SANG PENERJEMAH (25) bisa dibaca di sini
Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi
Hampir jam 8 malam. Ped, seperti biasanya tak ada kabarnya. Tapi aku tidak perduli. Hati dan perasaanku saat ini lebih tertambat pada Rakandi. Sudah sejam smsku untuk Rakandi tak terjawab. Kenapa dia? Apakah dia marah atas kejadian sore tadi?
Aku memencet nomor telepon Rakandi. Teleponnya tidak aktif. Aku harus ketemu Rakandi malam ini, dan kalau mungkin membicarakan foto-foto dalam attachment email itu.
Aku meraih jas hujan,mengunci pintu dan mulai mencari tahu bagaimana cara sampai ke hotel Rakandi dalam banjir yang makin menggila ini. Aku berjalan menerjang banjir setinggi perut menuju ke luar gang. Tidak ada kendaraan umum sama-sekali.Yang ada hanyalah orang-orang kebingungan menyelamatkan barang pribadi. Suasana gelap gulita karena lampu jalan dimatikan dan sebagain besar aliran listrik di kota juga dimatikan. Dari radio yang dinyalakan orang di pinggir jalan aku mendengar kota Ayutthaya makin tenggelam dalam genangan air. Kudengar pula kabar sejumlah binatang berbisa terlepas dari kandang dan mulai berkeliaran mencari mangsa.
Benar-benar perlukah aku bertemu Rakandi dalam suasana seperti ini? Hatiku bilang ya! Harus!
Aku beruntung, seorang pria dan wanita melintas dengan perahu karet bermesin dan lampu senter besar. Aku hentikan mereka.
“Pi, bisa tolong saya. Saya perlu ke penginapan The Old Palace di jalan U Thong di bagian timur. Saya berani bayar banyak”
Si lelaki bicara sebentar dengan perempuan di sebelahnya dan setuju kubayar 500 baht. Aku dibantu naik ke perahu karet itu dan perahu segera melaju perlahan di tengah banjir. Ini aneh, aku membelah tengah kota Ayutthaya dengan perahu melalui jalan yang biasanya kulalui naik angkot.
Tak sampai setengah jam perahu karet merapat di pinggir jalan persis di depan penginapan The Old Palace. Air sungai Chao Phraya sama tingginya dengan air banjir di jalanan. Penginapan tampaknya sudah ditinggalkan petugasdan tamu-tamunya. Seorang perempuan tua masih berjaga di situ.
“Pi, kemana semua orang?” tanyaku.
“Tamu-tamu semua pindah. Petugas semua pulang”
Aku mencemaskan Rakandi. Pindah kemana dia? Aku mengirim sms pada Rakandi, “Aku ke Old Palace Hotel. Kamu sudah pindah. Kamu di mana sekarang?”
Untunglah ia segera menjawab. “Sori, tadi baterai drop. Aku pindah ke Songwat Inn di Jalan Uthong gang 30, Ayutthaya barat,” demikian sms Rakandi.
“Jangan kemana-mana. Aku ke tempatmu”
Pemilik perahu masih belum beranjak jauh dari The Old Palace. Aku panggil mereka dan kuberikan 500 baht lagi untuk mengantarku ke Uthong gang 30. Rakandi tinggal di Songwat Inn, sebuah penginapan kayu berlantai dua yang tampaknya punya generator listrik sendiri.
“Apsara, bagaimana kau bisa sampai ke sini? Kota sudah nyaris tenggelam,” tanya Rakandi, mengajakku ke kamarnya yang kering di lantai dua.
“Aku naik perahu. SMS-ku sebelumnya tidak kau balas!” kataku.
“Maaf, bateri drop. Baru selesai aku cas. Kenapa malam-malam dalam suasana begini kamu harus ketemu aku?” Rakandi mempersilakan aku masuk kamarnya.
“Kamu sudah baca SMSku yang sebelumnya?”
“Sudah. Kamu bilang kangen aku. Benar-benarkah itu?”
“Begitulah……aku nggak tahu kenapa…dan tentunya ada beberapa hal lain yang perlu kubicarakan”
Rakandi berbalik, dan menatapku. “Aku juga, poom kitteung khun, bedanya aku tahu kenapa,”
“Kenapa?”
“Kalau aku mengatakan yang sebenarnya, kami janji tak akan marah?”
“Try it!”
“Terus terang, aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Bukan karena sudah kali kau membuka baju di depanku, bukan pula karena kau mengundangku ke tempat tidur di hotel Krung Si kemarin,” Rakandi berhenti berbicara.
“Lalu karena apa?”
“Mau tahu atau mau tahu banget?”
“Sangat ingin tahu”
Rakandi tak segera menjawab. Ia malah meraih bahuku dan menggerakkan tubuhku agar aku bisa berdiri menghadap kaca memanjang di dinding.
“Lihat itu, Apsara Pibulwongsawat, seorang perempuan matang yang cantik dan cerdas, rambut hitam lebar, alis tebal, bibir merekah dan pandangan mata memikat, dan selebihnya, itu mungkin karena ada misteri sejarah yang menyeret hatiku ke hatimu, misteri yang timbul dari perulangan sejarah di tahun 1368. Tapi yang pasti adalah munculnya getar-getar aneh di dadaku setiap kali aku menatapmu atau setiap saat kita bersama. Poom rak khun, aku cinta kamu, Apsara!”
Aku terdiam beberapa saat, balik menatap matanya. Rakandi berdiri makin dekat ke wajahku, dan berbisik perlahan.
“Kalau kau mau menjawab kata-kataku ini dengan menunjukkan cincin kawinmu padaku, go ahead. Aku tunggu!”
Aku masih tak kuasa menjawab, meski sebenarnya aku ingin mengatakan hal yang sama, dan sama sekali tidak ingin pamer cincin kawin lagi.
“Tabmu masih ada baterainya?” inilah yang malah terlontar dari mulutku. Rakandi menjauh sedikit mendengar responku yang tidak nyambung dengan kata-katanya.
“Luckily, yes. Kenapa?”
“Nyalakan, aku mau buka e-mail dan kutunjukkan sesuatu padamu,”
Rakandi mengambil tab dari tasnya, menyalakannya dan menyerahkan tab itu padaku. Aku memanggil gmail membuka email berserta attachmentnya, berupa 10 foto yang sedari sore tadi membuat hatiku tak keruan, foto-foto adegan tak pantas antara Ped dan Akiko yang tampaknya dilakukan di salah satu kamar istirahat di junkyard tempat kerja Ped.
“Astaga!” gumam Rakandi. “Siapa yang kirim ini?”
“Aku tidak kenal alamat email ini, dikirim ke email kantor, terus diforward ke emailku oleh Namwan,” kataku, mataku mulai tergenang airmata, mirip banjir Ayutthaya.
“Mau kupeluk?” kata Rakandi. Aku mengangguk. Ia merengkuhku rapat-rapat.
“Aku turut sedih, Apsara. Aku turut sedih! Kenapa Ped begitu?” Rakandi membelai rambutku. Aku membenamkan wajahku ke dada Rakandi, dada yang seperti mengalirkan kehangatan ke dalam dadaku yang sudah membeku sejak aku melihat foto-foto itu sore tadi.
Lama kami berpelukan sampai kemudian Rakandi melepas pelukan itu.
“Sekarang aku perlu kami sebagai penerjemah,” kata Rakandi. “Kau ingat satu halaman transkrip yang belum kita dapat itu, halaman 643”
“Halaman yang kita duga mungkin terdapat dalam cache di Museum Nasional Ayutthaya?”
“Benar. Aku sudah mendapatkan kopinya,”
“Oh, ya? Dari mana? Bukankah museum tutup dan mesin itu rusak kena air?”
“Aku tak bisa jelaskan sekarang darimana lembaran ini kudapat. Maukah kau langsung menerjemahkannya untukku,” Rakandi mengangsurkan lembaran yang ia simpan di laci meja. Aku duduk di tempat tidur dan mulai mengamati.
“Apa isinya?” tanya Rakandi beberapa saat kemudian.
“Uh, eh….begini…… Pibulwongsawat mendapati istrinya Apsara, sedang asyik masyuk memadu cinta dengan Rakandi di kamar Apsara….dan itu terjadi pada tanggal 18 bulan Preu Sa Ji Gar Yon tahun 1881,”
“1881? Nggak salah? Sejarah itu kan mencatat angka tahun 1368?”
“Itu tahun Masehi, transkrip ini menggunakan kalender BE, Buddhist Era yang 513 tahun lebih awal daripada tahun Masehi, jadi bila 1881 dikurangi 513, itu adalah 1368!” kataku.
“Bulan itu, tadi kamu bilang apa?”
“18 bulan Preu Sa ji Gar Yon 1881 BE atau 18 November! 18 November 1368 Masehi!”
“Hm, menarik, sekarang tanggal 17 November 2011. Besok, tanggal 18 November 2011. Astaga! 643 tahun! Halaman 643, dan 643 tahun: sebuah kebetulan yang luar biasa,” kata Rakandi.
Mataku membundar. Aku terus membaca.
“Katakan apa isinya, Apsara?”
Aku menatap Rakandi. Tak bisa kukatakan isi transkrip itu selanjutnya. Aku memalingkan muka dari Rakandi. Mungkinkah sejarah akan berulang dan peristiwa yang tertulis dalam transkrip itu akan terjadi besok, persis 643 tahun dari tanggal sejarah itu?
“Maaf, maaf, aku harus pulang sekarang! Aku tak bisa membacakan untukmu sekarang. Maaf!”
“Apsara! Kenapa?”
“Just let me go, okay!” kataku, meraih jas hujan.
“Sudah malam begini dan banjir hebat. Bagaimana caramu pulang?” cegah Rakandi.
“Aku bisa, Rakandi. Aku bisa pulang sendiri!”
“Aku antar?”
“Tidak perlu. Tapi, kalau kau mau berbaik hati sedikit, katakan bagaimana kau mendapatkan transkrip ini?”
Rakandi menghela nafas. “Okay”
“Transkrip itu dari Akiko!” kata Rakandi.
“Akiko? Selingkuhan Ped?” aku tak percaya.
“Ya”
“Bagaimana…bagaimana bisa?”
“Bisa. Rupanya Ped dan Akiko tahu apa yang kita cari, entah bagaimana caranya mereka tahu. Ketika kau baru beranjak naik tuk-tuk dari hotel Krung Si kemarin, Ped dan Akiko mendatangiku di kafe hotel. Mereka tahu kita di hotel itu, mereka membuntuti kita. Akiko bilang ia tahu semua yang kucari. Akiko bisa mendapatkan ini dari Museum Nasional Ayutthaya. Ia adalah teknisi ahli mesin cache buatan Jepang itu. Ia diminta pihak museum untuk memperbaiki mesin itu kemarin pagi dan berhasil menyalakannya kembali, dan membawakan kopi transkrip ini padaku,” tutur Rakandi.
Aku berpikir keras. Bagaimana mungkin Akiko dan Ped tahu pekerjaanku dan Rakandi. Boleh jadi mereka tahu itu dari Tidawan, teman kosku di Bangkok. Bisa jadi pada hari-hari aku berada di Bangkok dengan Rakandi itu, Ped mengecek keberadaanku melalui Tidawan. Ped sudah tahu nomor telepon Tidawan dari aku.
“Okaylah, mungkin Ped dapat informasi dari Tidawan, teman kosku di Bangkok itu. Masalahnya, kenapa Akiko berbaik hati menyediakan transkrip itu untuk kita,” kataku.
Rakandi tak menjawab, dan menatap ke luar jendela ke arah sungai Chao Phraya.
“Akan kukatakan yang sebenarnya, Apsara. Dengar baik-baik…situasinya memang aneh….Akiko dan Ped….memintaku untuk….untuk….membuat foto-foto adegan percintaan itu di junkyard Ped di Rojana….”
“Ya ampun! Itu kamu yang memotret?” aku menutup mulut.
“Ya, atas permintaan mereka sebagai imbalan pemberian transkrip halaman 643 itu”
“Dan demi itu kamu mau memotret mereka, bukannya mencegahnya. Kamu tahu Ped itu suamiku?” setengah berteriak.
“Bukan hanya karena itu. Seperti kubilang tadi, Ped dan Akiko membuntuti kita ke hotel Krung Si. Ped tahu aku melewatkan siang itu di kamar bersamamu dan mengira kita—aku dan kau telah berbagi kehangatan di kamar hotel itu,” ujar Rakandi.
Aku masih tak sanggup berbicara.
“Ped tidak terima penjelasanku bahwa aku tidak melakukan hal tidak pantas denganmu selain memenuhi permintaanmu untuk memotretmu. Aku tidak bilang kau—dalam keadaan tidak sadar—mengundangku ke dalam selimutmu. Ped tidak percaya. Ia mengancamku akan melaporkan pada polisi bila aku tidak memenuhi permintaan sessi potret adegan mesranya dengan Akiko itu. Kami langsung berangkat ke junkyard Ped sore itu dan demikianlah, aku memotret mereka begitu…maafkan aku, Apsara”
Aku terduduk di kursi. Kenapa Ped begitu?
“Dan siapa menurutmu yang mengirimkan foto itu ke emailku?” tanyaku.
“Mungkin Akiko! Mungkin Ped!”
“Kenapa? Apa alasannya?”
“Aku tidak tahu. Seusai sesi pemotretan itu mereka tenang saja, seperti tidak menyiratkan itu tindakan tidak pantas yang tidak seharusnya dilakukan laki-laki perempuan yang masing-masing punya istri dan suami. Mereka menikmatinya dan sama sekali tidak berpesan agar aku tidak membocorkan adegan cinta terpotret itu,”
“Itu berarti mereka ingin aku tahu apa yang terjadi?” kataku lirih., “dan mereka sengaja mengirim email itu untuk aku,”
“Bisa jadi begitu, maafkan aku, Apsara!”
Rakandi berusaha merengkuh bahuku untuk menenangkan aku. Aku bangkit dan meraih lembaran transkrip halaman 643.
“Aku galau dan bingung, Rakandi. Ini masalah yang tidak biasa terjadi pada pasangan suami-istri. Aku harus pulang sekarang. Sori aku tak bisa teruskan baca transkrip ini. Aku bawa transkrip ini agar kau tak berusaha tahu isinya dengan minta orang lain menerjemahkannya,”
Aku segera beringsut dari kamar Rakandi, menuruni tangga dan berjalan pulang menembus gelap dan banjir nyaris sedada.
***
Kecipak air banjir terdengar di kanan kiri. Aku sempat mampir di pedagang mi goreng yang nangkring di atas dataran tinggi di depan toko dan minta tas plastik untuk melindungi kopian transkrip, HP dan dompetku. Aku tak perduli dengan seluruh pakaian dan tubuhku yang basah kuyup. Aku yakin air mata yang berderai di pipi kini sedang bercampur baur dengan air banjir yang terciprat ke wajahku. Kalau ada situasi yang paling memporakporandakan hatiku, inilah saat itu.
Ped! Kenapa dia setega itu? Apa arti 5 tahun pernikahan baginya? Apa kurangnya aku? Sebagai perempuan Thailand, seorang istri, aku pikir aku sudah cukup menjalankan peranku. Aku menghindari punya pembantu agar bisa memasak sendiri untuk Ped. Aku memijitinya ketika ia kelehan pulang kerja. Aku memotong kukunya selagi ia lelah tidur dan aku tak pernah gagal memberinya seks yang hebat setiap kali ia inginkan. Kenapa ia musti berpaling pada perempuan Jepang itu.
Apakah ini soal anak? Ped sendiri yang bilang anak tak perlu diributkan. Aku sudah sering mengajak Ped menemui dokter untuk mencari tahu kenapa kami tak kunjung punya keturunan. Tapi Ped pula yang selalu bilang itu tidak perlu agar kami tak perlu tahu siapa yang bermasalah dalam urusan menghasilkan keturunan agar tak saling menyalahkan.
Aku sampai di rumah sejam kemudian, dan itu sudah larut malam. Berulang kali aku mencoba menelepon Ped, dan berulang kali kudapati HPnya tidak aktif sampai kemudian kuputusankan amat percuma menghubungi Ped dalam keadaan seperti ini. Ped sudah dengan sengaja memberitahuku ia selingkuh dengan perempuan Jepang itu. Ped tak perduli perasaanku.
Sambil mengeringkan badan, aku mencari nomor telepon Rakandi. Ingin sekali aku mengirimi selarik SMS dan menanyakan sedang apa dia sekarang. Tapi aku urungkan. Sudah cukup aku bicara padanya hari ini. Aku menghangatkan diri di kamarku dengan selimut tebal dan memeluk lutut dalam remang lilin. Apa yang akan terjadi besok?
***
Pagi itu listrik sudah pulih. Dari televisi bisa kulihat banjir sedikit mereda karena kiriman air bah dari utara melalui sungai Chao Phraya sudah berkurang. Rakandi mengirimi aku sms. “Apsara, are you all right? Aku belum minta maaf soal keterlibatanku membuat foto-foto mesra itu. Aku minta maaf banget!”
Aku menggenggam HP itu. Ia hanya minta maaf, padahal aku ingin ia menuliskan sms lebih banyak, misalnya dengan bunyi, “I miss you”. Aku menunggu, tapi tak ada sms lanjutan. Kuputuskan aku tidak membalas SMS itu dan kembali mendekam di balik selimut, membayangkan sedang apa Rakandi sekarang.
Tak adanya sms lanjutan Rakandi berbalik membuatku resah. Dalam benakku berseliweran gambar-gambar betapa menyenangkannya hari-hari bersama Rakandi kemarin-kemarin. Aku membuang selimut, segera mandi, mencari celana jins pendek, mengunci pintu dan memanggil tuk-tuk yang menyatakan siap menerjang banjir ke Songwat Inn di Jalan U-Thong gang 30.
“Kau tidak membalas SMS-ku,” kata Rakandi ketika membuka pintu kamarnya.
“Sengaja!”
“Oh, gitu. Kau membawa kopian transkrip itu?” tanya Rakandi.
“Aku bawa!”
“Mau membacakannya untukku? Tugas menerjemah terakhir. Aku sudah siapkan semua honormu!”
Aku mengeluarkan transkrip itu, dan merobek-robek sampai hancur di depan Rakandi.
“Apsara! Kenapa?” Rakandi protes.
“Kamu tidak perlu tahu isi transkrip ini,” kataku perlahan. “Aku cuma ingin tahu apakah semalam dan sampai pagi tadi kamu rindu aku. Aku berharap ada kata ‘I miss you’ dalam SMS kamu tadi pagi”
Rakandi menatapku dalam-dalam. “Aku kangen kamu. Sejak pertama kali jumpa kamu, tak sedetikpun aku tidak kangen kamu. Hanya saja, rasanya tak pantas aku mengucapkan itu dalam situasi seperti ini,” ujar Rakandi.
“Sekarang katakan apakah kamu kangen aku. Do you miss me? Khun kitteung chan mai?”
Rakandi melangkah mendekatiku. “Ya, aku kangen kamu!”
“Kalau aku bilang aku cinta kamu, apa pendapatmu?”
“Secepat itukah?”
“Ya, secepat itu. Dalam galauku, kamu adalah penenang. Aku nyaman berada di dekatmu,”
“Tapi kau bersuami”
“Setelah apa yang terjadi, he was my husband. Kamu tahu ‘was’ maknanya adalah ‘dulu’?”
“Kamu cinta aku, Rakandi? Sama cintanya seperti Rakandi 643 tahun lalu?”
Rakandi memegang kedua belah tanganku.
“Aku cinta kamu, Apsara!”
Rakandi menatap mataku dalam sekali, mungkin sedalam lautan Pasifik. Aku menyorongkan wajahku dan menantinya mencium bibirku. Ia tahu apa yang kuminta. Kami berpagutan lama.
“Sekarang tutup pintunya, dan bawa aku ke ranjang itu,” kataku.
“Apsara!”
“Please jangan menolak. Tenangkan hatiku. Teguhkan hatimu. Lupakan hiruk-pikuk di luar sana dan kita nikmati siang ini bersama-sama, berdua, aku dan kamu saja,” aku mendorongnya ke ranjang itu.
Rakandi tak bisa berbuat banyak selain menjalankan tugas dan perintahku untuk membuatku terlena, terbang tinggi, melayang bebas di angkasa. Ia benar-benar pemuda Jawa yang tangguh dan hebat di luar pengalaman ranjangnya yang mungkin baru pertama ini.
Kami menghabiskan siang itu dengan cinta dan seribu bunga dan keindahan itu baru terhenti ketika pintu kamar didobrak paksa dari luar. Daun pintu terhempas ke samping. Pendar cahaya matahari menyeruak ke dalam kamar.
Ped berdiri di ambang pintu. Akiko di belakangnya. Aku terkejut dan mencoba menutup tubuh dengan selimut. Rakandi tak kalah kaget.
“Sudah kuduga!” gelagar Ped.
“Ped!” aku berdiri, mencoba menenangkan Ped. Rakandi tersudut di pojok ruangan. Akiko menyandarkan tubuh di kusen pintu dengan senyum kecil.
“Suruh anak muda itu mengenakan pakainnya,” ujar Ped padaku sedikit mereda. Aku menerjemahkan kata-kata Ped untuk Rakandi. Rakandi menuruti permintaan itu.
Ped duduk di kursi, memandang Rakandi, dan minta aku menerjemahkan baik-baik kata-katanya.
“Kau tahu Apsara itu istriku?” tanya Ped.
“Saya tahu,” jawab Rakandi, “dan saya minta maaf!”
“Hm, harusnya aku punya dua pilihan saat ini : melubangi kepalamu dengan peluru pistol atau menyeretmu ke kantor polisi dengan tuduhan perzinahan. Menurutmu pilihan mana yang akan aku jatuhkan?” kata Ped.
“Saya tidak tahu. Kau yang tentukan. Saya bilang tadi saya yang salah!” ujar Rakandi berusaha tenang.
Ped berdiri dari duduknya, mendekati Rakandi. Akiko mengais bungkus rokok, menghunus rokok sebatang dan menyalakannya diikuti hembusan asap pertama dengan demonstratis.
“Kabar baiknya adalah, aku tidak akan mengambil salah satu pilihan itu,” Ped tersenyum, “dan aku tidak akan menceraikan Apsara!” kata Ped. Aku terhenyak mendengar kata-kata Ped.
“Skenario berjalan lancar,” kata Ped, dan menoleh Akiko, “Thanks, honey, idemu cemerlang sekali,” kata Ped pada Akiko. Akiko mengangguk takjim dengan gerakan dibuat-buat.
“Apa maksudmu, Ped? Apa maumu?” tanyaku.
“Itu nanti kujawab. Sekarang, pilihanku adalah, menahan pemuda ini agar tidak meninggalkan Thailand. Bila jatah visa sebulan sudah habis, segera urus perpanjangan visa di kantor imigrasi setempat. Dan kau akan menunggu, bersama Apsara sampai aku mengatakan kau boleh balik ke negaramu,” kata Ped.
“Maksudnya apa ini, Ped?” aku bertanya.
Ped kini melangkah ke arahku. “Apsara, kau tahu aku amat mencintaimu, dan aku sangat menginginkan keturunan darimu. Tapi kau tahu, sampai lewat lima tahun pernikahan, anak yang kuinginkan tak kunjung datang. Ini adalah caraku membuktikan siapa di antara kita yang tak bisa memberikan keturunan. Gampangnya begini, bila Akiko hamil, itu berarti aku baik-baik saja. Bila kau hamil, itu berarti kau baik-baik saja. Mengerti?” ujar Ped. “Terjemahkan itu buat pemuda ini!”
Aku tak bisa berkata-kata dan baru bisa menerjemahkan pada Rakandi setelah beberapa detik.
“Astaga!” gumam Rakandi. “Apsara, tanyakan apakah Ped sengaja minta sesi foto mesra dengan Akiko dan sengaja mengirimkannya padamu?”
Aku menerjemahkan pertanyaan Rakandi untuk Ped.
“Tepat sekali. Supaya kau benci aku dan mencari kehangatan dari lelaki lain, yang kupastikan bakal mengarah ke klienmu, pemuda Jawa ini. Aku tahu kamu juga suka dia,” ujar Ped. “Aku tahu kau suka dia sejak awal. Itulah sebabnya kucari cara bagaimana bisa tahu kalian berada di mana. Akiko membantu membuat program dalam HPmu yang memungkinkan aku tahu kalian berada di mana,” ujar Ped.
“Ped……….kamu tahu ini…”
“Sst….tak usah banyak bicara lagi,” sergah Ped. “Sekarang aku akan tinggalkan kalian di kamar ini, bicaralah dan nikmati sisa hari kalian. Ingat, pemuda Jawa itu tak boleh meninggalkan negeri ini sebelum kuijinkan. Bila melanggar, aku akan cari dia sampai ketemu di manapun itu!” ujar Ped.
“Ped…..” aku meneriaki Ped. Tapi ia tetap berjalan, merangkul bahu Akiko, menuruni tangga ke parkiran mobil.
Rakandi duduk perlahan di sebelahku di ranjang itu.
“Apsara, maafkan aku….maafkan aku….,” desis Rakandi.
“It’s okay, honey. It’s okay my love…..,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Sekarang kau mau tahu apa isi transkrip itu?” tanyaku. Rakandi mengangguk.
“Bagian pertama transkrip itu menceritakan Apsara mengundangRakandi ke kamarnya. Pibulwongsawat marah besar dan menghukum Apsara dan Rakandi, hukuman yang urung karena kehadiran Raja Ramathibodhi,”
“Aku tahu bagian itu,” sela Rakandi.
“Yang ingin aku tahu, apakah kamu memintamu menghangatkanmu karena pengaruh magis isi transkrip dan kejadian sejarah 643 tahun itu?” tanya Rakandi.
“Antara ya dan tidak. Aku merasa sejarah itu telah mengutuk kita untuk mengikutinya, mengulang kejadian 643 tahun lalu. Tapi, selain itu, dari hatiku yang paling dalam, aku sangat menginginkanmu, terlepas dari perlakukan Ped padamu melalui foto-foto itu. Aku mencintaimu, Rakandi”
Rakandi memelukku. “Aku senang kau bilang begitu. Aku senang bisa membuat kamu bahagian hari ini. Dan aku sangat menyukai dan menikmati pergumulan kita. Itu sangat berarti bagiku….”
Kami terdiam sesaat, sampai kemudian Rakandi bertanya lagi. “Hanya itukah isi transkrip halaman 643 itu?”
“Tidak, masih ada. Transkrip menceritakan Rakandi diijinkan meninggalkan Ayutthaya bersama sekapal pasukan Majapahit setelah Raja Ramathibodi tahu pasukan itu membawa pesan damai. Raja Ramathibodhi membekali Rakandi dengan berbagai hadiah dan persembahan dari kerajaan Ayutthaya untuk Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Itulah awal hubungan damai Majapahit dan Ayutthaya,” kataku.
“Lalu, apa yang terjadi dengan Apsara sepeninggal Rakandi saat itu?” tanya Rakandi.
“Maaf, aku tak bisa menjawabnya sekarang. Biarlah ini sama misteriusnya dengan keputusan Ped yang menahan kamu di Ayutthaya ini,” kataku.
Rakandi tercenung sesaat. “Okay, sayangku. Aku mengerti….aku mengerti…”. Rakandi mempererat pelukannya.
Aku balik mendekap Rakandi. Meski hari ini terasa aneh dengan kejadian-kejadian yang tidak biasa, aku merasa tenang dengan kehadiran Rakandi di sampingku. Dan di sisa hari itu, tak perduli pada sisa kejutan kehadiran Ped dan Akiko di kamar itu, aku minta Rakandi untuk tidak meninggalkan kamar itu sampai besok pagi, dan berulang-ulang melayang di angkasa, mereguk cinta, tanpa beban bagiku dan Rakandi.
***
Enam hari setelah Rakandi memperpanjang masa laku visa, aku minta diantar Rakandi ke dokter ginekologi karena aku merasakan perubahan dalam tubuhku. Aku selalu mual, letih dan seperti kehilangan tenaga. Setelah dari dokter, aku menelepon Ped yang entah berada di mana saat itu. Aku memaksa Ped untuk menemui aku. Dua hari kemudian Ped baru muncul di rumah.
“Ped, aku hamil!” kataku.
“Hm, aku tahu!” kata Ped pendek.
“Akiko bagaimana?”
“Tidak hamil. Kamu sehat dan baik-baik saja. Aku yang bermasalah,” Ped tiba-tiba memelukku. Rakandi yang berdiri di sebelah kami menundukkan kepala.
Ped melepaskan pelukan itu, “Katakan pada Rakandi. Ia boleh balik ke negaranya, dan ia harus merelakan bayi ini sebagai anakku, yang akan menyandang nama Pibulwongsawat. Dia boleh memberinya nama Jawa sebagai nama depan, tapi tetap Pibulwongsawat sebagai nama keluarga,” ujar Ped, sedih bercampur gundah.
Aku menerjemahkan kata-kata Ped pada Rakandi. Rakandi tak bisa mengucapkan sepatah katapun.
“Mulai sekarang aku akan berada di dekatmu selalu, mengurusimu, melindungimu. Kuliahmu cuti dulu, sampai kau melahirkan,” tutur Ped.
“Akiko bagaimana?” tanyaku.
“Itu urusanku. Nanti kucari penyelesaian terbaik,” Ped menoleh Rakandi.
“Anak muda, kau bebas pergi. Khaw khun khap!” ujar Ped.
“Apakah saya masih bisa menengok Apsara?” tanya Rakandi.
“Maaf, sama sekali tidak! Jabang bayi di perut istri saya, adalah anak saya. Kamu tak ada urusan lagi di sini”
“Baiklah, dan maafkan saya….maafkan saya…..bisakah saya diberi waktu sebentar bersama Apsara?” pinta Rakandi.
Ped mengangguk, dan keluar rumah, merokok di halaman.
Aku menjatuhkan diri dalam pelukan Rakandi.
“My love…..relakan semua ini…..ini takdir…..tabahkan hatimu,” aku terhisak di dada Rakandi.
“It’s okay, Apsara. Telah kudapatkan bertubi-tubi kehormatan darimu….aku berharap semoga bayi Jawa yang bersemayam dalam putri Ayutthaya ini tumbuh menjadi anak yang baik, anak yang hormat pada orangtua dan membawa kebaikan bagi orangtuanya……aku akan selalu mencintaimu, Apsaraku….”
***
Rakandi kembali ke Surabaya dengan penerbangan AirAsia malam itu diantar Ped. Sejak saat terakhir di rumah itu, Rakandi tidak diijinkan Ped untuk menemuiku. Ia membuang SIM card HPKu, menghapus nomor telepon Rakandi, dan meminta Rakandi membuang SIM card HP dan menghapus nomor teleponku.
Sejak kepergian Rakandi, rumah ini terasa teramat sepi. Ped memang mengurusi aku dengan baik dan selalu ada ketika harus mengantar ke dokter, tapi sering pula ia tidak pulang selama beberapa hari dan hanya muncul bila aku sms atau telepon. Selama dalam sepi itu, tak semenitpun aku bisa melupakan Rakandi. Apakah Rakandi masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Apsara pada tahun 1368 itu? Meskipun aku bisa mengiriminya email, tak pernah mampu aku memberitahu Rakandi apa yang terjadi.
Kehamilanku makin besar dan tak pernah aku merasa sesakit ini. Aku dibawa Ped ke rumah sakit ketika ia mendapati air ketuban bercecer di lantai. Di pembaringan rumah sakit, aku merasa seperti berada pada dua dunia, saat ini dan di tahun 1368 ketika Apsara berjuang untuk kelahiran bayinya. Suster yang merawatku sesekali tampak seperti Sarita, emban setia yang menungguiku dan menyemangatiku. Aku berteriak-teriak kencang ketika rasa sakit tak tertahankan menyerang kepada. Dokter dipanggil, kudengar percakapan dengan suster tekanan darahku naik tinggi, dan kudengar pula istilah eklamsi, tekanan darah yang terus meningkat karena kehamilan senja, dan dengan demikian operasi Caesar harus segera dilakukan.
Aku tak sadarkan diri dan pandanganku jadi gelap. Namun, perlahan bisa kurasakan pandanganku berubah menjadi terang dan kudapati diriku berada di kamarku di tahun 1368. Kudengar dan kulihat jelas pula Sarita hadir dengan bidan kerajaan Ayutthaya yang berusaha membantu kelahiran dengan keributan yang menandakan ada hal yang tak biasa dengan kelahiran ini.
Dan rasa sakit itu semakin mencabik-cabik tubuhku sampai kemudian kudengar tangis bayi, yang segera diangkat oleh bidan disaksikan Sarita dan Ped dan beberapa perempuan lain dari padepokan Pibulwongsawat.
“Puchai! Puchai!”….desis Sarita senang. Mendengar ini, aku mencoba membuka mata dan kugenggam tangan Ped…..
“Ped….tolong…..namakan dia Rakandi…..Rakandi Pibulwongsawat…..”
Selebihnya, aku tidak melihat orang-orang ini sejajar denganku. Aku berada beberapa depa di atas mereka. Kulihat ruangan tempat aku melahirkan berselang seling antara kamar rumah sakit dan kamarku di tahun 1368 dan kulihat Apsara tergeletak kaku di sana dengan darah tergenang di pinggulnya.
Transkrip itu, yang tak kuceritakan pada Rakandi, menuliskan Apsara meninggal sesaat setelah melahirkan bayi laki-laki. Apakah aku…apakah aku….kenapa aku tak bisa merasakan apa-apa, meski demikian hebat suster, dokter dan Ped menggoyang-goyang wajah dan tubuhku.
Apakah titah sejarah ini telah pula berlaku pada diriku? Kenapa aku melayang-layang di atap rumah sakit dan melihat semua orang yang hadir mulai menangis dan dokter yang tampak menyesal karena terlambat melakukan operasi Caesar di bawah sana? Apakah aku telah mati?
Rakandi, tahukah kau sejarah yang terulang itu telah benar-benar menimpa kita?
(TAMAT)
Catatan :
Pi = panggilan untuk orang yang lebih tua
Poom kitteung khun = aku kangen kamu
Poom rak khun = aku cinta kamu
Khun kitteung chan mai? = kamu kangen aku?
Puchai = laki-laki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H