Saya penggemar tiga hal : bahasa, wisata tas punggung (backpack), dan Kompasiana. Maka beta tulis artikel sederhana tentang pelancongan kantung punggung ini di Kompasiana dengan semungkin-mungkinnya memanfaatkan sinonim kosa kata bahasa Indonesia yang tak lazim dipakai. Umpamanya, saya gunakan kata ‘faedah’ sebagai pengganti ‘manfaat’; dan ‘tamasya’ sebagai pengganti ‘wisata’.
Biro penyedia layanan tamasya jamaknya menawarkan skema pelancongan terstruktur dari segi jenis angkutan yang dipakai, penginapan tempat bermalam, kedai langganan, dan tujuan-tujuan tamasya yang telah dimufakatkan di depan dengan peserta pelancongan berkelompok. Ini cocok bagi para pelancong pemula; mereka tak perlu was-was akan banyak ikhwal di lokasi wisata; semuanya sudah diatur penyelenggara wisata.
Teruntuk penggemar tamasya yang berhasrat mendulang lebih banyak pengalaman, model wisata seperti diuraikan di atas kurang bernas lantaran tidak menyediakan peluang pengalaman-pengalaman unik dan petualangan-petualangan seru dari lokasi tamasya yang dikunjungi.
Cobalah cermati kisah dua pelancong di bawah ini. Pelancong A dan B, dua-duanya asal Surabaya, baru saja kembali dari tamasya ke Jogja. Pelancong A berangkat dengan sekompok pelancong melalui biro perjalanan, sementara Pelancong B berekreasi dengan sejumlah sobat kental dengan cara tamasya kantung punggung. Pelancong A bertamasya dengan ikhtisar perjananan yang jelas, sementara Pelancong B bertolak dengan rencana ala kadarnya.
Manakala keduanya telah kembali ke Surabaya, berkisahlah mereka.
Pelancong A:
“Kami berangkat dari Surabaya naik bis malam berpendingin udara, semuanya 32 penumpang yang tak saling kenal. Kami singgah di sebuah restoran di daerah Madiun di mana kami memperoleh jatah makan dan kesempatan untuk berturas, pukul 1 malam. Hidangan paketan berupa semangkuk kecil nasi soto yang diciduk dari belanga tua dan sejumput nasi yang dikais dari periuk nasi, berikut segelas tes nan tak cukup manis. Setelah makan malam kami melanjutkan perjalanan, kembali terlelap lantaran tak ada yang bisa dilakukan. Mana bisa aku berbual-bual dengan seorang remaja tanggung di sebelahku yang sejak dari menit pertama masuk bis tak pernah lepas mata dan tangannya dari ponsel cerdasnya.
Setibanya di Jogja, kami langsung dibawa ke candi Borobudur untuk menikmati mentari terbit. Oh ya, kami sempat menunaikan shalat subuh di sebuah masjid besar di Muntilan sebelum menginjakkan kaki di kawasan Borobudur. Indah permai panorama manakala kami melayangkan pandangan ke seantero dataran dari puncak candi Borobudur. Sang surya yang perlahan naik di ufuk timur di antara perbukitan laksana penguasa bumi yang berbagi terang. Cercah-cercah rona cahaya laksana disematkan satu persatu ke jajaran tetumbuhan di bawah sana. Sayang disayang, saya tak bisa berbagi rasa suka cita ini dengan rekan seperjalanan lantaran tak saling kenal; walhasil, saya hanya mengabadikan gambar dan berkabar berita kepada handai-taulan pada kelompok obrolan Whatsapp. Moga-moga sedini itu sudah ada yang terjaga untuk menorehkan celetuk pada potret mentari terbit kiriman saya”
Dari candi Borobudur, bis melaju ke beberapa tempat, yang semuanya terasa amat singkat. Tak bisa saya tawar menawar waktu dengan pemandu manakala ada hal menarik hati yang ingin saya nikmati berlama-lama, atau bilamana ada kedai kudapan yang sajiannya tampak menggugah selera.
Pelancong B berkisah: