Apa yang diharapkan publik jazz dari Surabaya, Jakarta, Jogja, atau Malang ketika berangkat nonton Jazz Gunung di Pegunungan Tengger, Probolinggo minggu lalu? Atmosfir adem, jazz yang semarak dan comrade-gathering yang gayeng!
[caption id="attachment_251582" align="aligncenter" width="634" caption="Foto : www.jazzgunung.com"][/caption]
Jazz Gunung 2013 adalah perhelatan ke-5, pertama digelar tahun 2009. Konser jazz di ranah ‘ber-ac dingin yang tak bisa disetel jadi hangat’ itu digagas sejumlah orang yang peduli dunia seni, yakni Sigit Pramono, bankir dan fotografer pecinta Bromo dan musik jazz; Butet Kartaredjasa, seniman serba bisa; dan Djaduk Ferianto, seniman musik yang malang melintang di dunia musik internasional membawa dengan ciri Indonesia yang kental.
[caption id="attachment_251583" align="aligncenter" width="570" caption="Sierra Soetedjo menghangatkan penonton dengan vokal renyah (foto : Ulin Niam Yusron)"]
Jumat, 21 Juni 2013, pukul 14.00, panggung terbuka di kawasan hotel Java Banana, Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, dan dibuka oleh penampilan Jatilan, disusul Cantrek, dan Blambangan Art School Banyuwangi. Pada pukul 17.00 saat si cantik Sierra Soetedjo usai membawakan satu lagu, hujan mengguyur.Panggung berhenti sejenak dan Sierra kembali tampil pukul 19.00, saat langit mulai benderang dan bulan bercahaya di langit Pegunungan Tengger. Panggung dengan backdrop tancapan sekitar 300 batang bamboo yang ditata apik, pas dengan bayangan redup Gunung Pundak Lembu di latar belakang dan kabut yang sesekali menyalut panggung.
[caption id="attachment_251584" align="aligncenter" width="618" caption="Balawan an Steve Hogan (foto : Ulin Niam Yusron)"]
Setelah sekitar 8 lagu Sierra dengan iringan keyboard Idang Rasjidi yang rata-rata dikenal penonton, panggung dikuasai Balawan, gitaris unik bergelar ‘jari ajaib’, yang diramaikan oleh Batuan Ethnic Fusion dengan alat-alat musik tradisional Bali. Aksi Balawan dan Batuan Ethnic Fusion berhasil menyihir jamaan aljazziyah (nama yang dilontarkan oleh Butet Kertaradjasa, MC), dihebohkan juga dengan kehadiran Steve Hogan, bintang tamu Balawan asal San Francisco, Amerika, yang menghangatkan cabikan gitar Balawan dengan musik mulut (beatbox).
[caption id="attachment_251585" align="aligncenter" width="588" caption="Bandanaira Duo (foto : Ulin Niam Yusron)"]
Selepas Balawan, dua Bandanaira Duo (Lea Simanjuntak dan dan Irsa Destiwi) menghangatkan suasana kawasan panggung bersuhu 10 derajad Celsius dengan sejumlah lagu daerah dan nasional yang dikemas dalam cengkok jazz. Dan pada sesi pamungkas, Yovie Widianto Fusion berhasil pula membakar semangat bertahan di udara dingin sampai tengah malam.
[caption id="attachment_251586" align="aligncenter" width="537" caption="Yovie Widianto (Foto : Ulin Niam Yusron)"]
Sabtu, 22 Juni 2013, jam 3 sore kembali panggung dibuka dengan Jatilan, dilanjut oleh Tahez Komez Project, Kelompok Musik Etnik Kramat Madura dan Kulkul Band. Dibanding hari pertama, penonton jauh lebih banyak, tak menyisakan tempat duduk. Suhu udarapun melorok ke titik 8 derajad Celcius.
[caption id="attachment_251587" align="aligncenter" width="588" caption="Butet dan Djaduk (Foto : Ulin Niam Yusron)"]
Djaduk Ferianto dengan Ring of Fire Project kemudian menyusul lewat tampilan feat dengan Idang Rasjidi dan Jen Shyu, vokalis dan musisi gesek warga Amerika, berayah Taiwan dan beribu Timor Leste. Olah kolaborasi tiga musisi ini membuat panggung Jazz Gunung makin seru dan terhibur dengan ramuan beatbox session Idang Rasjidi. Pada sesi ini, Idang Rasjidi mengundang Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan RI, penonton yang juga seorang musisi, untuk unjuk kebolehan bermain. Kolaborasi Idang dan Gita mendapat aplaus gempar dari penonton.
[caption id="attachment_251588" align="aligncenter" width="630" caption="Idang Rasjidi dan Gita Wirjawan (foto : Ulin Niam Yusron)"]
Rieka Roslan & Band, yang tampil kemudian juga lumayan menghibur meski ia bolak-balik mengeluh hidungnya mampet karena pilek akibat cuaca dingin.
Di penghujung hari kedua itu, tampil Barry Likumahuwa Project, membawakan sekitar 10 utas lagu yang mengompori semangat penonton dalam suhu dingin yang menjadi-jadi.
Pertunjukan musik yang adem, seru, renyah, semarak dan menghibur, klop dengan tagline ‘Indahnya Jazz, Merdunya Gunung’. Begitulah kira-kira pendapat sekitar 500 penonton setia yang duduk di belahan Festival (tempat duduk balkon terbuat dari beton, harga tiket Rp 250.000 per hari atau Rp 400.000 per dua hari), dan VIP yang duduk di bangku-bangku kayu sejajar dengan panggung (harga tiket Rp 350.000 perhari atau Rp 500.000 per dua hari). Para penonton adalah kelompok-kelompok semua umur yang travelling bersama teman untuk tiga tujuan : ngadem, menikmati tontonan jazz bermutu dan berwisata ke Gunung Bromo.
[caption id="attachment_251589" align="aligncenter" width="441" caption="Barry Likumahuwa Project (Foto : Ulin Niam Yusron)"]
Yang menarik dari konser adem itu adalah kehadiran tiga MC (Butet Kartaradjasa, Alit dan Gundi) yang tampil cerdas di setiap interval sesi. Ketiganya sukses melontarkan panduan acara dan celetuk-celetuk segar beraroma plesetan dan komentar-komentar jenaka.
Butet bilang Jazz Gunung 2014 bakal diselenggarakan di tempat yang sama di bulan Juli 2014 setelah pemilu legislatif. Bila tak ingin ketinggalan perhelatan Jazz Gunung tahun depan, simak terus link www.jazzgunung.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H