Akankah rembang fajar menguak kebenaran? Siapa lagi yang harus mandi darah sebelum rembang fajar datang?
EPISODE 16
REMBANG FAJAR
Si jebah kelihatan sangat haus darah. Begitu melihat Candi berdiri menantang, ia menghunus parangnya, dan menunggu perintah dari Kuntoro. Demikian pula si celana longgar dan si kumis. Kalau sebelumnya selalu saja ada halangan buat membabat musuh-musuh di hdapannya ini, kali ini mereka yakin bakal tuntas tugasnya. Bernafsu sekali mereka mengelilingi Candi, Wolfgang dan Sujarno. Mereka permainkan parang itu di hadapan musuh untuk merontokkan nyali musuh.
Candi mencoba menatap tajam di jebah dan berusaha membaca gerakannya. Nyala lampu senter di tangan kiri si jebah menjadi terang karena tak lagi tertutup kain sarung. Dari jauh bisa terlihat jelas gerakan-gerakan mereka yang sedang mengancam dan mereka yang sedang terancam itu. Kalau saja polisi sedang menyisir tempat itu, pasti mereka akan segera tahu. Candi berharap ada keajaiban itu. Tapi sepertinya harapan itu tipis. Ia dan kawan-kawannya tak bisa menghindari kenyataan mereka kini menghadapi bahaya besar. Sangat mustahil tak ada darah tertumpah. Candi berharap itu bukan darahnya.
Detak jantung Candi menghebat saat si jebah maju membabatkan parang dengan teriakan tak jelas. Candi berkelit. Wolfgang dan Sujarno beranjak menjauh dan mencoba mengalangi si jebah. Si celana longgar dan si kumis tak tinggal diam dan masing-masing langsung memilih mangsa, Wolfgang dan Sujarno. Kuntoro tampak senang dengan adegan ini. Ia berdiri dengan dua tangan menopang di atas tongkatnya. Ia yakin musuh-musuh gampang ini sebentar saja akan tumpas.
Dan Kuntoro benar. Candi, Wolfgang dan Sujarno benar-benar tak berkutik dengan serangan-serangan parang itu. Mereka hanya bisa menghindar dengan perasaan was-was luar biasa, dan mereka yakin in tak akan bertahan lama. Sebentar lagi pasti ada darah.
”Auh!” tiba-tiba Sujarno berteriak nyaring, diikuti lolong panjang kesakitan. Candi melihat sekilas, bahu Sujarno terbabat parang si kumis. Darah segar muncrat dari sobekan kemeja batiknya. Wolfgang berusaha menghindar dari desakan si celana longgar dan berusaha menjauhkan Sujarno dari makin gencarnya serangan si kumis. Namun, upaya Wolfgang ini malah membahayakan posisinya. Si celana longgar mendapatkan peluang bagus menyabetkan parang. Candi melihat ini dan meneriaki Wolfgang untuk memberi peringatan, dan ini mengacaukan konsentrasinya. Si jebah melompat dengan parang teracung siap menebas. Candi menutup mata dan menantikan datangnya malapetaka besar itu.
”Hentikan! ini polisi. Angkat tangan semuanya!” tiba-tiba hardikan keras sekelompok anggota polisi lengkap dengan lampu sorot dan gonggongan anjing pelacak membuat gerak si jebah terhenti. Jebah, celana longgar dan Kumis segera lari menghambur meninggalkan Kuntoro yang berusaha menyingkir tertatih-tatih dengan tongkatnya. Letusan tembakan peringatan membahana di tebing itu.
Anggota polisi sigap mengejar si jebah, celana longgar dan si kumis. Yang lain membantu Sujarno.
Candi mencari tahu kemana Kuntoro menghilang. Ia tahu Kuntoro menyelinap pergi tanpa kawalan satupun anak buahnya yang sudah tercerai berai cari selamat. Tanpa anak buah, Kuntoro tak akan punya peluang lari jauh.
Tak sulit Candi menemukan Kuntoro. Ia menjemba kerah orangtua itu dan menghentikannya dari belakang. Tapi, tanpa terduga, Kuntoro berbalik dengan tongkat menyambar telak ke pelipis Candi. Gadis ini menjerit. Matanya berkunang-kunang. Perhatiannya berkurang. Anda malam tak gelap, pasti habis ia dihajar Kuntoro yang mengayun-ayunkan tongkat dengan gerakan membabi-buta.
Candi mundur beberapa saat dan mencoba mengumpulkan tenaga dan konsentrasi. Desing tongkat yang membabat angin ia perhitungkan baik-baik. Kuntoro saat ini pasti sedang panik mencari-cari sasaran, dan inilah saat yang tepat melumpuhkan macam ompong itu.
Manakala desing tongkat terdengar tak jauh dari Candi, cepat Candi menangkap tongkat itu dengan genggamannya dan mencengkeramnya kuat-kuat. Sekuat tenaga ia merebut tongkat itu. Tapi, karena Kuntoro memegang bagian yang melengkung, ia punya kekuatan lebih besar mempertahankan tongkat itu.
Dengan kedua belah tangan, Candi menarik tongkat itu. Ia bisa merasakan getar hebat tangan Kuntoro yang menjaga sekuat tenaga agar tongkat tak berpindah tangan ke Candi. Candi jadi tahu Kuntoro kini mengandalkan hidupnya pada tongkat itu.
Tapi, tak dinyana-nyana, tongkat itu tiba-tiba melemah. Dan berbareng dengan datangnya Wolfgang dan sejumlah anggota polisi, Candi tahu Kuntoro tengah bergulat mempertahankan tubuhnya yang tiba-tiba saja oleng. Rupanya Kuntoro salah memilih tempat berpijak. Tanah yang dipijak Kuntoro runtuh satu persatu dan tubuh Kuntoro melesat deras ke atas dengan raungan singkat.
”Pegang erat, Pak!” Candi meneriaki Kuntoro, tubuh gadis itu terseret ke tanah, mengukuti gerak jatuh Kuntoro. Untung ada akar melintang yang bisa Candi gunakan untuk mengaitkan kaki dan menghentikan gerak turunnya.
”Pegang kuat. Jangan dilepaskan. Saya akan menarik Pak Kuntoro!” kata Candi sekuat tenaga menghela batang tongkat yang dirasa makin licin. Tapi tubuh Kuntoro terlalu berat. Perlahan cengkeraman dua tangan Candi pada batang tongkat bergeser perlahan dan cengkeraman itu beberapa centimeter lagi akan sampai pada ujung tongkat.
Para polisi berjongkok untuk membantu menahan Candi, tapi pegangan Candi maki tak tertahankan dan lepaslah tongkat itu bersama Kuntoro. Kuntoro menjerit histeris. Jeritannya membahana di tebingan itu. Orang-orang mendengar suara berderah dan berdebum di bawah sana. Sejumlah lampu senter tersorot ke bawah. Kuntoro terkapar sektar 20 meter di bawah sana. Darah membersiti cadas dan batuan runcing di seputaran kepalanya. Tak terlihat orangtua itu bergerak. Hidupnya tamat di pangkuan bebatuan Kali Randu.
***
Dengan lampu senter yang ia raih dari meja di kamar Si Mbah, Rio segera melesat menyusul Bu Lurah ke pertelon. Masih bergayut sangsi di dada Rio; benarkah perempuan cantik ini juga merupakan salah satu sumber kekacauan di desa ini? Alangkah rapinya ia menyembunyikan gerakan di depan suami, di depan semua orang, di depan masyarakat desa Kemiren.
Desir dingin angin pagi melibas wajah Rio. Masih terasa hangat bibir Bu Lurah di bibirnya, masih membara sisa dekapan Bu Lurah di dada Rio.
Tapi tak ada Praptiwi di pertelon, tidak juga Harjo. Ke mana harus melacak Praptiwi. rio berpikir sejenak. Tak mungkin Praptiwi menuju ke balai desa. Ada banyak polisi di sana. Ia pasti perlu tempat bersembunyi atau mencari jalan aman ke luar dari Kemiren.
Rio memutuskan untuk kembali ke selatan, ke arah Kali Randu. Ia menggunakan sisa-sisa tenaga yang ada. Rio yakin Praptiwi punya tempat khusus di sekitar jajaran kaliandra tempat ia bersimpuh membersihkan luka leher Rio.
Rio hampir sampai di jajaran kaliandra itu ketika jalannya terhenti oleh seonggok tubuh melintang di jalan setapak gelap menuju ke jajaran pepohonan kaliandra. Segera ia sinari onggokan tubuh itu. Harjo tergeletak di tanah tak dasarkan diri dengan wajah bersimbah debu dan kepala bocor. Tak jauh dari situ, sebongkah batu sebesar kepalan tangan tergeletak, penuh darah. Malang benar Harjo. Agaknya Praptiwi menyudahi hubungannya dengan Harjo lewat cara yang sangat jelas tidak disukai Harjo.
Karena ada tanda-tanda Harjo masih bernafas, Rio mengeluarkan saputangan dari saku celana dan membalutkepala Harjo untuk menghentikan pendarahan. Ia kemudian menepikan Harjo ke pinggir jalan setapak.
Ujung kelam tampaknya agar segera menjemput. Langit timur berubah warna menjadi rembang ungu. Tapi itu belum cukup memberi cahaya untuk sekeliling. Rio kembali menyambart lampu senter. Sekarang harus diperhitungkan kemana Praptiwi melaju, yang boleh jadi mencari Kuntoro. Kalau Kuntoro telah tertangkap, harus pula dipastikan kemana perempuan itu menyembunyikan diri.
Rio menggunakan ujung cahaya lampu senter sebagai mat untuk menelusuri setiap sudut. Ia mulai menyusuri jalan setapak yang dijajari pohon-pohon kaliandra dai satu ujung ke ujung lain.
Tiba-tiba saja bulu kuduk Rio meremang. Nalurinya mengatakan ada gerakan mengintai tak jauh darinya. Cepat ia mengirim cahaya ke sumber mencurigakan itu. Ia terkejut ketika dari arah samping kanan sebuah gerakan cepat menghantam tangan kanannya. Rio mengerang kesakitan. Lampu terlempar jauh. Sekeliling menjadi gelap.
”Aku memang kasmaran pada kamu, tapi aku tak ingin kau terus mencampuri urusanku,” pekik Praptiwi menyibak gelap. Dalam remang Rio melihat wanita itu berbekal sepotong kayu dalam genggaman kedua tangan. Dari caranya memegang kayu, Rio tahu Praptiwi tidak lihat memainkan senjata temuan itu. Ia mengayun-ayunkan kayu asal-asalan saja.
”Tahan, Mbak Prap!” Rio berusaha menghentikan gerak merangsek Praptiwi. Tapi wanita itu tetap maju dengan raut beringas. Kalau suasana terang, pasti Rio melihat raut macam betina di wajah itu.
Rio melompat ke kiri saat kayu itu terayun ke arah kepala. Pada saat itu juga, Rio sempat mencuri peluang kelemahan Praptiwi. Tangkas ia menendang kayu itu. Praptiwi berteriak. Suara bergedebug di sebelah menandakan kayu itu telah terbang dan mendarat di sana. Kini Praptiwi tak bersenjata, dan akan bekurang bahaya serangannya.
Tetapi Rio salah. Ketika ia mendekat, Praptiwi meraih sesuatu dari sakunya; sebuah pisau lipat yang langsung terbuka ketika digoyang keras. Bercahaya pisau itu dalam remang dini hari. Dan kali ini Rio gagal mengantisipasi dengan cermat. Pisau lipat di tangan Praptiwi berkelebat dan menyerempet paha Rio.
Meski perih, Rio tak berusaha memekik. Ia mundur beberapa langkah untuk menghindarkan serangan fatal berikutnya. Rio juga tak ingin serangan balik untuk bertahan malah membuat pisau itu menggores kulit cantik Praptiwi.
Berulang kali pisau lipat itu menyambar, dan Rio berkelit dengan hati-hati. Saat pisau itu menyambar ruang kosong, Rio berhasil meraih salah satu ujung jaket Praptiwi, dan langsung membetotnya. Perempuan itu langsung tersentak ke belakang. Segera ia melepas jaket seluruhnya dan membiarkan jaket itu lepas dalam hentakan tarikan Rio. Bersama jaket itu, belati di tangan Praptiwi terpelanting entah kemana. Praptiwi lari menjauh.
Rio menghempaskan jaket itu di tanah. Langit di timur bertambah cahaya. Tapi cahaya yang masih temaram itu hanya memberian sedikit bayangan Praptiwi yang makin jauh masuk ke dalam rerimbunan semak-semak liar.
Agak lama Rio berlari kecil menyusurijalan setapak berdinding jajaran kaliandra dan sebentar kemudian ia sampai di kawasan yang banyak ditumbuhi pohon orok-orok. Agar kehadirannya tak diketahui Praptiwi yang mungkin sudah duluan berada di kawasan itu, Rio berusaha sedapat mungkin tidak menyenggol salah satu pohon itu agar biji-biji kering di dalam ribuab buah orok-orok tidak menimbulkan kegaduhan. Tapi itu ternyata tidak mudah. Ketika iamemutar tubuh, tak sengaja ia menyenggol satu pohon orok-orok. Gemericik buah orok-orok memecah sunyi. Pada saat itu juga ia mendengar suara gemericik lain bersambung-sambungan dari jarak 3 meter. Cepat Rio mencari suara itu. Praptiwi melesat menerabas pepohonan orok-orok. Ia tahu ia telah memilik tempat bersembunyi yang salah.
Meski paha bekas sayatan Praptiwi menimbulkan nyeri yang luar biasa ketika berlari, tak sulit bagi Rio untuk mengejar Praptiwi.
”Berhenti, Mbak Prap! Berhenti!” seru Rio. Tapi Praptiwi enggan mendengar. Ia baru berhenti manakala larinya terhenti oleh sebatang pohon yang ia tak sengaja ia terabas. Ia terpental ke belakang, dan mendekap wajahnya dengan erang kesakitan.
Rio mendapatkan wanita itu mencoba berdiri. Ketika Rio mendekat, cepat kaki Praptiwi menendang perut Rio. Rio kaget. Sulit dibayangkan wanita pecinta bunga itu bisa sedemikian kasar. Ia menanti gerakan Praptiwi berikutnya. Wanita itu mengambil sebongkah batu dari tanah dan siap menghantam Rio. Rio merunduk dan menyergap pinggang Praptiwi dari bawah. Praptiwi kehilangan keseimbangan. Keduanya terjatuh mengikuti dorongan Rio. Praptiwi merintih menahan tindihan Rio. Pemuda itu tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia membalik tubuh Praptiwi dan menguncinya dari belakang.
”Tubuhmu seharum rempah-rempah. Wajahmu seindah bunga, dan tatapan matamu teduh. Tapi hatimu busuk luar biasa. Akui kau yang memicu kekacauan di desa ini!” ujar Rio di telinga Praptiwi, ”Kau tahu isi surat dari yayasan itu dan kau bersekongkol dengan bapakmu Kuntoro yang serakah itu!”
”Memang aku yang mengendalikan semua itu. Aku otak dari semua kekacauan ini! kata Praptiwi. Ia meronta dalam kuncian tangan dan lutut Rio yang menekan tubuh Praptiwi rata ke tanah.
”Sekarang tenanglah! Kamu dan komplotanmu sudah kalah. Akui semua kesalahanmu di depan suami dan masyarakat Kemiren. Uang hibah yayasan itu bukan hakmu. Itu hak orang lain; hak desa ini, hak negeri ini!’ kata Rio
”Tidak! Bunuh saja aku! Bunuh!” Praptiwi meronta lebih hebat. Ia mencoba bergerak lebih hebat ke arah pohon. Rio tahu ia hendak membentur-bentukan kepala pada batang pohon di depannya. Cepat Rio menarik tubuh Praptiwi menjauh dari pohon.
Praptiwi tampak jengkel sekali. Gerakannya kini seperti kuda betina liar yang kehilangan kendali. Tapi, dalam cengkeraman Rio yang makin kuat, ia hanya bisa melolong dan meronta dalam waktu lama.
Sabar Rio menahan dan mengikuti gerak liar Praptiwi yang makin lama makin melemah. Perlahan Rio menjemba rambut Praptiwi dan menghadapkannya ke arah langit timur yang baru saja mendapat sapaan hangat matahari pagi.
”Pandang matahari itu, dan cari tahu siapa Mbak Praptiwi sebenarnya. Mbak Prap bukanlah ibu desa yang selembut bunga, bukan perempuan yang bisa membedakan kearifan dan keserakahan. Mbak Prap sudah menimbulkan banyak korban, menumpahkan banyak darah,” kata Rio.
Praptiwi menatap rembang fajar tanpa kedip. Ia terus meronta-dan meronta. Tapi rontaan itu makin lemah dan melemas. Ia kini balik menyandarkan kepala ke dada Rio. Rio melonggarkan cengkeramannya dan beralih memeluk hangat perempuan itu.
”Semuanya sudah berakhir, Mbak Prap. Lihat indahnya matahari pagi ini. Itu adalah matahari harapan hari ini. Harapan bagi desa ini, harapan untuk berhentinya angkara murka, harapan bagi Mbak Praptiwi untuk berubah menjadi lebih baik. Mbak Prap sebetulnya bukan perempuan jahat. Mbak Prap hanya korban keserakahan,” Kata Rio. Praptiwi menumpuki tangan Rio yang mendekap dadanya, mendengarkan Rio.
”Sebentar lagi polisi datang kemari. Mbak Prap tak perlu lari. Jika Mbak Prap mengakui semua kesalahan, semuanya akan jauh lebih mudah,”Rio mendekap dada Praptiwi lebih kencang dan hangat. Wanita itu menengadah, seolah ingin mendengar suara Rio lebih jelas. Sudah pasrah dia.
”Dan,” Rio bicara dengan pipi menempel di pipi Praptiwi, ”saya ingin Mbak Prap tahu saya menyukai Mbak Prap. Saya bangga dan senang Mbak Prap menginginkan saya. Mbah Prap berhasil membuat saya terpesona.......tapi, Mbak Prap adalah Bu Asromo. Mbak Prap adalah ibu Hendro. Saya ingin Mbak Prap tetap seperti itu,”
Dan makin meleleh airmata Praptiwi. Ia menangis tanpa suara. Rio tahu itu tulus.
Tak lama kemudian, terdengar tapak-tapak mendekat. Polisi dan sejumlah orang berdatangan. Rio dan Praptiwi masih menatap rembang fajar di ufuk timur. Rio mencium pipi Praptiwi mesra satu kali, dan membiarkan wajah Praptiwi merbah di lehernya. Praptiwi memejamkan mata. Pipi Praptiwi bersimbah airmata.
Polisi, Candi, Asromo, dan Wolfgang berdiri tak jauh dari dua orang yang masih berpelukan menatap matahari yang makin benderang, bundar dan hangat.
***
Rio meneguk kopi hangat di meja di beranda rumah Si Mbah. Sejumlah polisi baru saja menyelesaikan tanya ini-itu pada Rio, Candi, Wolfgang, Sujarno, an orang-orang lain. Jam 10 pagi lebih sedikit.
Dari kejauhan Asromo tergopoh datang dengan dua orang bule berpakaian necis. Wolfgang tak terkejut melihat kedatangan kedua rambut jagung itu. Wolfgang menyapa dalam bahasa Belanda. Kedua bule itu adalah utusan dari Yayasan Kristoff von Weissernborn.
”Kabar buruk,” kata Asromo.
”Kenapa, Pak?” tanya Rio.
”Bukti dua carik kertas yang kau rebut dari Praptiwi itu ternyata tidak sah,” kata Asromo.
”Tidak sah?”
”Ya,” sambung dua bule itu dalam bahasa Inggris. ”Setelah kami teliti dengan cermat, ternyata yang dianggap sebagai bukti bukanlah dua carik kertas itu”
Rio dan Candi menunggu dua bule itu bicara lagi.
“Kedua kertas ini tidak dilukis, tapi dicetak sebelum kemudian dipotong menjadi dua bagian persis di tengah. Dalam wasiat von Weissernborn, baru saja kami temukan penjelasan bahwa bukti yang diperlukan adalah cetakan itu, bukan kertasnya. Orang yang membuat cetakan itu adalah pemilik bukti itu,” lanjut salah satu bule itu.
Candi dan Rio berpandangan dan tak kurang dari Wolfgang minta agar penjelasan soal bukti itu diulang. Pada saat itu tiba-tiba istri Sujarno berteriak, “Si Mbah bicara…..Si Mbah bicara….”
Bergegas orang-rang menghambur ke kamar SI Mbah. Orangtua yang selama beberapa hari hanya terbaring membisa kini mulau berkata-kata. Airmatanya melelh di pipi keriput. Tangan kanannya bergerak-gerak arah sebuah tugu kayu setinggi setengah meter berbentuk balok dengan panjang dan lebar bagian dasar 30 cm. Tugu kayu itu, yang bagian atasnya melebar, selama ini berada di dekat ranjang Si Mbah dan digunakan sebagai meja kecil untuk meletakkan air minum Si Mbah.
Tak seorangpun bisa menangkap isyarat tangan Si Mbah. Tapi semua terhenyak ketika Si Mbah memaksakan diri untuk menyenggol rubuh meja kayu berbentuk tugu tunggal itu. Maja itu roboh bersama dengan gelas air minum Si Mbah. Orang-orang yang hadir tak segera memahami itu kecuali Rio. Rio langsung menghampiri tugu kayu itu dan memeriksa dasarnya.
”Lihat, ukiran kaliandra di dalam bulatan dengan huruf W dan P, dan angka 19 dan 40,” kata Rio. ”Ini cetakan itu!”
Semua orang merubung tugu kayu itu. Salah satu bule mengais selembar kertas kosong dari tas portepel yang dibawanya. Ia mencari-cari seuatu untuk mengoles. Rio punya akal. Ia membakar sumbu sebuah cublik, dan mengambil cermin kuno di dinding. Rio kemudian membiarka nyala api menjilati permukaan cermin untuk mendapatkan jelaga.
Si bule faham. Begitu jelaga terkumpul, ia mengoleskan telapak tangan pada jelaga, dan kemudian mengolesi dasar tugu berupa cetakan dengan jelaga. Bagian dasar itu kemudian ia stempelkan ke kertas kosong. Dan tercetaklah sebuah bundaran dengan bentuk kaliandra utuh di tengahnya, dibarengi huruf W di kiri dan P di kanan, angka 19 di bawah W dan angka 40 di bawah P.
Dua bule itu kemudian menyamakan hasil cetakan dengan kedua lembar kertas kusam yang selama ini menggegerkan Kemiren. Lama mereka menelitinya.
”Ya, benar. Ini bukti itu!” kata salah satu bule. ”Orangtua itu pastilah pemilik cetakan ini. Ia yang berhak atas uang hibah itu. Saya akan segera telegram ke Belanda”
Orang-orang bernafas lega dan bergantian menatap hasil cetakan itu. Tak seorangpun memperhatikan Si Mbah yang tiba-tiba tersengal-sengal.
”Si Mbah!” pekik Rio. Semua orang kini menoleh ke Si Mbah Parto Sumartono.
Bibir Si Mbah bergetar hebat. Dari mulutya terdengar kata-kata.
”Musssseeumm......musseummmmmm,” guman Si Mbah. Sejenak kemudian Si Mbah menarik nafas panjang dan akhirnya terhenti nafas itu.
”Mbah Parto,” pekik Rio. Tapi Si Mbah bergeming. Tak ada hembusan nafas di hidungnya. Ia terbujur kaku. Sekilas tampak keriput menghias wajah, tapi senyum Si Mbah mengembang di bibir. Wajahnya damai. Rautnya teduh. Ia telah tiada.
Rio menyelinap perlahan ke luar kamar dan memandangi papan nama Si Mbah di depan rumah. Papan itu bergoyang-goyang ditiup angin. Rio melihat cahaya terang memancar dari papan itu. Si Mbah telah menuntaskan pekerjaan besarnya dengan baik. Si Mbah telah memberi tuturan pada Kemiren tentang kerendahan hati. Si Mbah telah membuat Rio menitikkan air mata.
(bersambung ke episode terakhir)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H