Ghostwriter sama sekali bukan penulis kisah-kisah hantu atau horor, dan ghostwriting bukan karya tulis cerita serem. Wikipedia menyebutkan ghostwriter adalah penulis buku, artikel, cerita, laporan atau teks untuk diakui oleh orang lain. Siapa yang perlu ghostwriter?Selebriti, kaum eksekutif, tokoh politik, musisi, perusahaan film, yang tidak punya waktu atau tidak mampu menghasilkan sendiri karya tulis sesuai tuntutan. [caption id="attachment_251944" align="aligncenter" width="540" caption="(foto : www.thegeeksclub.com)"][/caption] Ghostwriter tak hanya menulis. Ia juga bisa menyunting, membenahi dan merapikan karya tulis orang lain. Di dunia musik, ghostwriter dimanfaatkan untuk menulis lirik lagu. Penulis skenario film juga minta bantuan ghostwriter untuk menyunting atau menulis ulang naskah film agar naskah tersebut layak difilmkan. Menurut www.urbandictionary.com, rapper Amerika Foxy Brown dan Lil’ Kim tak bakal diperhitungkan bila tak menyewa ghostwriter untuk menulis lagu-lagu mereka. Lagu hits berjudul ‘Stronger’ yang dilantunkan penyanyi Kanye West juga ditulis oleh seorang ghostwriter. Decision Points, buku memoir George W. Bush, mantan presiden AS, yang rilis November 9, 2010, yang terjual 2 juta kopi, diedit, dirapikan dan dihebatkan oleh Christopher Michel, penulis naskah pidato dan tangan kanan George (www.dailyfinance.com/2010/11/29/careers-a-peek-at-the-scary-economics-of-ghostwriting) Dalam film tentang stand-up comedy berjudul ‘Punchline’, tokoh comic yang diperani Tom Hanks juga sesekali menyewa jasa ghostwriter buat bahan banyolannya. Apakah ghostwriting etis? Sejumlah pendapat menyebutkan ghostwriting etis lantaran pekerjaan ini sejajar dengan hasil kerja copywriting (penulis naskah). Apakah legal? Sejumlah pendapat juga menyatakan ghostwriting legal dan tidak dianggap sebagai produk plagiarism asalkan penulis dan klien sudah sama-sama mencapai kesepakatan hak cipta dan imbalan. Ghostwriting dianggap illegal bila diterapkan pada dunia akademis. Sampai saat ini, thesis atau disertasi harus ditulis dan haruslah buah karya akademisi itu sendiri. Bagaimana dengan tugas-tugas esai? Barangkali ini masih berada dalam ranah gamang. Di kalangan mahasiswa Amerika, dikenal penyedia jasa penulisan makalah/esai yang disebut ‘essay mill’ atau (‘pabrik esai’). Kalangan akademis di Amerika sampai saat ini masih sibuk memerangi praktek ini untuk mendidik para mahasiswa agar mampu berkarya akademis mandiri. Bagaimana di Indonesia? Praktek ghostwriting tampaknya biasa dan di mana-mana. Tapi saya tak ingin membahas ghostwriting untuk dunia politik dan pencitraan di Indonesia (misalnya biografi) karena saya tak bisa berspekulasi. Saya ingin berbagi sedikit bahwa saya ternyata adalah juga seorang ghostwriter kelas teri, yang baru saya sadari. Sejak tahun 2001 saya kerap disewa sejumlah perusahaan Public Relations di Jakarta untuk menulis Annual Report, Company Profile atau CSR (Corporate Social Responsibility), press release, dan sejenisnya (dalam dua bahasa : Inggris dan Indonesia) untuk klien-klien perusahaan PR tersebut. Untuk pekerjaan ini, saya harus melalukan wawancara atau diskusi dengan pihak manajemen perusahaan, mengumpulkan informasi terkait,menyusun tulisan seperti dikehandaki, dan menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dalam kaitan dengan pekerjaan itu, nama saya tidak pernah tercantum dalam buku atau teks. Yang dicantumkan adalah nama perusahaan public relations tersebut.
Pertanyaannya, apakah saya mendambakan adanya pengakuan sebagai penulis dan sebagai sarana untuk melancarkan rejeki? Tentu saja saya memerlukannya. Saya tidak pernah bisa pamer hasil karya kepada orang lain atau kepada calon klien potensial yang sedang memerlukan jasa penulis. Dengan kata lain, kalau ada calon klien bertanya , “Bisakah saya lihat contoh karya Anda?” saya tidak pernah bisa memuaskan mereka, sebab dalam buku yang saya pamerkan itu, tak terlihat jejak saya. Saya hanya bisa meyakinkan mereka dengan kopi surat-surat kontrak antara saya dan perusahaan public relations yang menyewa saya dalam penulisan buku itu.
Namun, saya tetap bersyukur, karena umumnya klien-klien perusahaan public relations tersebut rata-rata ‘repeat order’ untuk tahun berikutnya, dan saya pun kena imbas ‘repeat order’ : annual report kan harus ditulis saban tahun?
Pendek kata, bagi saya, ghostwriting itu asyik-asyik saja dan menjadi ladang penghidupan yang sehat dan bermartabat, asalkan sebagai ghostwriter kita telah merasa nyaman dengan imbalan tunai dan tidak mulai kepingin popular melalui pencantuman nama.
Salam penulis hantu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H