Kru Suay Mak (5) bisa dibaca di sini
Pelajaran bahasa Thai dari Kru Nut telah dilahap habis oleh Mirza. Tak ada yang sulit bagi eks siswa kelas bahasa macam dia. Dan mungkin juga kecepatan serap belajar itu disokong penuh semangat Mirza lantaran raut ayu sang guru.
Sembari menunggu saat mulai belajar, Mirza duduk sendiri di halaman kursus Rapid Thai. Masih pukul 3 sore. Sepeda motor Scoopy Kru Nut sudah ada di parkiran. Ia pasti sedang mengajar kelas sesi pagi.
“Hai, sawadi kaa….sabaidi mai?” tiba-tiba Kru Nut muncul dari pintu keluar, menyapa Mirza.
“Sawadi kap…khun sabadi mai, Kru Nut?” balas Mirza, berbinar lantaran pujaan hati mendadak berada di hadapan Mirza.
“Menunggu kelas ya?” tanya Nut lagi.
“Ya. Kru Nut mau ke mana?”
“Istirahat. Cari makan. Khun kin leuw?” Nut tanya apakah Mirza sudah makan.
“Sudah….tapi sekarang lapar lagi,” jawab Mirza sekenanya, berharap ada ajakan makan.
“Ow, gitu. Mau ikut makan?”
“Mau. Di mana?” Mirza makin berbinar.
“Di dekat-dekat sini. Yuk, kubonceng kalau mau.”
Tanpa helm, rambut Nut yang terburai semerbak menerpa permukaan hidung Mirza yang duduk di belakang Nut. Mirza sangat berharap tempat makan itu jauh, supaya perjalanan naik motor itu bisa lama. Sayang sekali kedai itu tak sampai satu kilometer dari Rapid Thai.
“Oke, ini dia kedainya. Kamu mau makan apa?” tanya Nut, membetulkan rambut.
“Apa ya? Ini menu tertulis dalam aksara Thai. Bisa kasih saya rekomendasi? Asalkan bukan pad thai dan khao pad kai. Keduanya sudah sering,”
“Hm, apa ya? Gini saja. Saya mau makan pad si euw. Saya yakin kamu suka,” kata Nut, masih dengan senyum manis.
“Apa saja. Pilihan Kru Nut pasti oke,” ujar Mirza.
“Bener ya? Awas nanti kalau ternyata kau tidak suka,” ujar Nut.
Makanan yang dipesan Nut, pad si euw, ternyata adalah kweetiau goreng.
“Gimana? Chorp mai?” Nut tanya apakah Mirza suka.
“Aroy mak. Chorp mak,” Mirza bilang itu enak sekali dan ia suka banget.
“Bagus. Nih, saya pesankan juga kao niao ma muang, ketan mangga,” kata Nut manakala pelayan membawakan ketan mangga.
“Hm, ini juga enak”
“So, makanan di Indonesia kayaknya sama dengan makanan Thai, ya?” tanya Nut.
“Kurang lebih sama, bahan-bahannya sama. Saya juga suka memasak”
“Oh ya?”
“Ya”
“By the way, kamu kelihatannya muda sekali. Kamu mahasiswa?” tanya Nut.
“Baru lulus sekolah menengah”
“Biar kutebak, umurmu….”
“18”
“Oui, masih muda banget”
“Kru Nut umur berapa?” tanya Mirza.
“Eit….rahasia, nggak sopan tanya umur perempuan,” sela Nut.
“Oh, khor thot…maaf”
“Ha ha ha….saya bercanda, kok. It’s okay. Mau tahu bener umur saya?”
“Kalau boleh”
“Yi sib bed,” Nut menggunakan bahasa Thai.
“28. Berarti kalau tak panggil kru, saya harus panggil Pi ya?”
“Ha ha ha…..jangan deh. Itu bikin saya terdengar tua. Eh, ini yang sedari tadi saya pingin tanyakan. Bahasa Inggrismu bagus. Apakah semua anak muda di Indonesia bisa bicara bahasa Inggris sebagus kamu?”
“Enggak juga. Saya lulusan jurusan sekolah menengah bahasa”
“Oo, pantas kamu cepat nangkap pelajaran bahasa Thai, dibanding Olivier,” ujar Nut. Bibir Nut yang membentuk kata ‘oo’ itu nyaris membuat Mirza tak bisa menelan makanan.
“Ah, biasa saja. Lagian pelajarannya kan masih mudah,” kata Mirza.
“Em, kamu hebat ya. Lulusan SMA tapi sudah bisa melancong ke luar negeri.”
“Ya, saya bayar sendiri lo biaya perjalanan ini”
“Uangnya dari mana?”
“Hasil mengajar les privat bahasa Inggris!”
“Hm, bagus sekali….”
“Tapi sebenarnya pas-pasan. Kemarin waktu mau daftar kursus bahasa Thai, saya mundur karena tak punya cukup uang,” kata Mirza.
“Terus, kok sekarang bisa bayar uang kursus?” tanya Nut.
Mirza tersenyum. “Karena keberuntungan saya dan kebaikan orang Thai,” kata Mirza.
“Keberuntungan?”
“Ya. Mau dengan ceritanya?”
“Mau, ayo cerita”
Tiga hari lalu, ketika saya makan di kedai, saya menolong seorang pemuda tersedak. Beruntung saya pernah belajar Heimlich Maneouvre, pemuda itu selamat. Selang sehari kemudian kedua orangtua pemuda itu datang ke penginapan saya, berterimakasih sambil menghadiahi saya uang 50 ribu baht yang tidak boleh saya tolak”
“50 ribu baht! Oi, banyak sekali”
“Ya, dengan sebagian uang itu saya bayar kursus. Terimakasih banget pada orang Thai yang kasih saya uang. Kalau tidak, mana bisa saya ikut kurus asyik Kru Nut,” kata Mirza dengan mimic lucu.
“Ya…hebat. Sudah sepantasnya kau dapatkan itu, hitung-hitung tukar nyawa pemuda itu. Kamu pahlawan hidup bagi keluarga itu. Kalau aku jadi keluarganya, aku pasti kasih kau mobil,” Nut menampilkan mimik jenaka.
“Ha ha ha….Kru Nut bisa saja. Saya sudah cukup beruntung punya uang buat kursus kelas Kru Nut. Dari awal kelas percobaan itu, saya pingin banget ikut kelas Kru Nut,” Mirza menatap Nut.
“Oh ya? Kenapa?”
“Nggak tahu. Asyik aja! Kru Nut guru hebat. Saya suka….. maksud saya, suka cara ngajar Kru Nut!”
“Hehe, terimakasih, ya. Karena kamu juga, saya dapat tambahan kelas baru. Oh, well, kayaknya kita harus balik ke Rapid Thai. Hampir jam 4”
Olivier telah berada di dalam kelas ketika Nut dan Mirza masuk bersamaan. Semenjak dari momen makan sore itu, Mirza merasa makin dekat dengan guru cantik nan ramah ini. Perlahan tapi pasti, dalam hati Mirza makin tumbuh keinginan untuk terus menatap Nut dan berharap ada saat ia bisa bersama kru suay mak ini lain waktu. Apakah ini yang disebut jatuh cinta? Pada perempuan yang usianya 10 tahun lebih tua?
Selepas sesi kursus malam itu, seperti biasa, Olivier menempel Nut. Pastilah cowok ganteng Prancis bertubuh atletis ini naksir Nut. Dan seperti malam sebelumnya, Nut tergesa-gesa mengemasi barang, menstart motor dan meninggalkan halaman parkiran tempat kursus. Kenapa ia selalu tergesa?
Mirza tak rela ‘kehilangan’ Nut di penggalan hari itu. Mbak cantik ini telah menyesakki benaknya. Ketika Olivier melambaikan tangan dan keluar parkiran, Mirza menghampiri respsionis setengah baya.
“Pi, maaf, boleh minta nomor HP Kru Nut. Saya hendak menanyakan sesuatu.
“Dai ka, ini nomornya,” perempuan itu menyalinkan nomor HP Nut untuk Mirza.
Begitu masuk kamar penginapan, Mirza memberanikan diri mengirim sms pada Nut.
“Kru Nut. Ini Mirza. Saya dapat nomor Kru Nut dari resepsionis. Saya lupa bilang terimakasih telah ditunjukkan tempat makan enak tadi sore,” demikian sms Mirza.
Mirza menunggu. Akankah Nut membalas sms yang tak penting itu?
Tak ada balasan sms. Mirza resah. Apakah mungkin resepsionis kasih nomor yang salah?
Ah, kenapa mesti resah, pikir Mirza kemudian. Atau jangan-jangan Kru Nut tak suka terima sms itu?
Mirza terlelap. Tapi kemudian ia terbangun oleh bunyi sms yang sengaja ia pasang ke suara maksimal. Itu dari Nut.
“Hai, Mirza. Sori baru balas. Sama-sama. Besok, eh nanti sore, mau makan sama-sama lagi?”
Dada Mirza nyaris meledak saking girangnya. Girangnya baru reda ketika ia menatap jam. Pukul 3 pagi. Kok Nut masih terjaga jam segitu? Apakah ia kebetulan terbangun dan menyempatkan diri membalas sms itu. Berarti Nut tak marah atas sms itu?
Mirza mendekap HPnya di dada, senang luar biasa. “Gila ya, aku bisa kesengsem sama perempuan ini,” gumam Mirza sendiri di pagi sunyi itu.
BERSAMBUNG KE SINI
Catatan :
Pad thai = mi goreng
Khao pad kai = nasi goreng ayam
Khor thot = maaf
Pi = panggilan untuk orang yang lebih tua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H