Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Barudak Faresbukan

22 Februari 2015   21:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Meski telah menghabiskan 45 tahun hidup di Jawa, saya melewatkan masa kecil di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, sejak lahir. Jadi bahasa pertama saya (mother tongue) adalah Sunda. Penguasaan bahasa Sunda saya saat ini, boleh dibilang tinggal 25%, dan hanya mampu menjadi pendengar pasif, sesekali aktif untuk percakapan mudah. Kesempatan bicara bahasa Sunda dalam situasi nyata hanya bisa saya dapatkan manakala saya pulang kampung, atau ngobrol dengan tukang batagor asal Ciamis yang suka lewat depan rumah saya di Surabaya.

Saya amat menyukai bahasa Sunda, yang digunakan oleh 38 juta penutur itu, karena bagi saya, bahasa Sunda memiliki kosa kata yang adem dan enak di dengar. Lihatlah, ada japati (buru dara), lami (lama), karunya (kasihan), palih (sebelah), dan sebagainya. Kosakata bahasa Sunda ternyata juga punya kemiripan dengan kosakata bahasa –bahasa Eropa, misalnya pare (padi), pareum (padam), pageto (lusa), lieur (pusing), babari (mudah), sararea (semuanya), hoream (enggan), dinten (hari), artos (uang); dan ada yang mirip pula dengan bunyi bahasa Jepang, seperti kataji (kagum), hamperu (empedu), kacida (terlihat).

Yang amat menarik hati, bagi saya yang peminat bahasa ini, adalah cara bahasa Sunda mengungkapkan benda-benda jamak atau kata-kata yang berasosiasi jamak. Kalau bahasa Jawa akan mengulang kata untuk menyatakan jamak (misalnya uwong-uwong {orang-orang}, arek-arek {anak-anak}), atau bahasa Madura yang mengulang suku kata akhir (reng-oreng {orang-orang}, nak-kanak {anak-anak), maka bahasa Sunda punya cara tersendiri yang unik.

Penjamakan kata dalam bahasa Sunda melanda hampir semua jenis kata dengan menyisipkan ‘ar’ atau ‘al’ di depan atau tengah kata.

Mari kita mulai dengan kata benda : budak (anak)--barudak (anak-anak), sendok (sendok)—sarendok (sendok-sendok).

Penjamakan kata kerja digunakan untuk menyatakan suatu pekerjaan atau keadaan yang dilakukan atau dialami oleh lebih dari satu orang. Ini contohnya : indit (berangkat)—arindit (semuanya/pada berangkat), dahar (makan)---dalahar (semuanya/pada makan), calik (duduk)—caralik (semuanya/pada duduk). Jadi, kita bisa mendapati seorang ibu berkata demikian pada sejumlah anak : Sok, barudak kadarieu heula, caralik didieu, dalahar saencana arindit (yuk, anak-anak, kalian ke sini dulu, dudukah di sini, pada makan sebelum pada berangkat). Catatan : kadarieu adalah bentuk jamak dari kadieu (ke sini)

Penjamakan kata sifat juga seru dan menggelitik, misalnya : hese (sulit)—hararese (serba sulit), ateul (gatal)—arateul (gatal semua), alus (bagus)—aralus (bagus-bagus), beureum (merah)—bareureum (merah-merah), koneng (kuning)—karoneng (kuning-kuning), bodas (putih)—barodas (putih-putih), bageur (baik hati)—balageur (pada baik hati), geulis (cantik)—gareulis (cantik-cantik). Jadi, ‘mojang Priangan teh gareulis, barodas, balageur’ artinya adalah ‘perempuan Priangan itu cantik-cantik, putih-putih, baik-baik’

Lebih menarik lagi, kata benda akan lebih leluasa mendapatkan sentuhan jamak bila digunakan dengan kata kerja. (Pergi) ke pasar adalah ka pasar. Tapi kalau yang pergi banyak, akan jadi ka palasar. Kalau Anda mengajak banyar orang untuk pergi ke pasar, Anda bisa bilang, ‘hayu ka palasar’ (ayo bersama-sama ke pasar).

Mari kita simak contoh lain. Pakai topi adalah ditopian. Kalau jamak jadi ditaropian. Contohnya : barudak ka palasar ditaropian (anak-anak ke pasar pada pakai topi).

Hebohnya lagi, bentuk jamak juga bisa digunakan ketika kita menawarkan barang pada banyak orang. Itulah sebabnya, penjual barang di pasar, di stasiun kereta api, di kampung-kampung akan berteriak “ “barade…….” Yang artinya ‘ada yang pada mau?’, dari kata ‘bade’ (mau).

Nah, sekarang Anda mengerti kenapa penjual tahu berseru : ‘tarahu….tarahu’ , atau penjual mangga akan berseru ‘baruah….baruah’.

Tak sampai di situ, ternyata nama tempat atau kotapun mendapatkan perlakuan yang sama. Ibu saya yang asli orang Singaparna, kalau ngajak anak-anaknya jalan-jalan ke Tasikmalaya, biasa bilang, ‘hayu urang ka Tarasik!”.

Namun demikian, dari pengamatan saya, tak semua kata bisa dijamakkan dengan meteda penambahan/penyisipan ‘ar/al’. Kata-kata yang terdiri dari satu suku kata tidak pernah terdengar dijamakkan, misalnya tas, tes, bir, bus.

Bagaimana dengan kata-kata yang berasal dari bahasa asing atau kata-kata baru yang mengiringi maraknya dunia media sosial? Ternyata kata-kata asing sangat mungkin pula dijamakkan. Saya pernah bertanya pada seorang teman begini, “Barudak di mana?” Dan teman saya itu menjawah, “Tah, barudak keur faresbukan’ (tuh anak-anak sedang main facebook). Bukan main lenturnya metode penjamakan bahasa Sunda ini! Makin besar minat saya untuk belajar ulang bahasa Sunda!

Ulah harilap, nya! Upami garaduh artikel anu aralus mangga dikarompasianakeun! Tararengkyu!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun