Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenapa Perlu Interpreter Saat Menyimak Pidato Raja Salman?

4 Maret 2017   12:44 Diperbarui: 5 Maret 2017   18:00 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Interpreter's Booth (www.saokhueconsult.com.vn)

Kalau pembicara berbahasa Indonesia berpidato, interpreter akan mendengar isi pidato setelah memencet tombol 3 di perangkatnya, dan ia langsung alih bahasa ke bahasa Arab. Audiens yang ingin simak isi pidato dalam bahasa Arab, tinggal pencet tombol 1 yang ingin dengar versi Inggris tekan tombol 2.  Rekan interpreter Inggris punya dua pilihan : kalau ia jago bahasa Indonesia, ia bisa langsung terjemahkan ke bahasa Inggris. Kalau ia kebetulan hanya bisa Inggris dan Arab, maka ia memencet tombol 1 (bahasa Arab, yang merupakan hasil terjemahan interpreter Indonesia ke dalam bahasa Arab), dan baru alihbahasa ke dalam bahasa Inggris. Bila peralihan bahasa dari bahasa Indonesia ke Arab sudah salah, maka peralihan dari Arab ke Inggris juga pasti ikut salah.

Apakah ada jeda antara bahasa sumber dan bahasa sasaran? Sebenarnya ada, dan ini tergantung dari kepiawaian dan kecepatan kerja interpreter; makin ahli sang interpreter, makin kecil jedanya. Jeda juga akan lebih panjang bila misalnya pidato bahasa Arab harus melalui bahasa Inggris dulu sebelum ke Indonesia. Ini terutama bila tidak tersedia interpreter yang mahir tiga bahasa sekaligus.

KENDALA-KENDALA ALIHBAHASA

Masing-masing consecutive interpretation dan simultaneous interpretation punya kendala, meski kendala di bidang simultaneous interpretation lebih banyak dan beragam. Consecutive interpretation memerlukan waktu dua kali lipat dari durasi pidato yang seharusnya karena harus bicara gantian antara pembicara dan interpreter.

Secara umum, dalam dua jenis pengalihbahasaan itu, kendala akan muncul pada pidato-pidato mendadak, karena biasanya tidak tersedia teks persiapan, dan tuturan lisan pembicara akan cenerung terpengaruh oleh gaya bahasa lisan dan kurang terstruktur yang membuat interpreter harus bekerja keras untuk mendengar tuturan bahasa sumber dan menerjemahkan secara benar dalam bahasa sasaran, dan jenis-jenis kendala non-teknis lain. Dari pengalaman sebagai interpreter Indonesia-Inggris, inilah di antara kendalanya : (1) dialek penutur bahasa sumber (misalnya American English, British English, Australian English, African English), (2) kecepatan bicara, (3) aksen, intonasi, pelafalan-- bayangkan pembicara India yang berbicara Inggris, bilang ‘double’ jadi ‘dobol’, (3) penggunakan idiom dan peribahasa penutur bahasa sumber, dan (4) penggunaan angka-angka, misalnya ‘14.567.813 di tahun 2015 yang meningkat menjadi 16.897.001 di tahun 2016’ yang berpotensi salah sebut.

Kendala tersebut akan makin sulit diatasi pada model simultaneous interpretation. Saya pernah mati kutu dan mati gaya ketika harus mengalihbahasakan secara simultaneoustanpa teks dari seorang pembicara bahasa Indonesia yang menjelaskan nomor-nomor undang-undang dan sekian puluh perubahannya melalui layar LCD di depan yang tidak bisa jelas saya lihat dari belakang karena saya lupa bawa teropong yang harusnya membantu saya melihat angka yang dipaparkan di layar LCD.

Selain itu, kerja interpreting simultan juga bisa bikin otak cepat lelah, karena harus mendengar dan bicara sekaligus, dan sementara berbicara kita harus mendengar pembicaraan berikutnya. Itulah sebabnya, selalu tersedia paling tidak dua interpreter untuk Inggris-Indonesia, misalnya. Biasanya kualitas alihbahasa akan kedodoran dalam waktu sepuluh menit, dan itulah saatnya bagi seorang interpreter untuk kasih kode ke rekannya untuk melanjutkan, sementara ia istirahatkan otak dan tunggu sang rekan minta kita ambil alih.

Adakah kendala yang dihadapi audiens dalam memahami pidato penutur sumber sekalipun audiens tersebut memahami bahasa penutur sumber? Tentu ada, bayangkan bila seorang interpreter professional saja memiliki kendala-kendala pemahaman seperti yang disebutkan di atas, bagaimana dengan audiens awam?

Itulah yang menjelaskan kenapa sejumlah ulama kita—yang harusnya mahir berbahasa Arab-- masih harus mengandalkan interpreter yang menyajikan terjemahan dalam bahasa Indonesia lewat headset. Mungkin ada dialek, varian, gaya bahasa, pelafalan, intonasi, idiolek yang belum biasa bagi telinga kita. Semahir apapun kita atas satu bahasa asing, tetap saja penutur bahasa asing (native speaker) itu punya kelebihan alamiah yang kita (non-native speaker) tak paham atau tangkap. Isi pidato raja Salman sangat penting untuk disimak secara baik, benar, akurat dan utuh, dan itulah sebabnya jasa interpreter profesional lebih diandalkan katimbang kemampuan bahasa kita sendiri. Jadi, menurut hemat saya, itu bukan karena para ulama itu tak paham bahasa Arab. Para ulama ber-headset mengapresiasi kerja interpreter.

Mendengar raja Salman berpidato, saya jadi ingin belajar bahasa Arab, bahasa agama saya yang saya cintai,  karena dari sekian kata-kata baginda raja, saya hanya paham ‘assalamualaikum warrahmatullah wabarrakatuh’ saja.   

Salam bahasa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun