Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Deni (Novel Petualangan Remaja) : Episode 1

17 April 2011   10:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

DENI dimuat sebagai cerita bersambung pada harian Jawa Pos tahun 1986. Novel in mengisahkan kehidupan sekolah siswa SMP pada jaman itu, lengkap dengan petualangan seru berhadapan dengan sebuah kejahatan. Naskah aslinya saya tulis ketika saya hampir lulus SMP dalam 28 buku tulis, dan saya edarkan di kalangan teman. Saya baru mengetiknya di masa kuliah. 38% tokoh, lokasi dan peristiwa adalah betulan. Sisanya imajinasi belaka. Agar dekat dengan situasi sekarang, banyak hal saya sesuaikan. Semoga terhibur!

EPISODE 1

DENI SATU LIMA SATU SETENGAH

Dari nama dan rambutnya, kalian pasti mengira Deni itu cowok. Meski tebal, rambut Deni memang pendek dan lurus. Untung di bagian atas kening, ujung gugusan rambut itu bersedia berbelok sedikit ke kanan. Itupun cuma sedikit. Tapi itu saja sudah membuat ia tampak manis.

Umur Deni tidak jauh berbeda dengan kalian. Sekitar 15 tahun, boleh ditambah atau dikurangi kalau mau. Yang penting kalian tahu ia duduk di kelas 3 SMP. Nah, benar ‘kan tebakan kalian?

Pintar nggak sih si Deni ini? Sepertinya tidak. Soalnya, ia tidak pernah jadi bahan pembicaraan kalau kita omong-omong soal anak-anak pintar di SMP Harum Bunga Bangsa. Deni memang tidak terlalu pintar, malah terkesan agak malas, agak bandel dan selalu terlambat masuk sekolah. Lalu apa istimewanya Deni? Ah, itu nanti saja; kalian akan tahu sendiri. Oh ya, Deni selalu jalan kaki ke sekolah, meski sebetulnya ia bisa minta diantar mobil ke sekolah, sebab di rumah ada dua mobil dan sopir. Deni lebih suka berjalan kaki. Ini karena, menurutnya, pepohonan dan sinar mentari pagi di sepanjang jalan menuju ke sekolahnya enak sekali dinikmati, dan mengaktifkan vitamin D di dalam tubuh.

Jadi bagaimana sih anak ini?

Ya begitu itu dia. Makanya dia mesti diperkenalkan dulu pada kalian. Jadi kalau kalian kebetulan ada di Malang dan berjumpa dengan seorang gadis mungil berambut tebal lurus pendek, manis, dengan lesung pipi sedikit, itulah Deni Andriana. Satu lagi cirinya, ia suka tersenyum meskipun tak ada yang lucu, plus tas kulit (yang ia sebut kulit nyamuk) dan lengan baju yang digulung ke atas.

Pagi ini Deni berjalan santaiiiii banget, sesekali melirik seragam putih birunya yang menjadi layar bagi sorotan mentari pagi di sela pepohonan.

“Deni.......,” seutas suara terdengar dari belakang. Deni menoleh. Seorang gadis berambut coklat terang dan berkulit benderang, berhidung mancung, berbibir tipis dan mata kecoklatan berdiri tak sampai dua meter di belakangnya. Itu Joanne. Ia memang selalu teriak-teriak.

“Tumben jalan kaki?” tanya Deni tak kalah keras.

“Hush, amat keras,” jawab Joanne.

Keras amat,” ralat Deni.

“Ya, keras amat,” sambung Joanne de Karl, anak campuran Belanda-Indonesia itu, “Aku jalan kaki karena bannya kempis”

“Oo, anginnya lepas,” sela Deni.

“Angin? Angin apa?” Joanne bengong. Anak yang baru setahun di Indonesia itu jadi bingung dengan ulah bahasa Deni. “Aku tidak mengerti. Pakailah bahasa Indonesia yang baik dan terpuji,” ujar Joanne setengah memaksa. Deni kepingin ketawa.

“Angin lepas dari ban, sama dengan ban kempis. Itu ban sepeda motormu, bukan?”

“Ooo”

Keduanya tertawa. Mereka belum sadar halaman sekolah sepi. Pukul 07.20 saat itu.

“Kabar buruk, Joanne. Kita terlambat,” kata Deni tenang.

“Ya, te laat,” tukas Joanne pakai bahasa Belanda.

“Saat ini pelajaran olahraga. Teman-teman pasti berada di kamar ganti,” Deni menggamit lengan Joanne dan memilih jalan memutar ke jalan kecil di samping sekolah. Dari jalan itu Deni punya rencana mengetuk pintu Pak Mun, penjaga sekolah, dan masuk ke kamar ganti dari sana.

“Bagus! Pintu terobosan Pak Mun tidak terkunci. Ayo, Jo kita masuk.”

Joanne mengikuti Deni takut-takut. Tepat di bagian samping kelas mereka, Deni menjulurkan kepalanya ke jendela kelas.

“Sepi. Sekarang kita masukkan tas lewat jendela, sebelumnya ambil dulu pakaian olahraga dan...”

“Dan cepat masuk ke kantor Kepala Sekolah, sekarang juga,” seseorang melanjutkan suara Deni tiba-tiba. Ia muncul tidak diduga-duga dari kiri jendela.

Pak Burhanudin! pekik Deni dalam hati. Kepala Sekolah ini tentu merapat di dinding jendela saat Deni mengintip ke dalam tadi. Joanne menjadi lemas, pingin nangis. Pak Burhanudin melangkah keluar kelas menuju ruang kantornya.

“Kamu bikin gara-gara lagi,” suara Joanne tersendat. Tangisnya hampir meledak. Deni mengamati wajah Joanne.

“Hei... hei. Menangisnya nanti saja, ya. Ayo kita ke kantor Kepala Sekolah,” ajak Deni.

Joanne enggan melangkah. “Kita pasti dapat marah,” kata Joanne.

“Ya pasti. Mana pernah ada murid terlambat malah diberi permen karet,” jawab Deni, menyeret lengan Joanne.

“Kamu sih,” ujar Joanne.

“Ya, aku sih,” balas Deni dibuat-buat. Joanne makin merengut, tapi ikut juga melangkah ke kantor Kepala Sekolah.

Bagi Deni, dipanggil ke kantor Kepala Sekolah seperti ini bukan hal baru, dan bukan hal baru pula jika ia bakal dimarahi bersama Joanne, sebab keduanya memang kompak kalau terlambat. Tapi kali ini Joanne merasa tidak enak. Masak seminggu terlambat lebih dari satu kali, pikir Joanne. Pasti Pak Burhanudin makin sebal melihat tingkah mereka.

“Dalam satu minggu ini, terhitung dua kali kalian melakukan pelanggaran disiplin waktu,” Pak Burhanudin menyorotkan mata tajam pada Joanne dan Deni begitu duduk dengan takzim di depan Kepala Sekolah.

“Benar, Pak,” Deni memberanikan diri membari sahutan. Sementara Joanne memilih bungkam seribu, mungkin dua ribu bahasa.

“Jam berapa pastinya kalian berangkat dari rumah?” tanya Pak Burhanudin.

“Jam tujuh tepat, Pak,” sahut Deni lagi, agak lantang, sedikit senyum, menunjukkan dua lesung pipitnya.

Pak Burhanudin menatap Deni dengan bola mata sedikit bergerak-gerak, mencari kalimat yang tepat untuk menyudutkan Deni.

“Jam berapa sekolah dimulai?” tanya Pak Burhanudin lagi.

“Jam tujuh seperempat, Pak”

“Berapa waktu yang kau butuhkan untuk menempuh jarak dari rumahmu ke sekolah?”

“Tergantung, Pak”

“Baiklah, misalkan kau berjalan kaki,” Pak Burhanudin mulai tak sabar.

“Limabelas sampai dua puluh menit, Pak,”

“Nah, sekarang pukul tujuh tigalima. Kau terlambat antara limabelas sampai duapuluh menit. Minggu-minggu lalu kau punya alasan bermacam-macam, mulai mencari kotak pensil yang terjatuh, menolong nenek-nenek menyebrang jalan dan sebagainya. Sekarang bapak tidak ingin mendengar alasan-alasan lagi. Jika kamu selalu punya kegiatan lain dalam perjalanan ke sekolah, maka berangkat sekolah harus lebih pagi. Jangan berkomentar lagi. Tidak boleh terlambat semenitpun. Jika ini dilanggar lagi, bapak akan tulis surat pada orangtua kalian. Sekarang, kalian segera ikuti pelajaran olahraga,” Pak Burhanudin mengakhiri kalimat panjangnya dengan nada naik. Deni dan Joanne bergerak nyaris tanpa suara, kecuali suara Joanne yang takut-takut mengucapkan selamat pagi.

“Nasehatnya itu-itu saja,” celetuk Deni begitu agak jauh dari kantor Kepala Sekolah. “Sebagai Kepala Sekolah, Pak Burhanudin seharusnya punya banyak persediaan nasehat yang lebih kreatif, buat berjaga-jaga kalau terjadi hal-hal seperti kita alami baru saja.” Joanne termangu-mangu dibuatnya. Di Belanda, anak yang dipanggil ke kantor Kepala Sekolah pasti gemetaran dan tak banyak komentar.

Memasuki aula sekolah, Deni dan Joanne mengamati sekelompok murid-murid 3C, kelasnya, sedang berbaris mirip antrian di depan loket karcis bioskop. Di hadapan barisan tersedia sebuah alat pengukur tinggi dan penimbang berat badan. Di ururtan barisan terdepan, berdiri Ida Bagus Panjaitan. Ia anak yang memiliki orangtua yang Bhinneka Tunggal Ika; maksudnya ibunya dari Bali dan ayahnya dari Medan. Selanjutnya, kita sebut saja Bagus. Bagus bertubuh besar dan kuat, dan kata anak-anak, ia baik hati, dan suka menolong.

Di belakang Bagus, ada Ming Sen Kam. Yang ini sama sekali bukan warga negara Indonesia keturunan Tiongha. Nama sebenarnya adalah Achmadi. Berhubung ia kerap kali tidak masuk sekolah pada hari Kamis dan Senin, ditambah libur hari Minggu, maka ia diberi nama Ming Sen Kam, kependekan dari Minggu Senin Kamis.

Di belakang Ming Sen Kam berdiri Paul Matuli, yang memiliki banyak pengetahuan. Kabarnya di rumah ia mempunyai berbagai macam buku ensiklopedia, dan ia sangat rajin membaca koran. Cobalah tanya Paul di mana mengalir sungai Mekhong, apa nama ibukota Peru, siapa orang yang berhasil menaklukan Mount Everest pertama kali, apa nama mata uang Turki, kapan Tembok Besar Cina dibangun, siapa yang pertama kali menciptakan donat? Dijamin dia bisa menjawab dengan benar tanpa berpikir panjang.

Bagus, Ming Sen Kam dan Paul Matuli adalah sahabat-sahabat baik Deni dan Joanne. Melihat kedatangan Deni dan Joanne, ketiganya melambaikan tangan dengan suara cukup gaduh.

“Cepat bergabung dengan barisan!” teriak Pak Jayadi, guru olahraga. Pak Jayadi orangnya kurus, tapi selalu tampak lebih gemuk dari yang kalian duga. Itu karena seragam olahraga yang kedodoran.

“Senamnya sudah selesai?” tanya Joanne berdiri di belakang Savitri yang jangkung, lebih jangkung darpada Joanne.

“Hari ini tidak ada senam, diganti timbang badan dan ukur tinggi badan. Di depan itu alatnya,”

“Celaka. Jangan-jangan kita mau dijual kiloan oleh Pak Burhanudin,” ujar Deni. Anak-anak tertawa bebarengan. Pak Jayadi mendengar ini.

“Siapa yang suruh kalian bergurau?” bentak Pak Jayadi menghampiri mereka, tidak lupa menaikkan celana olahraga yang disebut training-pack itu.

“Tidak ada yang suruh, Pak, kami tertawa sukarela,” celetuk Deni sembarangan, diikuti riuh tawa rekan-rekannya. Pak Jayadi tahu ia jadi bahan tertawaan. Ia cepat menukas, “Sekali lagi bikin gaduh, saya perintahkan kalian berlari mengelilingi aula sepuluh kali,”

Deni dan kawan-kawannya serentak diam. Dan kegiatan timbang badan dan ukur tinggi badan kemudian berjalan tertib dan lancar.

Bosan menunggu giliran, Paul menoleh pada kawan-kawannya. “Kita taruhan, yuk,” ajaknya.

“Taruhan apa? Paling-paling main tebakan nama kantor berita dunia,” sergah Sen Kam.

“Kali ini lain. Kita main kontes. Ingin tahu aturan mainnya?” Paul menawarkan idenya.

“Begini, barang siapa yang tinggi badannya dikurangi berat badannya sama dengan dua kali jumlah murid perempuan dikurangi jumlah guru yang masuk hari ini dibagi dengan...”

“Pusing... pusing. Lebih baik makan pizza sambil nonton video daripada ikutan main kontes dengan rumus seperti itu,” protes Sen Kam.

“Ya. Teori matematika apa pula itu?” sambung Bagus tak kalah seru. Ini dengung protes teman-teman yang lain.

“Ssst. Begini saja,” Deni tiba-tiba menyela, “Siapa yang tinggi badannya paling ganjil berhak mendapat hadiah.”

“Apa hadiahnya?” sergah Joanne.

“Apa ya?” Deni bingung sendiri.

“Permen coklat. Aku punya permen coklat,” Nadia menawarkan bekal kebanggannya. Ini asyik. Tak biasanya Nadia sedermawan itu.

“Baiklah. Coklat. Permen coklat. Hadiah yang menarik sekali. Semua jadi ikut, ya?” Paul angkat bicara.

“Asyik! Ada 31 orang peserta kontes. Eh, apa nama istilah untuk peserta kontes?” tanya Sen Kam.

“Kontestan,” jawab Paul cepat.

“Dari sekian banyak kontestan calon perebut permen coklat, rasanya lidahku yang paling cocok,” ujar Bagus bersemangat.

“Huuuuuu,” teman-temannya meriuh, ramai sekali. Ini membuat Pak Jayadi beringas. Ia terpaksa menurunkan titahnya.

“Kalian semuanya, seusai timbang badan dan ukur tinggi badan harus berlari keliling aula sebanyak murid-murid yang gaduh,”

Deni menghitung dalam hati. Celaka. Ada 26 murid yang ikut-ikutan gaduh. Bisa kehabisan tenaga. Ia lalu menghampiri Pak Jayadi.

“Kata bapak tadi sepuluh kali,” protesnya.

“Tidak. Ini peraturan dadakan. Pokoknya... satu... dua... tiga,” Pak Jayadi menghitung jumlah siswa, “dua puluh enam. Dua puluh enam kali. Saya akan awasi kalian,” hardik Pak Jayadi bersungguh-sungguh. Dan kelihatannya, titah ini sukar ditawar lagi.

Jeffry, Rudi, Novita, Norma, Fiona, Ratna, Jenny, Savitri, Bagus, Paul, Joanne, Christiana, Mira, Albertus, Puguh, Slamet, Nugroho, Sawaludin, Ingrid, Ming Sen Kam, Nessia, Tatyana, Nadia, Amelia, Jakfar, Athanasius, Diah, dan Eggy rata-rata punya tinggi badan yang tak bisa disebut ganjil. Tinggi mereka berkisar seperti 152, 153, 154, 156, 157, 158 dan paling tinggi 164. Ketika sampai pada giliran Deni, alat ukur itu menunjukkan angka 151,5.

“Nah, dia yng paling ganjil. Hidup permen coklat,” seru Paul.

“Ya. Deni satulimsatu setengah. Mana perman coklatnya, cepat bagi,” Ming Sen Kam tergesa mencari Nadia. Tapi Nadia malah duduk di pojok aula, melahap permen coklatnya sendiri.

“Kok dimakan sendiri?” anak-anak makin riuh berebut mencubiti Nadia. Pak Jayadi mengamati mereka dengan gusar.

“Yang saya perintahkan berlari mengelilingi lapangan tadi siapa? Ayo cepat laksanakan,” teriaknya. Tawa dan gaduh anak-anak berhenti. Enggan sekali mereka membuat barisan.

“Lekas. Kalau malas-malasan, bisa saya kalikan dua jumlahnya,” ancam Pak Jayadi yang sudah kelewat disiplin itu. Anak-anak cepat bergerak dan mulai berlari kecil mengelilingi aula.

Selain Pak Jayadi yang mengawasi mereka dengan ketat, ternyata ada lima anak yang juga mengamati anak-anak dengan senyum senang. Mereka tak perlu lari keliling aula karena tak ikut bikin gaduh dan menolak untuk ikut tertawa dengan Deni dan teman-temannya. Maklum kelompok ini memang tak menyukai Deni dan kawan-kawannya. Mereka berdiri mengelilingi Jeffry, yang kelihatan menjadi pusat perhatian keempat teman lainnya.

Mereka suka cari perhatian. Sok sekali,” novita berbisik di telinga kiri Jeffry, sambil menyisir rambut dengan jari, mengibaskannnya dan mengatur rambut itu seperti tak ada habis-habisnya.

Sukurin, biar lari sampai mampus!” Rudi ikutan berbisik di telinga kanan Jeffry.

“Deni dan kawan-kawannya memang perlu hiburan seperti itu, biar tahu rasa,” ujar Norma mendekat ke Jeffry, kelihatannya supaya komentarnya didengar Jeffry. Kata anak-anak, Norma itu genit. Itu karena baju seragam bagianatas dibiarkannya terbuka satu kancing lebih rendah dan dengan rok yang beberapa centimeter lebih tinggi dibanding rok-rok temannya. Selain itu, suaranya juga betul-betul genit.

“Anak-anak norak begitu dilihatin terus, kayak kurang kerjaan aja” Fiona, yang kata teman-temannya mirip bintang sinetron, nimbrung pula. Semantara Jeffry, yang ditunggu-tunggu komentarnya, cuma menekuni anak-anak yang berlari mengitari aula dengan tatapan tajam ke arah Deni.

“Yuk kita cabut,” Jeffry kemudian memberi isyarat pada Rudi, Novita, Norma dan Fiona. Ke-empat teman setia ini langsung bergerak mengikuti Jeffry menghilang di balik pintu aula.

Sementara itu, di dalam aula, terdengar teriakan Pak Jayadi.

“Kurang 14 putaran. Ayo terus! Jangan berhenti! Jangan menoleh! Jangan banyak omong!”

bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun