Wah, jadi benar desa Kemiren pernah menjadi buah perbincangan dunia di masa lalu? Bagaimana bisa?
EPISODE 6
PERUT KEMIREN
Candi memandang amplop yang tersodor di hadapannya, menunggu Asromo bicara.
“Dik Candi, saya tidak bisa bicara apa-apa lagi, selain mohon pengertiannya,” ujar Asromo, “terimalah ini!”
“Apa maksud Pak Lurah?” tanya Candi.
“Maksud saya, tinggalkan desa ini tanpa menulis apapun. Saya kira Dik Candi faham maksud saya,” Asromo tersenyum. Ia menggunakan jempolnya untuk menunjuk amplop tebal yang kini tepat berada di bawah hidung Candi.
“Jumlahnya memang tak seberapa, Dik,” Asromo mencoba tersenyum, ”tapi saya rela dan tulus memberinya”
Candi terhenyak. Sumber berita menyogok wartawan memang lazim bagi, terutama bila tak ada larangan di korannya untuk terima amplop. Tapi, bagi Candi, ada larangan terima aplop atau tidak, sogokan itu tidak ada dalam kamusnya. Amplopan yang begini bukan yang pertama bagi dia.
Pak Lurah mengira semua persoalan bakal beres dengan amplop itu, dan ia mengira andi tengah pikir-pikir untuk menerimanya.
“Maaf,” Candi mendorong balik amplop itu. “Pak Lurah keliru menilai saya. Saya bukan wartawan jenis itu. Sama sekali saya tidak mengharap amplop ini,”
Ganti Asromo yang tertegun. Senyum simpul yang tadi sudah tersungging di bibir, kini sirna lagi.
”Sudahlah, Dik,” Asromo mendorong kembali amplop itu ke arah Candi. ”Saya mengharap kerjasama Dik Candi dalam hal ini”
”Tidak,” tegas Candi mendorong balik amplop itu. Wolfgang heran melihat adegan dorong-mendorong amplop itu. Asromo menarik nafas putus asa.
”Lalu apa maunya Dik Candi,” Asromo bicara agak keras. Bu Lurah yang sedari tadi mempehatikan dari jauh tertegun. Mata Bu Lurah mengisyaratkan agar Hendro dan Marni bubar main monopoli dan menyingkir ke dalam.
Candi berdiri. ”Kami cuma ingin menegakkan kebenaran. Kami ingin tahu kenapa kami diancam macam ini,” Candi menghamparkan kembali surat ancaman itu di meja.
”Saya tidak tahu. Tidak tahu,” gelegar Asromo. ”Saya Cuma minta pengertian kalian. Jangan campuri urusan desa ini. Sungguh, saya bisa mengatasinya sendiri,” kata Asromo.
Bu Lurah datang menengahi.
”Sebaiknya adik-adik pulang dulu. Bapak tadi memang tidak enak badan. Ia harus beristirahat,” kata Bu Lurah.
”Baiklah,” kata Candi. ”Saya mohon maaf. Tapi kami tak akan pergi sebelum tahu misteri yang tersembunyi di Kemiren”
Rio bangkit dari tempat duduk, diikuti Wolfgang yang tak henti-hentinya menebah arah pembicaraan Candi dan Asromo.
”Kami mohon diri. Maaf,” ujar Rio mewakili yang tak segera beranjak. Rio menggamit Candi. Mereka meninggalkan rumah Pak Lurah.
”Adik-adik,” kata Asromo sebelum mereka meninggalkan beranda rumah. ”Saya sudah mengingatkan. Kalau terjadi sesuatu yang buruk, seratus persen tanggungjawab kalian sendiri.”
”Terimakasih atas peringatan Pak Lurah. Permisi!” kata Rio. Ia menoleh sebentar. Bu Lurah menurunkan tirai penutup jendela dan mengunci pintu rapat-rapat.
Candi, Wolfgang dan Rio berjalan dalam gelap kembali ke rumahSi Mbah dengan sebuah lampu baterai di tangan. Maghrib telah lama lewat, dan itu batas waktu yang ditetapkan pengancam mereka. Mereka berjalan nyaris tanpa suara, mungkin karena mereka secara tidak sadar berusaha tidak menimbulkan suara agar bisa mendengar suara-suara gerakan aneh yang mencurigakan di sekitar mereka. Tapi Rio agaknya tak suka membisu terus.
”Kamu bernyali rupanya. Tapi agak emosional,” kata Rio. Lama tak terdengar jawaban dari Candi sampai Candi bicara, ”Kau bicara padaku?”
”Kalau pada Wolfgang masak aku pakai bahasa Indonesia?” tukas Rio.
Candi tersenyum. ”Aku sendiri heran. Aku selalu berani manakala tersudut. Dunia wartawan mengajariku untuk gigih, tidak mudah menyerah, dan berusaha menguak kebenaran. Apa kau tidak meradang bila upayamu mencari kebaikan direndahkan dengan seamplop uang?” tanya Candi.
”Ya juga sih. Jadi kau masih bersikeras tinggal di sini?” kata Rio.
”Ya, sampai semuanya jelas!”
”Well, kalau begitu, nanti sehabis bersihkan badan lekas kau datang ke rumah Si Mbah, dan kita bincangkan rencana kita. Paling tidak, kita perlu strategi, kan?” kata Rio.
”Oke”
”Maaf,” sela Wolfgang tiba-tiba. ”Sedari tadi saya ingin tahu. Boleh saya bertanya, apa isi amplop itu?’
”Uang!” kata Rio.
”Uang?” ulang Wolfgang polos.
“Ya, buat menyogok agar Candi tak menulis berita tentang penyerangan Parto Sumartono. Asal tahu saja, amplop berisi uang adalah salah satu keajaiban negeri ini. Ia bisa membobol semua jenis pintu, mengubah angka, memperlembek birokrasi, dan semacamnya,“ kata Rio. Wolfgang jadi mafhum.
“Keajaiban, ya? Jadi di negerimu ini masih ada keajaiban lain selain candi Borobudur?“ ujar Wolfgang, setengah berkelakar.
***
Rio benar-benar tak habis pikir bagaimana Candi bisa sedemikian berani. Ia tak segera datang ke rumah Si Mbah untuk bergabung. Rio kuatir kalau ia berlama-lama di kamarnya, ia bisa dicederai orang yang mungkin benar-benar hendak menghabisinya.
Pukul 10 kurang sedikit, Candi baru menampakkan wajah di rumah Si Mbah. Rio menurunkan lampu tekan dan memompanya untuk menambah tekanan. Cahaya lampu tekan menjalar ke mana-mana, sebagian terlempar sampai jauh ke depan, cukup untuk menerangi sejumlah petugas Hansip yang tengah berbagi rokok di halaman depan.
Malam ini, keistimewaan penjagaan rumah Si Mbah makin bertambah. Empat orang tambahan anggota Hansip ditugaskan untuk mengamankan poros rumah Si Mbah dan rumah Bu Parmi, tempat Candi tinggal. Ini membuat Rio heran. Di satu pihak Pak Lurah bersikeras agar mereka enyah dari desa ini, tapi di pihak lain ia menyediakan perlindungan tambahan untuk mereka. Ini pula yang membuat Rio ragu pada keterlibatan Asromo dalam misteri ini. Kini agak sulit ditebak di mana Asromo berdiri sebenarnya.
”Kau tampak segar, Nona Candi,” sambut Wolfgang. Candi muncul dengan kaos-t baru dan tepat dengan jeans yang dikenakan tadi siang. Ia segera duduk bersila berhadapan dengan Rio dan Wolfgang di meja bundar berkaki rendah. Sejumlah kertas, buku, dan gelas- teh hangat serta makanan kecil berserak di meja.
”Bagaimana keadaan Si Mbah,” tanya Candi.
”Baik, tapi bicaranya masih pelo. Istri Sujarno dan beberapa tetangga bergantian menjaga,” kata Rio.
”Aku mau jenguk Si Mbah,” Candi bangkit lagi dan menelusup ke kamar Si Mbah yang diterangi lampu tekan. Si Mbah berbaring tak bergerak. Gurat-gurat lebam masih tersisa di wajah tua Si Mbah.
Candi kembali ke ruangan tengah beberapa saat kemudian. Seorang wanita tua datang dengan segelas teh hangat untuk Candi.
”Heran,” celetuk Candi, ”kehadiran kita di desa ini tak disukai, tapi masih ada juga yang mau melayani kita dengan makanan dan teh hangat”
”Itu tadi yang kupirkirkan,” ujar Rio. Wanita tua itu bilang, teh hangat dan makanan ini tersedia atas perintah Bu Lurah. Bu Lurah minta wanita tua itu untuk melayani kita sebaik-baiknya, karena bagaimanapun kita ini tamu desa. Wanita tua itu tak menolak ketika kuberi uang,” ujar Rio. Candi membulatkan bibir tanda faham.
”Nah, bagaimana pengamatanmu selama ini,” tanay Candi.
”Nggak ada masalah. Lancar. Museum Si Mbah ini bisa bercerita banyak,” tukas Rio.
”Barangkali kau bisa bercerita selengkapnya soal penemuan bersejarah di desa ini,” pinta Candi sekaligus minta agar Rio berkisah dalam bahasa Inggris, agar Wolfgang bisa mengukuti penjelasan Rio..
Rio menyalakan sebatang rokok.
”Kisah penemuan sisa purbakala di Kemiren pasti sudah kalian ketahui. Penelitian di bidang paleoantropologi dan paleontologi oleh ahli-ahli asing di Kemiran diawali pada tahun 1893. Tapi penemuan-penemuan penting baru diperoleh di antara tahun 1936-1941. Kristoff Von Weisserborn, seorang ahli paleoantropologi dan paleontologi Jerman yang berkewarganegaraan Belanda menemukan sejumlah fragmen fosil manusia purba jenis phitecanthropus. Ia juga berhasil menemukan dua buah fragmen rahang manusia purba berukuran besar. Von Weisserborn kemudian menggolongkan temuan itu dalam genus meganthropus paleojavanicus,” Rio meneguk kopi. Agak susah juga ia harus bercerita dalam bahasa Inggris. Repotnya lagi, Candi selalu mesem kalau Rio keseleo lidah. Dalam hati Rio berjanji akan menjitak kepala wartawati cantik itu kalau ia senyum-senyum terus ketika Rio salah lidah.
Tapi baik Candi dan Wolfgang merupakan pendengar yang baik. Mereka serius betul menyimak penjelasan Rio. Keduanya sedikit-sdikit bikin coretan di catatan mereka.
”Selain itu, ” lanjut Rio. ”Von Weisserborn juga menemukan benda-benda lain. Benda-benda itu ia golongkan dalam dua kelompok; kelompok artefak dan kelompok non-artefak. Kelompok artefak terdiri atas serpihan-serpihan dan alat batu masif. Sementara itu, kelompok non-artefak terdiri atas fosil hewan, fosil hominid, fosil tumbuhan dan tektite. Perlu diketahui, di Kemiren ini, fosil hewan air dan hewan hutan ditemukan pada satu tempat yang sama”
”Kok bisa begitu?” tanya Candi.
”Kemiren dulunya adalah danau yang berubah menjadi gunung. Ini terjadi karena pergeseran tanah selama beratus-ratus tahun yang mendesak perairan danau. Itulah sebabnya, di situs Kemiren bisa ditemukan fosil gading gajah, fosil gigi babi, fosil rusa, fosil ikan hiu, fosil kepiting dan fosil tumbuhan lain,” ujar Rio.
”Menarik sekali. Lalu?” sela Wolfgang.
”Temuan-temuan itu semuanya berasal dari kurang lebih satu juta tahun lalu,” kata Rio.
”Dan yang lebih menarik lagi,” kata Candi. ”Hampir semua orang desa terlibat pada saat penggalian antara tahun 1936 sampai 1941. Betul begitu?”
”Betul. Si Mbah Parto Sumartono adalah salah satu saksi sejarah penggalian itu. Ia bersama von Weissernborn menemukan berbagai temuan berharga itu,” lanjut Rio. ”Temuan-temuan penting itu sebagian dibawa ke museum arkeologi pusat, sebagian lagi dibawa ke negeri Belanda. Tapi umumnya, para penduduk banyak juga yang menyimpan temuan mereka sendiri. Si Mbah Parto punya koleksi terbanyak, yang ia temukan bersama von Weissernborn, dan ada pula yang ia temukan sendiri. Jadi sebetulnya Si Mbah punya andil banyak dalam mengharumkan nama von Weisserborn di dunia internasional. Sayangnya, sebelum wafat pada tahun 1982, von Weisserborn tak sempat berwasiat apa-apa pada Si Mbah. Si Mbah itu menurutku adalah pahlawan tanpa tanda jasa di bidang ini. Kini ia hanya hidup dari kaleng sumbangan yang disediakan di museum ini,” Rio mengepulkan asap rokok.
”Sayang sekali,” komentar Wolfgang.
”Tapi isi bumi Kemiren sendiri telah memberikan berkah kepada penduduk desa,” kata Candi. ”Orang-orang desa menggali tanah cadas, kemudian mengukir benda kerajinan yang mirip fosil. Mereka juga membuat batu akik dari fosil kayu Sempu yang merupakan kekayaan perut Kemiren. Kadang mereka menemukan benda-benda galian berbentuk unik dan mengatakan kepada pengunjung desa itu fosil aslo. Pengunjung percaya dan mau beli dengan harga tinggi,” jelas Candi.
”Ya, secara tak langsung Parto Sumartono telah menebarkan kebaikan untuk warga desa. Tapi, ngomong-ngomong, bagaimana Parto Sumartono bisa dekat dengan von Weisserborn?” tanya Wolfgang.
”Von Weissernborn tinggal di rumah ini selama proyek penggalian di Kemiren, dan secara tidak resmi, Parto Sumartono adalah asisten Von Weissernborn,” kata Rio. ”Si Mbah yang cerita padaku”
Mereka mengobrol sampai malam merangkak jauh. Udara dingin menerobos pintu. Jam dinding kuno berlapis kayu berdentang sebelas kali.
”Hampir tengah malam. Aku balik dulu,” Candi meneguk habis teh manis di meja, dan menaikkan resluiting jaket sampai ke leher. Rio menatap Candi takjub. Sama sekali tak tersirat rasa takut di wajah gadis ini. Ia seperti sudah lupa ancaman ’mati’ itu. Lama Rio menatap Candi yang tengah mengemasi barang-barangnya.
”Kenapa menatapku seperti itu?” Candi balas memperhatikan Rio yang berdiri mematung di bawah cublik di depan rumah.
”Kamu benar-benar tak gentar ancaman itu?” tanya Rio.
”Tidak!” Candi mengeluarkan lampu baterai dari tas, ”I’ll be all right”
Rio meniup kedua telapak tangannya untuk mendapat rasa hangat dari mulut, dan menggosok-gosokkan kedua telapaknya sambil mendekati Candi.
”Baiklah, Can. Jaga diri baik-baik. Aku akan mengawasai kamu dari jauh.” Rio mendekap punggung tangan Candi, mencoba menyalurkan hangat itu. Cepat Candi menarik tangannya sebelum terlanjur menikmati hangat dari tangan Rio.
”Perlu kuantar balik ke rumah Bu Parmi?” tanya Rio.
”Tak usah. Aku bisa sendiri. Good night, Wolf!” ucap Candi, membalikkan badan. Segera ia hilang ditelan malam. Hanya sorot kecil lampu baterai terlihat, beradau cepat dengan langkah-langkah kak Candi.
Sementara itu, sejumlah petugas Hansip berkeliaran di antara rumah Bu Parmi dan rumah Si Mbah. Sorot lampu baterai mereka menyeruak ke semua arah.
”Dia gadis berani. Aku kagum. Aku bisa lihat kau suka padanya,” komentar Wolfgang.
Rio tersenyum.
“Mudah-mudahan ancaman itu cuma isapan jempol,” kata Rio. ”Tapi aku benar-benar tak suka suasana malam ini, Wolf. Meski pengamanan demikian ketat, masih ada sesuatu yang membuat ku ngeri“
”Apa itu?”
”Entahlah,” Rio berjalan ke arah dua petugas Hansip di gardu jaga tak jauh dari rumah Si Mbah. Rio mengulurkan dua pak rokok kepada salah satu anggota Hansip.
”Agak dingin malam ini, ya?” sapa Rio.
”Dingin sekali. Mas Rio belum tidur?” tanya seorang Hansip.
”Sebentar lagi”
”Selekasnya tidur, Mas Rio. Malam ini anginnya tak enak. Dengar suara gemerisik daun-daun bergesek di atas sana? Ini beriring dengan debar hati saya yang tak keruan sejak hari mulai gelap tadi,” kata Hansip itu. Ia memandang sekeliling dengan wajah cemas.
Rio mendongak, turut terseret arus firasat orang itu. Saat itu angin keras menggesek dedaunan, suara membuat bulu kuduk Rio meremang.
”Ya, terasa aneh,” desis Rio. ”Ayo, Wolf. Kita istirahat!”
Wolfgang mengikuti Rio menyusur jalan masuk menuju rumah. Sebelum menutup pintu, Rio menyapukan pandangan ke bumi gelap di depan rumah. Benar! Angin berdesir dengan irama aneh dan bunyi aneh pula. Pertanda apa ini?
(bersambung)
catatan :
pelo = sulit bicara, atau menguarkan suara yang tidak jelas (bahasa Jawa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H