Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

70 Hari Setelah Hilang, Pesawat dan Penumpangnya Ditemukan

12 Maret 2014   22:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 3879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

21 Desember 1972. Paez Vilaro, pelukis tenar Uruguay sedang menunggu pesawat di San Fernando, Cili, yang akan menerbangkannya pulang untuk merayakan natal bersama keluaga di Motevideo, Uruguay.Ia menyembunyikan seekor anjing kecil di balik jaketnya, anak anjing pemberian seorang teman yang akan dia bawa pulang lintas negara ke Uruguay.

Tiba-tiba terdengar pengumuman di pengeras suara, “Ini polisi internasional. Panggilan untuk Tuan Paez Vilaro. Tuan Paez Vilaro harap menghadap ke kantor polisi”

Vilaro sedikit gemetar. Ia pikir pasti polisi tahu ia bakal menyelundupkan seekor anak anjing. Ia digiring untuk bertemu komandan polisi di kantor polisi bandara San Fernando.

Di luar dugaan, komandan polisi menyambutnya ramah, “Ada telepon untuk Anda,” kata komandan polisi. Vilaro menerim gagang telepon. Itu telepon dari Komandan Angkatan Darat Cili. Di telepon terdengar suara, “Komandan Massa di sini. Saya punya kabar gembira untuk Anda. Kami baru mendapatkan pesan bahwa dua anak muda yang hilang bersama seluruh penumpang dalam penerbangan pesawat 70 hari lalu telah ditemukan!”

Air mata Vilaro menetes. Apakah putranya, Carlitoz Paez termasuk di antara dua anak muda itu?

Tadinya, hari itu, Vilaro memutuskan kembali ke Uruguay setelah habis kesebaran menunggu berita hilangnya pesawat terbang Angkatan Udara Uruguay 571 yang mengangkut putranya dan 39 penumpang lain dalam perjalanan dari Motivideo, Uruguay ke Santiago di Cili.

Vilaro bergegas ke tempat ditemukannya dua anak muda itu. Ia kembali sedih karena yang ia lihat adalah Fernando Farrado dan Roberto Canessa. “Jangan sedih, tuan Vilaro. Putramu, Carlitoz, selamat bersama 14 penumpang yang selamat,” kata Canessa.

“Di mana dia, anakku?” tanya Vilaro.

“Masih di tempat jatuhnya pesawat di pegunungan Andes, sekitar 100 kilometer dari sini,” jawab Fernando.

Pesawat Angkatan Udara Uruguay nomor penerbangan 571 yang mengangkut 40 penumpan dan 5 awak pesawat dinyatakan hilang pada tanggal 13 Oktober 1972 dalam penerbangan dari Motivideo ke Santiago di Cili. Pesawat itu disewa oleh 15 pemuda pemain rugby yang akan bertanding di Santiago. Agar bisa lebih murah bayar patungan sewa pesawat, sisa 25 bangku mereka jual kepada keluarga dan teman-teman. Masing-masing orang bayar US$ 40. Di dalam pesawat, ada pasangan suami istri baru menikah, ada sepasang suami istri dokter, ada ibu dan kakak perempuan Fernando.

Jarak 900 kilometer dari Motivideo ke Santiago yang harusnya ditempuh pesawat jenis Fairchild F-227 dalam 4 jam itu tak terselesaikan. Pesawat itu harusnya mampu terbang sampai ketinggian 22.500 kaki dan harus melewati puluhan puncak gunung di pegunungan Andes. Ternyata pesawat tak mampu naik ketika melewati Planchon Pass di wilayah Cili dan menabrak gunung. 17 Penumpang termasuk pilot dan ko-pilot, tewas seketika; 12 penumpang yang lain tewas karena tak mendapatkan perawatan untuk luka-luka berat meraka, dan karena kena hempasan avalanche (runtuhan salju) pada suatu malam. Tak ada dokter dalam pesawat itu, kecuali Zerbino, mahasiswa semester dua fakultas kedokteran. Pesawat tak bisa ditemukan karena jatuh di lembah di antara kaki-kaki pegunungan yang berselimut salju tebal. Pesawat pencari dan tim pencari darat dari Uruguay dan Cili tak bisa menemukan para korban. Seringkali pencarian juga harus dihentikan karena cuaca buruk.

Carlitoz Paez sedih bukan alang kepalang mendengar dari radio yang mereka punya bahwa pencarian akhirnya dihentikan. Kini mereka harus hidup sendiri dalam dinginnya salju pegunungan dan tidak tersedianya makanan. Semula sejumlah pemuda mencoba mencari jalan keluar dari pegunungan itu untuk mencari bantuan atau setidaknya mencaribaterai pesawat untuk menghidupkan alat komunikasi di kokpit pilot. Tetapi alam yang ganas dan tak tersedianya makanan telah melumpuhkan mereka. Mereka hanya menemukan baterai pesawat di reruntuhan ekor pesawat beberapa kilometer dari lokasi jatuhnya pesawat. Baterai itu ternyata sudah rusak.

Berhari-hari tak makan dan hanya minum air dari hasil pencairan salju akhirnya memaksa mereka untuk melakukan sesuatu agar tetap hidup, yaknimakan makanan yang tersedia. Adalah Fernando Parrado yang kemudian mengusulkan agar mereka makan daging korban pesawat yang sudah tewas yang mereka kuburkan seadanya di bawah tumpukan salju. Semula semua orang yang selamat menolak makan jasad rekan dan kerabat sendiri. Tapi, kegigihan mereka untuk bertahanh hidup tak member mereka banyak pilihan.

“Jasad manusia ini kini adalah karkas, daging. Mudah-mudahan Tuhan mengijinkan kita makan daging ini dan mengampuni kita karena melalukan hal yang tidak pantas ini,” demikian kata Fernando. Dan, satu-persatu dari survivor ini mulia menyayat daging dengan pecahan kaca, dan memanaskannya di atas lempengan logam di bawah sinar matahari untuk memasaknya.

Berbekal daging ini, Fernando Parrado dan Roberto Canessa mulai melakukan perjalanan melintasi pegunungan untuk mencari bantuan, meninggalkan 14 rekannya di pegunungan itu, menembus berbagai rintangan alam. Setelah 12 hari hari berjalan, mereka sampai di sebuah sungai yang kanan-kirinya ditumbuhi rumput segar. Tahulah mereka perjalanan itu akan segera berakhir. Di seberang sungai mereka melihat dua orangpetugas patrol hutan. Mereka berbicara pada petugas patrol itu dan menyebutkan mereka adalah korban pesawat hilang yang selama ini dicari-cari. Fernando dan Roberto langsung mengubur sisa daging yang mereka bawa dan mulai melahap bekal roti, daging sapi dan kopi dua petugas patrol hutan itu. Seorang petugas patrol hutan dikirim ke kantor polisi membawa pesan yang ditulis Fernando pada secarik kertas. Hari itu, Kamis 21 Desember 1972, 70 hari setelah jatuhnya pesawat mereka.

Sehari kemudian, Fernando Parrado ikut terbang dengan pesawat penyelamat, untuk menunjukkan lokasi jatuhnya pesawat. Satu pesawat lain diterbangkan khusus untuk menjatuhkan bahan-bahan makanan untuk para korban. Korban selamat diangkut secara bertahap ke rumah sakit terdekat.

Kisah nyata tragis ini kemudian ditulis oleh Piers Paul Read berdasarkan wawancara dengan Carlitoz, Canessa dan Fernando dan sejumlah korban selamat lain. Buku Paul berjudul “Alive, the Story of the Andes Survivor” kemudian juga difilmkan (1993) dengan judul Alive. Aktor Ethan Hawk berperan sebagai Fernando Parrado, Josh Hamilton berperan sebagai Roberto Canessa dan Bruce Ramsay sebagai Carlitoz Paez.

Kehidupan sekembalinya mereka ke keluarga masing-masing setelah 70 hari hilang bukan merupakan hal mudah, terutama dalam menghadapi publik yang mengutuk mereka karena makan daging rekan yang tewas. Konon kabarnya mereka kemudian harus tinggal di sebuah perkampungan khusus dan terus mendapatkan pendampingan konsultasi dari ahli psikologi agar mereka tetap bisa bertahan dengan serangan psiko-sosial yang mereka terima. Mereka juga sepakat untuk tidak pernah mengatakan bagian tubuh siapa yang pernah mereka telan, dan sepakat untuk tidak bicara tentang bagaimana mereka makan.

Kisah tragis dan dramatis di atasyang pasti menyiratkan pesan bahwa bagi Tuhan, tak ada yang tak mungkin. Pesawat terbang yang telah hilang dan telah dihentikan pencariannya, ditemukan setelah 70 hari, dengan sejumlah korban yang selamat. Bisa jadi itu karena Paez Vilaro, yang diceritakan di awal tulisan ini, tak kunjung henti berdoa dan mencari. Vilaro, yang kini almarhum, wafat pada usia 90 tahun, selama pencarian pesawat itu dijuluki sebagai ‘madman’, orang sinting yang mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin.

Doa Vilaro terkabul. Ia bertemu lagi dengan putranya, Carlitoz Paez, korban pesawat itu karena ia percaya Tuhan memberinya kegigihan dan keyakinan bahwa ia akan bertemu lagi dengan putra kesayangan itu.

Marilah kita berdoa, agar hal yang sama terjadi pada korban pesawat Malaysia Airlines MH 370 yang hilang di atas perairan Vietnam dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Beijing tanggal 8 Maret 2014 dini hari. Kita berharap seluruh penumpang bisa ditemukan dalam keadaan selamat. Seperti kata Fernando Parrado dalam film itu, “Pray. It gives me hope. No matter how hard life can be, there is always hope”

Video dokumentari kisah ALIVE ada di sini

Sumber :

Buku ‘Alive The Story of Andes Survivor by Piers Paul Read, Oxford University Press, 1974’.

Film ‘Alive, Based On A True Story’ Miramax, produser : Robert Watts dan Kathleen Kennedy

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun