[caption id="attachment_367770" align="aligncenter" width="538" caption="Juliana kecil dan Rebekah, mbakyunya (foto koleksi Juliana DeLion)"][/caption]
Sebuah portal netizen di Surabaya menggelar lomba menulis artikel bertema ‘Bangsaku Sahabatku’. Puluhan artikel peserta lomba masuk ke Admin portal, salah satu di antaranya artikel berjudul ‘Cermin Dimasa Senja Mbok, Mbok, Mbok’. Judul artikel ini sendiri sudah unik, dan ketika artikel dibaca, makin tampak keunikannya.
Artikel narasi ini ditulis dengan pronoma orang pertama dalam bahasa Indonesia dengan sangat sedikit kesalahaan ejaan, dan diselipi kata-kata berbahasa Jawa. Narasi bertutur tentang seorang gadis Amerika (kelahiran 1960) yang tinggal bersama seluruh anggota keluarga di Nongkojajar (Pasuruan) dan Lawang (Malang) dari tahun 1965 sampai 1975. Pada saat menginjakkan kaki pertama kali di Nongkojajar, ia berusia 5 tahun, dan dengan demikian, ia menghabiskan masa kecil dan masa bermain dengan teman-teman sekampung. Karena bergaul dengan bocah-bocah setempat yang berbahasa Jawa, jadilah bahasa Jawa bahwa pergaulan sehari-hari si gadis bule kecil. Ia hanya bicara bahasa Inggris dengan anggota keluarganya di rumah.
Pindah dari Nongkojajar ke Lawang (sekitar 25 kilometer), si bule kecil masuk SMP Katholik St Agnes yang saat itu adalah SMP elit di kota kecil Lawang. Di kelas ia jadi sering bahan tertawaan karena bahasa Jawa-nya yang medhok dan terkesan ‘ndeso’.
Bagi si gadis bule kecil, Nongkojajar dan Lawang adalah bagian dari masa kecil yang indah. Ia berangkat ke sekolah memintas jalan lewat persawahan, dan membaca cerita-cerita silat Asmaraman Kho Ping Hoo yang ia pinjam dari teman sampai larut malam. Saking terpengaruhnya ia oleh kehebatan pendekar wanita dalam cerita-cerita silat itu, di Lawang ia belajar bela diri Judo. Walhasil, ia jago lompat sana sini dari satu batu ke batu lain di jalan-jalan kota Lawang yang saat ini masih banyak berbatuan atau ketika membantu momong anak tetangga main di bebatuan di sungai.
Si gadis kecil kembali ke negaranya pada tahun 1975, melanjutkan sekolah, kuliah, menikah dan sekarang bekerja sebagai juru rawat dan petani di Newberry, Florida. Bahasa dan adat Jawa terus melekat di benaknya. Sering ia mengomentari teman sekerja di rumah sakit dengan kata-kata ‘Mbok, mbok mbok” (kurang lebih artinya ‘wah wah, kok gitu’) atau ‘yak opo seh?” kalau teman itu melakukan sesuatu yang kurang benar. Teman sekerja bilang, “Kok bahasamu kayak suara ayam?”. Tapi belakangan rekan-rekan kerjanya malah suka pakai ‘Mbok, mbok, mbok’. Dalam artikel itu, perempuan Amerika itu juga bilang bahasa Jawa sangat ekspresif dan tak bisa digantikan dengan ucapan serupa dalam bahasa Inggris. Kalau ia sedang melarang anaknya melakukan sesuatu, ia bilang ‘hayo!’.
‘’Hayo’ lebih mantap dan pas daripada ‘Stop it’”, kata si perempuan bule itu dalam artikelnya.
Artikel selengkapnya bisa dibaca di sini.
Artikel naratif itu ditulis oleh Juliana Stube atau Juliana Regina DeLion seperti yang ia gunakan di Facebook. Juliana dan keluarga mulai tinggal di Lawang ketika sang ayah mendirikan Lawang Bible Training Center yang adalah cabang dari Gereja Jalan Suci dan Yayasan Pekabaran Jalan Suci, bagian dari organisasi Kristen, yang sudah ada di beberapa daerah lain.
Saya kenal Juliana karena dia tinggal sekampung dengan saya. Ia dikenal pula sebagai gadis bule cilik yang ramah dengan rambut lurus dan kacamata tebal. Sehari-hari, sepulang sekolah, ia main dengan teman-teman sebaya; engklek atau lompat tali; talinya terbuat dari rangkaian karet gelang. Komunikasi dengan teman-teman setempat full bahasa Jawa dialek Malangan. Yang paling saya ingat dari Juliana adalah saat ia berkelahi dengan seorang anak laki-laki yang lebih besar. Anak itu sempat menarik kacamata Juliana, dan entah bagaimana Juliana bisa membuat anak ini tersungkur ke selokan dan menangis meraung-raung. Mungkin karena si bule kecil ini belajar Judo itu ya?
[caption id="attachment_367768" align="aligncenter" width="600" caption="Juliana (memeluk anjing), dan keluarganya di Nongkojajar, tahun 1970-an (Foto koleksi Juliana DeLion)"]
Ia dan keluarganya terbang balik ke Amerika pada tahun 1975, dan saya tak bertemu Juliana lagi. Saya ketemu Juliana kembali pada awal tahun 2015 (setelah empat puluh tahun) secara tidak sengaja, berkat Kompasiana. Ceritanya begini : seorang keponakan Juliana, bernama Stacy Stube kebetulan sedang browsing dan menemukan nama Juliana Stube sebagai tokoh dalam cerita fiksi Kompasiana ‘The Bule Girl Who Refused To Speak English’ yang saya tulis.
[caption id="attachment_367771" align="aligncenter" width="540" caption="Juliana berbaju hijau di bandara Juanda (foto koleksi Juliana DeLion)"]
Dalam cerita itu, saya menggambarkan Juliana sebagai gadis Amerika yang tak mau diajak bicara bahasa Inggris karena ia hanya mau bicara bahasa Jawa. Stacy Stube menemukan akun Facebook saya dan minta jadi teman. Stacy bertanya, “How do you know my auntie?”. Stacy kemudian memberi saya akun Facebook Juliana. Itulah cerita saya bisa ketemuan lagi teman lama yang hilang. Saya juga minta diundang jadi teman Facebook Andrew Stube, kakak Juliana yang juga adalah ayah Stacy. Dari komentar-komentar obrolan di Facebook mereka, saya tahu anggota keluarga bule Amerika ini –dan rekan-rekan Facebook di Indonesia-- bertukar komentar pakai bahasa Jawa dan Indonesia.
Oh ya, artikel Juliana Stube untuk lomba itu, ditulis dalam bahasa Indonesia yang mengalir dan renyah, yang bisa bisa mengalahkan karya peserta lomba lain yang adalah orang Indonesia. “Kalau tulisan lain berputar-putar pada masalah keindahan alam, tulisan Juliana justru menekankan bagaimana persahabatan dia dengan warga Indonesia yang tak pernah surut di hatinya. Ia sangat bangga pada adat Jawa, pada Indonesia, tempat dia melewatkan sepuluh tahun masa kecil dan remaja. Itu bisa dilihat dari kata-kata yang ia pilih dan sampaikan, dalam bahasa Indonesia,” ujar Uni Kartika Sari, Admin Pocimedia, penyelenggara lomba.
Bagi Juliana, hadiah lomba yang tak lebih dari USD 25 sama sekali bukan masalah. Menyuarakan kerinduan dan nostalgia kampung halaman masa kecil dan refleksinya di masa kini, dalam bahasa Indonesia, di media sosial Indonesia, membuatnya berbunga-bunga.
Artikel narasi Juliana menarik perhatian saya sebagai penggemar kajian bahasa, terutama dalam hal pemertahanan bahasa, yakni bagaimana sebuah bahasa yang digunakan di masa kecil bisa terus dikuasai sampai pada kehidupan dewasa meskipun yang bersangkutan saat ini tinggal dalam masyarakat bahasa lain. Saya mewawancara Juliana lewat message inbox Facebook tentang bagaimana ia masih bisa fasih berbicara bahasa Jawa dan Indonesia setelah empat puluh tahun meninggalkan Indonesia.
“Saya bisa menulis dalam bahasa Indonesia jauh lebih baik daripada dalam bahasa Inggris. Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia itu bahasa pertama saya. Meski saya bule Amerika, saya baru ngerti betul bahasa Inggris pada usia 15 tahun, waktu balik ke Amerika,” kata Juliana. Ia menambahkan, “Bahasa itu seperti wewangian. Sekali kita pernah cium aroma itu, wewangian ia akan terus melekat dalam benak kita. Mungkin sesekali kita lupa dan sulit mulai menggunakan bahasa yang pernah kita kenal puluhan tahun lalu. Namun, sebentar kemudian kita bisa ingat kembali, dan semuanya yang pernah terekam di otak akan meluncur lewat mulut”
[caption id="attachment_367828" align="aligncenter" width="600" caption="Juliana (kiri) sekarang dan putrinya. Foto koleksi Juliana DeLion."]
“Iki foto-foto jadul-ku. Tapi wis burek banget. Fotoku sing ndodok iku nok Kendedes, lek gak salah,” demikian tulis Juliana yang mengiringi kiriman foto lama dia lewat Facebook. Asal tahu, ‘ndodok’ adalah bahasa Jawa untuk ‘berjongkok’, dan Kendedes adalah nama wisata kolam renang di Singosari, dekat Lawang.
Sebenarnya Juliana sangat kangen Indonesia, ingin mengenang masa kecil yang riang, rindu pakai kebaya perayaan Hari Kartini. Ia tak bisa lupa bagaimana teman-teman main sebaya di Nongkojajar dan Lawang tak pernah menganggapnya sebagai bule, melainkan sesama teman orang Jawa. Juliana merasa beruntung ada media sosial semacam Facebook yang bisa membuatnya tetap terhubung dengan rekan-rekan lama. Ia suka dikirimi foto-foto unik dari Indonesia (misalnya foto penjual krupuk dengan krupuk dalam plastik menggunung di boncengan sepeda motor), suka buka-buka foto kawasan Bromo (Nongkojajar) di mana ia menghabiskan lima tahun tahun pertama di Indonesia. Bagi Juliana, Indonesia adalah bangsanya sendiri, sahabat masa kecil yang terus jadi sahabat hati sampai kini.
Oh ya, Juliana juga seorang Kompasianer. Ini dia http://www.kompasiana.com/www.DeLionOasis. Sayang ia belum menulis di Kompasiana.
Kalau suatu saat ia berkunjung ke Indonesia, pasti saya ajak main engklek seperti dulu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H