Kru Suay Mak (19) bisa dibaca di sini.
Nut tersenyum, melepas jaketnya, membiarkan keelokan raga dalam kaos minim ketat warna putih itu terpapar sinar matahari yang menerobos luruh.
“Aku mau menghentikan para para pemotor itu, terus minta tumpangan. Okay, ya?” tanya Nut.
Belum sempat Mirza menjawab, Nut mengibarkan jaketnya dengan gerakan atraktif manakala motor itu mendekat. Pengendara motor mengerem mendadak. Terkejut dengan kehadiran tiba-tiba makhluk seksi, yang merupakan panorama langka di tengah kelebatan hutan. Satu motor lain di belakang motor yang dihentikan juga mendadak mengerem.
“Hai,” sapa Nut.
Pemotor pertama membuka helm dan menatap Nut dari atas ke bawah dengan pandangan takjub.
“Hi!” sapa balik lelaki bule dari balik helm.
“Well, kami dalam perjalanan ke Pang Mapha, dan kami tersesat,” kata Nut.
“Kami?” tanya si bule.
“Oh, sori. Saya bersama pacar saya. Itu dia,” Nut menunjuk Mirza yang baru keluar dari semak-semak.
“Oh, hi, nice to mee you. Saya Olaf dan teman saya di belakang itu namanya Ben,” kata bule itu.
“Saya Nut, itu pacar saya Mirza,”
Mirza melambaikan tangan.
“So, kalian mau ke Pang Mapha, kan? Kami perlu tumpangan,” ujar Nut.
“Sure, silakan! Kau bersamaku, pacarmu dibonceng Ben,” kata Olaf.
Nut segera naik ke sadel sempit di boncengan Olaf. Mirza duduk di belakang Ben. Tak terlalu suka Mirza melihat Nut harus duduk dengan dada rapat ke punggung Olaf.
“Are you ready? Pegangan ya, yang kita lalui ini bukan jalan, melainkan permukaan perbukaan. It’s gonna be a bumpy ride,” ujar Olaf.
“I’m okay, yuk!” kata Nut.
Kedua motor itu menderu, melintasi permukaan perbukitan yang sulit disebut sebagai jalan setapak karena memang tak ada bekas tapak kaki atau motor. Nut jadi paham bagaimana para pemotor ini mengenali jalan. Di bagian setir, sebuah tablet yang menayangkan peta hasil GPS direkatkan dengan cellotape.
Deru motor ditingkah dengan ganasnya permukaan jalan. Roda motor terantuk-antuk, menggoyang penumpangnya. Nut berpegang erat pada Olaf. Dada Mirza berdesir melihat ini. Tahukah Nut ia cemburu berat?
Setelah setengah jam perjalanan penuh gejolak itu, motor menepi di sebuah rerimbunan, berbarengan dengan meredupnya langit karena sore telah berakhir. Dua motor lain yang terdahulu sudah menunggu di rerimbunan persis di pinggir sungai itu.
“Itu teman-teman kalian?” tanya Mirza pada Ben, ketika turun dari boncengan.
“Yup, hari sudah gelap. Motor tak berlampu. Kita bermalam di sini, besok pagi kita lanjut,” kata Ben.
Nut turun dari motor. Meski cuma sebentar, perjalanan offroad itu terasa membuat punggungnya remuk redam. Baguslah kalau mereka istirahat di sini.
“Kalian dapat teman rupanya?” satu dari bule yang sudah sampai lebih dahulu di tempat istirahat itu menyapa.
“Ya, kenalkan ini Nut dan itu Mirza,” kata Olaf, menyandarkan motor pada sebuah pohon.
“Hai, saya Jim. Satu teman lain masih mencuci muka di sungai,” kata Jim.
Nut dan Mirza menyalami Jim.
“Kalian orang Thai?” tanya Jim pada Nut dan Mirza.
“Saya Thai, pacar saya Indonesia,” kata Nut.
“Wow, kamu pemuda yang beruntung,” Jim mengedipkan mata pada Mirza.
Mirza hendak menimpali ucapan Jim tatkala matanya tertumbuk pada satu bule lain yang tadi dibilang sedang cuci muka di sungai.
“Oh, shit! Lihat siapa itu,” Mirza berbisik di telinga Nut.
“Nut! Mirza!” sapa bule ke-empat itu.
“Olivier! Wow, it’s a surprise to meet you here!”
“Yes, kejutan. So, kalian bertemu Olaf dan Ben?” tanya Olivier, memeluk Nut.
“Yup, kami minta tumpangan!”
Mirza jadi tak banyak bicara. Ada jutaan turis bule di Thailand, kenapa harus ada Olivier di sini?
“Kalian saling kenal?” Olaf bertanya pada Olivier dan Nut.
“Nut guru bahasa Thai-ku. Guru bahasa Thai tercantik di dunia,” ujar Olivier.
Olivier terus membuat Nut sibuk dengan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang menurut Mirza teramat tidak penting. Mirza sendiri membuat dirinya sibuk dengan membantu Olaf, Ben dan Jim dengan tenda, lampu baterai dan tungku buatan untuk memasak. Apakah Olivier perlu dikasih tahu Nut kini adalah pacarnya?
Malam beranjak tua. Gulita di rerimbunan di tepi sungai itu berubah romantis dengan sinar bulan di langit, lampu baterai yang digantungkan di dahan pohon, dan pendar api dari perapian membuat yang suasana sekeliling jadi hangat. Riak-riak kecil air sungai terdengar dari kejauhan.
“So, guys. Kalian darimana? Aku tahu Olivier dari Prancis,” ujar Nut, meniup mi instan dalam kemasan styrofoam. Mereka duduk di sekeliling api unggun, menikmati mi dan panggangan daging beku.
“Aku dari Denmark,” kata Olaf. “Ben orang Inggris dan Jim orang Amerika”
“Tell me bagaimana kalian berada di tempat terpencil tanpa alat transport?” tanya Jim.
“It’s a long story dan membosankan” kata Nut.
“C’mon, kami mau dengar, kami punya waktu semalaman untuk dengar,” kata Olivier.
“No, it’s a bit personal. Kalian nggak keberatan kalau cukup kukatakan bahwa aku dan Mirza mencoba trekking ke Pang Mapha, dan kehilangan telepon genggam, kehilangan bekal uang dan tersesat,” ujar Nut.
“Oh, okay, no problem!”
“Dan kalau boleh, aku mau tidur duluan. Di mana saya boleh tidur?” kata Nut.
“Well, kita punya dua tenda. Satu tenda muat untuk dua orang; bisa tiga bila terpaksa. Silakan, pilih tenda yang mana saja,” kata Olaf.
“Teacher, kau bisa di tendaku kalau mau,” ujar Olivier dengan senyum gantengnya dalam temaram cahaya api unggun. Ini membuat dada Mirza makin berdebar dan rasa dongkol makin menggunung. Si Prancis ini masih juga cari-cari alasan buat berduaan dengan Nut.
“Yuk, kuantar kau ke tendamu,” Olivier berdiri, mengulurkan tangan pada Nut, mata Olivier menatap lekat dada Nut. Nut menyambut tangan Olivier.
“Mirza, c’mon, waktunya tidur. Eh, Olivier, Mirza bisa tidur di tendamu juga ‘kan?”
“Hmm, why not?” timpal Olivier tanpa melihat Mirza.
“It’s okay, aku belum ngantuk. Kamu duluan aja, Nut,” kata Mirza. Entah kenapa ia tak suka harus berjalan beriringan bertiga begitu.
Nut melangkah menuju tenda Olivier, yang terletak agak jauh dari tenda satunya. Olivier berjalan dekat di sebelah Nut. Mirza tak tahan melihat keduanya masuk ke dalam tenda. Apakah memang perlu Olivier mengantar Nut ke tendanya? Kenapa Nut musti mau diantar begitu?
“Olaf bilang perempuan Thai itu pacarmu. Kau benar-benar pemuda beruntung. Dia cantik dan seksi sekali. Pandangan matanya dan gerak tubuhnya kupastikan membuat semua lelaki gemeteran,” kata Jim, mencoba mengajak Mirza mengobrol.
“Thanks, belum seminggu pacaran. But I really like her; and yes, she’s gorgeous,” ujar Mirza azal-asalam. Olaf dan Ben menanyakan ini itu tentang Indonesia pada Mirza. Tapi Mirza tak berkonsentrasi mendengar pertanyaan merek. Benaknya ada di tenda itu. Olivier tak segera bergabung ke api unggun. Kenapa pula si Prancis ini musti menemani Nut di dalam tenda, hanya berdua.
Mirza berubah gundah. Mati-matian ia berusaha meredam gejolak cemburu di dadanya. Namun itu sulit dilakukannya. Nut adalah perempuan professional di bidang penghiburan lelaki, sementara Olivier ganteng bisa mendapatkan apa saja dari seorang perempuan. Apa susahnya bagi Nut untuk memberi Olivier sedikit kehangatan di tenda itu.
Mirza bangkit. “Sorry, guys. Aku mau jalan-jalan ke sungai!”
Mirza melangkah sendiri dalam gelap, dan duduk pada sebuah batu, menatap pantulan cahaya bulan di permukaan air sungai. Riak-riak gelombang sungai dalam pantulan sinar bulan bak ribuan kulit kerang yang bergerak ritmis. Gerangan apa yang sedang Nut dan Olivier lakukan di tenda itu. Kenapa aku tidak menyusul saja ke tenda itu, pikir Mirza.
Mirza masih menatap debur-debur kecil ombak air sungai tatkala telinganya menangkap satu langkah di belakangnya. Ada yang menyusulnya. Ia mengira itu pasti Nut. Mirza menoleh. Ternyata Ben. Kenapa Ben menyusulnya?
Mirza baru hendak menyapa Ben ketika tiba-tiba tangan Ben berkelibat dan menancapkan jarum suntik di bawah tengkuk Mirza. Mirza tak menyadari gerak cepat itu. Ia tak sadarkan diri seketika dan dibiarkan rubuh di pinggiran sungai oleh Ben. Ben langsung meninggalkan Mirza tergeletak.
***
“Okay, terimakasih sudah kau antar ke tenda meskipun harusnya tidak perlu. Good night,” kata Nut kepada Olivier sesampai mereka dalam tenda.
“Kamu suka tendanya?” tanya Olivier.
“It’s nice. Terimakasih sudah diijinkan menumpang,” ujar Nut.
“Hm, Nut, aku boleh temani kamu ngobrol di sini?” Olivier menutup restleting tenda dari dalam.
“Well, ini tenda kamu. Kamu bisa apa saja yang kamu mau,” ujar Nut.
Olivier duduk dekat Nut, mulai membelai lengan Nut. Nut menepisnya perlahan.
“Don’t do it,” cegah Nut.
“Why? Aku suka kamu Nut, aku kehilangan kamu waktu kamu tiba-tiba saja berhenti mengajar,” Olivier masih mengusap lengan Nut, dan mendekatkan wajahnya.
“Just don’t do it, okay?” kata Nut.
“Kamu cantik dan seksi sekali Nut. Aku tergila-gila padamu. Ijinkan aku menciummu,” desis Olivier.
“Kamu ganteng dan Farang, Olivier, I know that. Tapi aku punya pacar. Mirza, dia pacarku. Aku cinta dia,” kata Nut.
“Hm, kenapa aku tidak terkejut?” ujar Olivier, berusaha mendekat Nut.
Nut berontak perlahan. “Olivier, aku peringatkan kamu. Aku akan berteriak dan menuduh kamu hendak memperkosa aku. Lepaskan dekapanmu itu,” Nut menaikkan nada suaranya.
Olivier menark nafas panjang, tampak mulai jengkel.
“Kamu terlalu jual mahal, Ratana!” tiba-tiba Olivier menyebut nama itu. Seketika Nut melepas paksa dekapan itu.
“Darimana kau tahu nama itu?”
“Itu nama panggilanmu di Madame Lawan’s House, kan? Kini kau tahu aku tahu siapa kamu. Sekarang, apa bedanya aku dan Mirza atau laki-laki lain yang menidurimu,” Olivier tesenyum licik.
“Okay, Mirza mungkin berbeda, bisa menidurimu cuma-cuma. Tapi aku akan berlaku seperti laki-laki lain yang mengundangmu ke hotel mereka. Aku akan bayar tarif kamu, di sini, malam ini juga. Please jangan bilang tidak. Ini pekerjaanmu. Senangkan aku!”
Plak!
Tamparan keras Nut mendarat di wajah Olivier. Pemuda Prancis ini meradang. Ia bergerak dengan kekuatan penuh mendekap Nut dan menggilas wajah Nut dengan wajahnya.
“No! Olivier! Help!” Nut berteriak keras.
Dan sesaat kemudian Olaf, Jim dan Ben telah berada di depan tenda mereka. Nut lega ketiga teman Olivier mendengar teriakan itu dan mengira Jim, Ben dan Olaf akan membantunya. Ternyata, ketiganya malah menikmati pemandangan ini. Olaf membuka resleting pintu tenda dari luar.
“Wow, pergumulan paksa, nih!” komentar Olaf.
“Lady, terima saranku. Berikan jasa profesionalmu malam ini untuk kami berempat, tentu saja bergantian. Kami bisa bayar berapapun yang kamu mau,” kata Ben, “aku yakin pacarmu tak keberatan”
“Tidak! Kalian dengar bule-bule tengik. Aku memang penghibur, pelacur. Tapi itu tidak lagi, dan aku tidak sudi melayani kalian. Mirza, pemuda Indonesia itu; cintaku hanya untuk dia. Hanya untuk dia sekarang! So, please, bertindaklah dewasa! Jangan jadikan diri kalian pelaku perkosaan. Bule yang memperkosa perempuan lokal akan terima hukuman berat, tahu!” hardik Nut.
“Apa menurutmu ada yang percaya pelacur macam kau diperkosa sejumlah Farang, di tempat sepi ini? Di tempat di mana kamu yang mendatangi kami dan minta tumpangan pada kami?” ujar Jim.
Nut hendak bicara, tapi mulutnya dibekap rapat oleh Olivier.
Olivier berbisik di telinga Nut, dengan suara yang dipasang lembut.
“Shh shh! Ratana, dengar saya. Kami berempat mendapat kehormatan dengan kehadiranmu dalam tour bermotor ini malam ini. Please, sekali ini, malam ini saja, kembalilah ke profesimu. Kami menginginkan kamu. Lakukan dengan baik, dengan santun dan professional. We’ll be gentle and full of love. You’ll like it. Okay?”
“Anjing kalian!” teriak Nut ketika bekapan tangan Olivier sedikit longgar.
“Okeylah kalau begitu. Kalau kamu tak mau tenang dan bertindak sopan, kami akan buat kau tenang. Jim punya sedikit obat sedatif yang bisa membuatmu tetap santai dan masih bisa menikmati hebatnya empat Farang ini,” kata Olivier.
“Kalian mau apa? Mau apa?” teriak Nut parau.
Jim merogoh sesuatu dari sakunya; satu spet cairan penenang yang siap disuntikkan.
“No! Don’t do it. Help! Mirza! Where are you?” Nut meronta-ronta. Tapi keempat orang itu dengan mudah membuat Nut tidak berkutik. Jarum suntik menembus kulit lengan Nut. Sesaat kemudian Nut merasakan kepalanya amat ringan. Ia bisa mendengar dan melihat empat bule itu, tapi ia tidak mampu menggerakkan anggota badannya. Tidak juga mampu berontak dan menolak ketika Olivier mulai melepas kaos atasnya.
Nut hanya bisa pasrah. Ia mustinya bisa memenuhi permintaan bule-bule biadab itu dengan mudah, dengan gampang dan sukarela. Tapi hatinya dan tubuhnya kini hanya untuk Mirza.
“Mirza, di mana kau? Tolong aku, Mirza!” teriak lirih Nut.
(BERSAMBUNG KE SINI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H