Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kru Suay Mak (11)

25 Juli 2013   13:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:03 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kru Suay Mak (10) bisa dibaca di sini

Dan sebuah ketukan kecil terdengar di pintu. Dada Mirza makin berdebar. Betapa tidak, dalam hitungan menit, ia akan mereguk keindahan wanita, pertama kali dalam hidupnya.

Ia beringsut ke pintu, dan membuka pintu.

Hi, good evening!” seutas suara perempuan menyapanya begitu daun pintu terkuak. Seorang perempuan cantik berambut panjang, dengan span ketat berwarna gelap jauh di atas lutut dan atasan sutra silver berdada rendah berbalut blazer, mirip busana eksekutif bank yang terlalu pendek dan terlalu ketat.

Mata Mirza terbelalak. Perempuan ya

ng mengetuk pintunya itu ia kenal betul.

“Kru Nut!” desis Mirza. Gemetar ia mendapati perempuan pujaannya itu berdiri di depan pintu kamar hotelnya.

Perempuan itu mengernyitkan dahi.

“Kru Nut?” ulang perempuan itu. “I am Ratana from Madame Lawan’s princess house. I thought you were expecting me. You are Mirza from Indonesia, right?

Well, yes….but Kru Nut…..you are Kru Nut,” tergeragap Mirza bicara.

Perempuan itu tersenyum lagi.

You will let me in or you want me to stand here all night long?” katanya.

Perlahan Mirza membuka lebar pintu itu. Ratana melangkah masuk, mengamati suasana kamar.

“Pilihan hotel yang cerdas. Saya suka kamar hotel ini,” ucap Ratana dalam bahasa Inggris.

“Oh ya, kamu lupa menutup pintu.” Ratana menunjuk pintu. Mirza meraih daun pintu dan menutupnya.

“Punya minuman dingin. Saya haus,” Ratana melepas blazer, menyisakan atasan sutra perak yang menebarkan kulit cemerlang halus dari ujung atas lengan sampai jari tangan.

“Ada coke di kulkas,” Mirza mendekati kulkas, mengais sekaleng coke, membukanya dan memberikannya kepada Ratana.

“Thanks. So, kamu muda sekali. Berapa umurmu?”

Gao sib,” Mirza menyebutkan ‘sembilan belas’ dalam bahasa Thai.

“Ah, kau bisa bahasa Thai rupanya?”

“Aku belajar bahasa Thai dari Kru Nut”

“Oh, Kru Nut itu guru bahasa Thai kamu,” Ratana duduk di sofa dengan santai, menyilangkan kakinya yang indah. “Pemuda Indonesia, sembilan belas tahun. Okay, please jangan tanya umur saya. Nanti bakal kelihatan terlalu tua untukmu”

“Kru Nut, guru saya, seumuran Pi Ratana,” kata Mirza, duduk di sofa lain di seberang Ratana.

“Oh, jangan panggil aku ‘pi’. Ratana saja, okay?”

Okay!

“Hm, jadi kusimpulkan, Kru Nut itu mirip aku, atau aku mirip Kru Nut!” kata Ratana.

“Tapi kamu benar-benar mirip Kru Nut. Aku masih belum bisa percaya kau bukan Kru Nut!”

“Percayalah aku bukan dia. Kenapa kau pikir seorang guru bahasa Thai beralih profesi menjadi seorang seperti aku?”

“Hm, entahlah. Tapi kau benar-benar fotokopian Kru Nut. Wajahmu, senyummu, rambutmu, tinggimu, kulitmu, umurmu, langsingmu, cantikmu: semua milik Kru Nut”

“Haha, mungkin ia kembaranku yang hilang. Tapi, rasanya aku tak punya kembaran. Aku tak menganggap rupa mirip sebagai keanehan. Banyak orang terlahir mirip dengan orang lain tanpa harus jadi saudara datau kembaran. Aku Ratana, dari Madame Lawan’s House, dan dari malam ini sampai pagi nanti, aku milikmu,” Ratana mengerling. “Ijinkan aku menghabiskan minuman ini. Setelah itu, kita akan membersihkan diri. Aku akan mengajarimu cara mandi yang baik dan bersih. Kau akan suka bagian pembukaan ini”

“Sebentar,” sergah Mirza. “Benar-benarkah kau dikirim Madame Lawan kemari untuk saya?”

“Seratus persen benar. Madame Lawan tidak pernah salah kirim. Ratana untuk Mirza, full night service!”

“Hm….aku…”

“Gugup ya? Jangan kuatir. Everything will be okay. It’s my job to make your stay tonight a pleasurable and memorable one,” kata Ratana.

Mirza menatap Ratana tak berkedip, menantikan Ratana menghabiskan minuman dan menebak apa berikutnya.

All right. Kau duduk manis dulu, ya. Aku akan persiapkan bathtub dulu,” Ratana berdiri,

“Oh ya, aku suka anak muda seumuran kau. Kamu pasti polos, perlu banyak belajar dan punya semangat eksplorasi. Tantangan hebat buat aku,” Ratana melangkah dengan gerakan indah ke kamar mandi, meninggalkan jejak sudut mata mesra untuk Mirza yang terus menguntit dengan pandangannya. Mirza melihat itu adalah gerakan Kru Nut yang selalu dalam bayangan di pelupuk matanya. Itu Kru Nut!

Galau sekali perasaan Mirza. Bila sebuah stetoskop dipasang di dada Mirza, pasti ada gejolak suara mirip percik air yang tertuang dari kran yang menghempas dasaran bathtub di kamar mandi.

HP Mirza memberikan tanda sms masuk. Dari Chon, bertanya : Sudah mulai? Jangan terlampu terlena. Ingat tugasmu!

Mirza tak membalasnya.

Sepuluh menit kemudian, Ratana siap. Ia keluar dari kamar mandi dengan bath robe kain handuk yang tadi tersedia di kamar. Rambutnya terurai menawan.

“Air mandi sudah siap, kutambahkan aroma bunga chamomile. Let’s get started!” Ratana mengayunkan tangan kea rah Mirza, mengajak dengan mesra.

Mirza tak berdaya.

Meski bayang-bayang Kru Nut terus bergelayut dalam benaknya dan meski ia berjuang keras melawan perangkap pesona yang ditebarkan Ratana, Mirza luluh dan memutuskan untuk larut dalam petualangan ini.

Semula ia merasa ia mengkhianati ‘cintanya’ pada Kru Nut dengan terlibat dalam petualangan semalam di kamar ini bersama Ratana, yang tak bakal ia lakukan kalau saja Kru Nut betulan yang berada di kamar ini saat ini. Namun, jiwa muda dan semangat coba-coba petualangan telah langsung melembekkannya. Lagi pula, bukankah ia tak bisa lagi bertemu Kru Nut? Kenapa harus terpaku pada bayangan Kru Nut dan menampik pengalaman hebat yang saat ini telah sampai di depan mata?

Mirza menyerah. Pasrah.

Ratana benar-benar terlibat langsung dalam tahap ‘mengajari mandi’ itu. Satu jam waktu dilewatkan di bak mandi bertebar semerbak bunga chamomile yang berbaur dengan harum raga Ratana, yang bagi Mirza adalah profesional di bidang seni mandi.

Selebihnya, pelajaran itu beralih ke pembaringan. Dan sampai 3 jam melewati tengah malam, komplit sudah pelajaran kenikmatan hidup itu didapatkan Mirza, di bawah bimbingan Kru Ratana cantik jelita berraga surga, yang teramat ahli dalam seni bercinta.

Ini pengalaman paling gila dan paling menghebohkan dalam hidup Mirza. Bercampur aduk perasaan itu : gugup, was-was, senang, nyaman, nikmat.

Ratana berbaring nyaman di samping Mirza. Tangan kirinya landai di dada Mirza, dengan elusan halus.

Did you enjoy it?” tanya Ratana.

It was awesome. Thanks, Ratana. You are a kru yay, a great teacher dan wonderful woman,” desis Mirza memuji.

Tell me, kamu enjoy itu karena kau suka aku atau karena dalam benakmu kau bayangkan aku sebagai Kru Nut?” tanya Ratana.

Mirza menoleh Ratana. “Kenapa mesti Kru Nut?”

Ratana tersenyum. “Karena aku tahu kau suka gurumu itu. Caramu menyebutkan namanya, dan gerak matamu ketika menyebutkan nama itu, menyiratkan kamu cinta perempuan itu,” kata Ratana.

“Yang jelas kamu sangat mirip Kru Nut, segalanya mirip,” kata Mirza.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu cinta Kru Nut, ya?”

“Wuih, ini jadi lucu kalau aku katakana yang sebenarnya padamu,”

“Katakan saja!”

Mirza terdiam beberapa jenak.

“Ya, aku sungguh cinta guruku itu. Simply karena ia pintar, cantik dan baik!”

“Apakah menurutmu Kru Nut cinta kamu juga?”

“Entahlah. Tapi bersamanya selama beberapa hari sebagai murid, dan sebagai teman makan siang, membuatku gembira dan bersemangat.Ia pergi begitu saja setelah melewatkan setengah hari memasak bersama saya di dapur penginapan. Suaminya menjemput paksa dia. Dan selebihnya ia menghilang dari pandanganku. Ia telah resign pula dari Rapid Thai, tempat ia mengajar”

“Kau sedih kehilangan dia?” tanya Ratana.

“Sangat! Kru Nut tak tahu seberapa besar cinta itu. Aku sedih banget!,” ujar Mirza. “Sori aku jadi curhat sama kamu”

“It’s okay. Aku yakin Kru Nut juga sedih harus meninggalkan kamu,” Ratana merapatkan desakan tubuhnya pada Mirza.

“Bagaimana kamu tahu? Cuma menebak?”

“Tak hanya menebak,” tutur Ratana.

“Lalu?”

“Aku bisa merasakan, gurumu itu jatuh cinta juga padamu!”

“Hm! Ini menarik,” Mirza mengangkat kepala, menatap Ratana. “Pertanyaannya : bagaimana kau bisa merasakan itu? Jangan bilang itu karena kau 100 persen mirip dengannya?”

Ratana menaikkan selimut, menutup seluruh dada. “Jawabannya sangat mudah”

“Kau membuatku bingung! Berhentilah bermain-main dengan kata,” protes Mirza.

“Sori. Aku tanya lagi, ya. Kau memutuskan untuk menikmati petualangan ini karena aku mirip Nut atau karena hal lain?”

“Bukan karena aku menganggap kamu sebagai Kru Nut. Tapi karena kau adalah Ratana yang cantik, seksi dan menawan,” jawab Mirza.

“Dan, satu lagi. Apakah menurutmu Kru Nut akan melibatkanmu dalam kenikmatan ini seandainya ia berada dalam posisiku?” tanya Ratana.

Mirza menatap Ratana sejenak.

“Kali ini aku benar-benar bingung, Ratana!”

“Kau tinggal berspekulasi tentang pengandaian itu”

“Aku tidak tahu”

“Mau tahu pendapatku?”

Go ahead!”

“Seandainya Kru Nut berdua saja bersamamu malam ini, aku yakin ia senang bisa menjadi bagian dari petualanganmu. Ia akan berikan dirinya dan hatinya”

“Kenapa kau bilang begitu?”

“Karena aku memang Nut. Nucharee, guru bahasa Thai yang kau panggil Kru Nut itu!”

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun