Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Dalam Bahasa Tagalog, 'Sandal Ilang' Artinya 'Silakan Tunggu'

5 Januari 2012   05:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18 2511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13257524991331170530

[caption id="attachment_161448" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Sandal ilang (atau sandal hilang) bisa terdengar seperti sandali lang dalam bahasa Tagalog (Filipina), yang artinya adalah please wait alias ‘silakan tunggu’. Beberapa minggu belakangan ini kasus pencurian sandal milik seorang Briptu polisi telah masuk dalam pusaran cobaan wibawa hukum di Indonesia, dan sang bocah remaja 15 tahun, berinisialAAL, tak mendapat belas kasihan pengadilan, alias dinyatakan bersalah.

Seorang teman asing pelajar bahasa Indonesia yang mengikuti kasus pencurian sendal lewat media cetak dan internet berdecak kagum. “Indonesia hebat, sebuah negara yang berkomitmen menegakkan hukum, yang ditandai dengan konsistensi para pemegang tampuk yudikatif untuk menjaga kedaulatan hukum dan menegakkan kebenaran. Pengadilan atas kasus dugaan pencurian sepasang obyek sandal kasta rendah, yang berkonotasi dengan penggunaan alas kaki untuk aktivitas berjamban, dengan terdakwa seorang teenagers, berjalan lancar, cepat, tidak berbelit, tanpa hambatan dan dilaksanakan dengan semangat mengabdi hukum”

Tapi, sandali lang! Tunggu sebentar!

Teman itu juga bertanya, “ I wonder,” katanya, “Kok semangat seperti ini tak tampak pada proses pengadilan kasus-kasus yang melibatkan kriminalisasi obyek-obyek mentereng dalam bingkai korupsi bernilai miliaran dan terdakwa-terdakwa kelas langit?

Entahlah, saya tak punya kata-kata untuk menjawab pertanyaan rekan itu.

Saya hanya bilang bahwa sandal hilang, pencurian sandal, atau kehilangan sandal adalah ‘makanan’ sehari-hari bangsa ini. Sendal adalah barang sepele yang mudah dikuasai secara tidak sah (dicuri). Kalau tak percaya, begitu selesai menunaikan ibadah di rumah ibadah yang mengharuskan sendal diparkir di halaman, langsung saja pakai sepasang sandal terdekat dan melengganglah pergi, Anda sukses jadi maling sandal.

Sangat kecil kemungkinan pemilik sendal mendapatkan kembali sendalnya, apalagi kalau banyak kaki lain yang pakai sendal semirip dan sewarna sendal itu. Sebagai pemilik sendal yang kini harus jalan kaki balik ke kantor berjalan di aspal panas tanpa sendal, dijamin Anda bakal enggan dan tak akan punya waktu untuk meneliti beratus-ratus pasang kaki dan berusaha mengidentifikasi sendal Anda, untuk mendapatkannya kembali.

Soal kehilangan sendal, sepanjang hidup, saya telah kehilangan 7 pasang sendal; 5 di antaranya di pelataran rumah ibadah. Dari 7 pasang sendal yang hilang itu; 4 di antaranya sendal jepit seharga kira-kira Rp 6.000 sepasang. Dari 7 pasang sendal yang hilang itu, 1 pasang tidak benar-benar hilang, hanya ketukar; satu merah satu biru.

“Itukah sebabnya, sendal-sendal jepit itu kadang-kadang diukir inisial nama pemiliknya?” kata teman asing itu. “Dan itukah sebabnya di tempat-tempat ibadah yang mengharuskan orang lepas alas kaki, harus ada tempat penitipan sendal atau sepatu?”

“Benar!” kata saya.

Teman bule itu garuk-garuk kepala. Maklum, di negaranya, yang ia tahu hanya penitipan anak atau penitipan barang berharga. Selain itu, ia tak pernah lihat sendal ditulisi atau diukiri inisial pemiliknya.

Sandali lang, tunggu sebentar,” kata dia lagi. “Jika memang sendal hilang, pencurian sendal atau kehilangan sendal ini sudah menjadi budaya sehari-hari di negeri ini, kenapa hakim di pengadilan kasus AAL tidak punya empati, simpati dan pertimbangan-pertimbangan budaya sebelum menjatuhkan punishment yang tak kenal ampun dan belas kasihan pada bocah itu?”

Saya pandang wajah teman itu, dan saya bilang, “Sorry, pren, raut hukum di negeri ini is too complicated to discuss in a single and simple sentence,” kataku sok.

Dan teman itu, setelah tengak-tengok ke beranda rumahku, berteriak lagi pada saya.

“Sandalku ilang!” katanya.

“Lo, emang tadi kamu taruh di mana?” tanya saya.

“Di dekat keset. Kan masuk rumahmu harus lepas sendal?”

Kami beranjak memeriksa ke beranda. Sepasang sendal kulit mahal milik teman itu telah raib; sebagai gantinya, bertahtalah sepasang sendal jepit usang berwarna biru kusam.

“Berbahagialah teman. Kau kehilangan sendal mahalmu, tapi kini telah ada ganti sendal jepit yang jadi trending topic media Indonesia belakangan ini. Welcome to Indonesia, again!” kataku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun