saya Knapyu. Saya ketua di sini. Kalian berada di desa adat Padaung, bagian dari suku Karen. Bibi itu, namanya Ba Gni, bilang kalian dalam perjalanan ke Pang Mapha?” kata orang itu.

“Benar, ketua agung! Ijinkan kami membeli makanan dan melintas di desa ini sebelum kami terus ke Pang Mapha. Mohon sekalian tunjukkan jalan ke Pang Mapha,” kata Nut. “Saya Nut dan ini kekasih saya Mirza.”

Knapyu tersenyum. Senyum ini mengikis ketegangan di raut Mirza. Semua ia mengira Nut dan dirinya bakal dapat repot masuk tak diundang ke kawasan ini.

“Kalian tersesat sampai ke sini pasti karena sebab musabab tidak biasa. Aku bisa melihat itu,” Knapyu menatap Nut dan Mirza bergantian. Nut segera mengulang cerita sesungguhnya kenapa mereka sampai di sini, termasuk kejaran Khung dan Tina.

“Lalu, bagaimana caranya kau sampai di bukit di tempat kau bertemu Ba Gni?” tanya Knapyu.

“Oh…hm….ijinkan saya berkisah…kami naik pedati….pedati sais hantu seorang perempuan muda suku Akha yang kami percaya sebagai…ah…hantu….” Nut bicara tersendat, takut tidak dipercaya.

Di luar dugaan, Knapyu manggut-manggut.

“Paman percaya cerita saya?” tanya Nut.

“Kenapa tidak? Itu pasti hantu perempuan yang mati digigit ular ngu gap nga, ular paling berbisa di daratan Siam,” ujar Knapyu. “Berarti semalam kalian naik pedati terbang hantu melintasi gunung-gunung di antara Akha sampai ke mari”.

Mirza takjub mendengar kata-kata Knapyu. Orang hebat, pikir Mirza.

“Bailah. Aku melihat raut baik kalian. Bertamulah dan silakan minta makanan. Ba Gni yang menemukan kalian pertama kali akan menjadi tuan rumah. Silakan beristirahat sesuka kalian di desa ini. Nanti kalau sudah siap berangkat, berpamitlah pada saya, saya akan tunjukkan jalan ke Pang Mapha,”

“Terimakasih, paman tetua!” Nut menghaturkan sembah.

***

Rumah Ba Gni sungguh asyik. Bagian beranda belakang rumah itu adalah satu bilik dengan ruang terbuka menghadap hamparan perbukitan di bawah sana. Sejauh mata memandang, hanya rona hijau pucuk-pucuk pohon yang tampak, dengan satu dua jejak asap mengepul ke langit.

Hidangan yang disediakan Ba Gni sudah habis tersantap. Sunyi sekali. Semua orang Karen sedang sibuk berladang dan sejumlah laki-laki terserap pekerjaan membuat perhiasan perak. Matahari naik tinggi, tapi semilir sejuk menerpa bagian dalam bilik dengan jendela terbuka itu.

“Mau berapa lama di sini?” tanya Mirza.

“Entahlah, aku suka suasananya, tenteram dan sejuk,” Nut melepasakan jaket, dan membiarkan bahu dan dada yang hanya bersalut tank-top tersapu desir angin sejuk.

“Tak kuatir anakmu?”

“Harusnya kuatir, tapi aku yakin ia baik-baik saja. Aku selalu berdoa untuknya. Nggak apa-apa kan kita mengaso di sini barang sejenak? Kita nikmati ketenteraman sesaat ini, tanpa pesawat telepon, tanpa suara radio atau televisi”

“Okay. Kamu tahu sejauh apa kita dari Pang Mapha?” tanya Mirza.

“Sekitar 50 kilometer ke utara”

“Kalau jarak Pai ke Pang Mapha sekitar 100 kilometer, maka semalam kita terbang sejauh 50 kilometer. Keren!” kata Mirza.

Nut merebahkan diri di lantai kayu dan mengisyaratkan agar Mirza rebahan di sampingnya.

“Well, Mirza?” kata Nut.

“Yup!”

“Aku punya pertanyaan, boleh jawab dengan jujur?”

“Apa itu, kru suay mak?” tak tahan Mirza untuk menggunakan kata suay mak. Nut benar-benar cantik alami pagi itu.

“Pertanyaan klise dan sepele : soal perasaanmu padaku…..kamu cinta aku?”

Mirza tak segera menjawab. Ia mengangkat kepala, menyangganya dengan tangan.

“Nut, ketika aku pertama lihat kamu sebagai guru bahasa Thai, malamnya aku sulit tidur. Langit-langit di kamar hotelku penuh wajahmu, dan tak henti aku ingin mengusap wajah itu dengan jari-jariku. Setiap hari aku berharap bisa bertemu kamu, menatapmu. Rasanya aku sudah pernah bilang ini. Aku cemburu luar biasa ketika malam itu kau pulang diantar Olivier. Kau janji mau ceritakan kamana kau malam itu bersama Olivier?”

Nut tersenyum.

“Cuma makan di Huaykaew Road, terus minum bir di The Habour Café,”

“Cuma itu?”

“Nggak sih. Dia ngajak aku ke penginapannya, katanya mau menunjukkan foto-foto ayah-ibu dan adik-adiknya”

“Terus?” tanya Mirza.

“Aku bilang aku musti pulang….aku tahu dia pasti mau sesuatu…”

“Bukannya perempuan Thailand biasanya suka Farang?” desak Mirza.

“Umumnya memang begitu. Tapi…..”

“Tapi apa?”

“Tapi….aku sama dengan kamu. Pelupuk mataku penuh kamu. Aku tahu kamu telah menusukku dengan tatapan-tatapanmu, dan diam-diam aku takluk pada tatapanmu. Saat itu aku sudah bisa merasakan bahwa aku bakal menyia-nyiakan perasaanmu padamu, meski sebenarnya, sebagai wanita penghibur aku bisa saja mencari senang dengan Olivier,” Nut menatap Mirza beberapa saat.

“Kenapa menatapku terus?” usik Nut.

“Sedang mencari tahu apakah ada bohon dalam pancaran matamu,” kata Nut.

“Sialan!” Nut meninju perut Mirza. Mirza mengunci gerakan Nut dengan pelukannya. Ia berbisik di telinga Nut.

“Catat baik-baik ini, bu guru! Jangan pernah tanya lagi aku cinta kamu atau tidak. Jawabannya cuma satu : sangat!”

Nut menengadah, mengusap rambut dan pipi Mirza dan menatapnya penuh. Mirza balas menatap.

“Satu hal yang aku suka dari tatapan ini,” kata Mirza.

“Apa?”

“Tatapan yang tidak bisa menyembunyikan hasrat,” kata Mirza.

“Oh ya, apa hasratku? Katakan padaku, sok tahu!”

“Kamu pingin habiskan pagi sejuk ini dengan ‘terbang’ tinggi bersamaku, kan?” desis Mirza. Menurutmu, akankah ada yang melihat atau mendengar kita bermesraan di sini”

“Kamu banyak omong, pemuda Indonesia! Who cares!”

Nut langsung menyergap Mirza dan menyerangnya. Ini tak memberi Mirza banyak pilihan kecuali membalas hasrat membara kru suay mak ini.

Dan, soal ketenangan tanpa televisi, radio atau telepon seperti kata Nut itu ternyata tak sepenuhnya benar. Seorang lelaki Karen baru saja melintas di depan bilik terbuka itu. Ia memperhatikan sesaat, dan kemudian bicara melalui telepon genggam yang ia kais dari sakunya.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun