Sang Penterjemah (20) bisa dibaca di sini
Dengan tuk-tuk bertarif 60 baht, aku dan Rakandi sampai di Siam Discovery Museum di Jalan Sanam Chai, tepat saat pintu museum dibuka pada jam 10 pagi. Bangunan modern museum ini merupakan hasil renovasi bekas kantor Kementrian Perdagangan Thailand.
“Museum yang keren,” komentar Rakandi.
“Yup. Lengkap dengan teknologi modern, dan koleksi berbagai pernik-pernik sejarah dari masa prasejarah Asia Tenggara, hadirnya Buddhisme dari India, dan catatan lengkap tentang sekitar 20 kali serangan kerajaan Bama—atau Birma atau Myanmar—terhadap Ayutthaya,” kataku, langsung menuju ke bagian khusus sejarah dan koleksi sejarah Ayutthaya.
Kami duduk di hadapan sebuah perangkat computer dan mulai mencari rekaman cache untuk manuskrip kuno. Rakandi bisa mengikuti pencarian informasi itu karena instruksi di computer juga tertulis dalam bahasa Inggris. Dan ini yang membuatya punya alasan untuk duduk dekat sekali denganku.
“Harum kenanga. Aku suka itu,” kata Rakandi di sebelahku, dengan demonstratif menghirup sisa aroma bath-foam yang kupakai saat mandi tadi.
“Dan kau bau lemon grass, daun serai,” kataku asal-asalan.
“Oh ya, aku pakai krim aromaterapi produk Sabai Arom, biar percaya diri berdampingan dengan kamu, putri Ayutthaya,” ujar Rakandi. Aku tak menimpali. Layar komputer sudah memampangkan apa yang kami cari.
“Ini dia, ada tiga halaman yang kita tidak punya,” aku mulai membaca. Cache manuskrip itu tanpa terjemahan bahasa Inggris.
“Apa isinya?”
“Tunggu….hm….pada saat ada laporan tentang datangnya tiga kapal yang dipercaya sebagai kapal-kapal dari kerajaan Majapahit, Raja Ramathibodhi sendiri yang datang ke dermaga, dengan kesiagaan penuh. Namun perasaan Raja Ramathibodhi mengatakan kedatangan pasukan Majapahit ini tidak membawa ancaman. Orang-orang Majapahit turun dari kapal dengan sikap hormat, membawa sesembahan berupa patung-patung perunggu kiriman dari Raja Hayam Wuruk.”
“Adakah di situ disebut-sebut nama Patih Gajah Mada?” tanya Rakandi.
Aku menggulung layar naik dan turun. “Tidak ada. Mungkin ini karena Gajah Mada hanya mengirim utusan, bukan dia sendiri yang datang ke Ayutthaya,”
“Silakan lanjut bacanya”
“Karena kesulitan bahasa, raja Ramathibodhi mengutus hulubalang untuk mencari penerjemah istana, yakni Apsara, yang adalah istri ketiga Lord Pibulwongsawat, kepala keamanan Ayutthaya!”
“Yes, akhirnya kita temukan nama Aspara dan Pibulwongsawat dalam catatan sejarah!” pekik Rakandi senang.
Aku terus membaca, “Hulubalang itu melaporkan bahwa tengah terjadi insiden di padepokan Pibulwongsawat, yakni kemarahan Pibulwongsawat ketika mendapati Apsara melakukan perzinahan dengan seorang pemuda Majapahit, yang adalah tamu kerajaan, perawat gajah dan belakangan tamu kehormatan padepokan karena pemuda ini dipandang pernah dua kali menyelamatkan nyawa sang penerjemah,”
“Keren! Itu Rakandi. Itu Rakandi” semangat sekali Rakandi mengomentari hasil bacaanku.
“Lanjut, please!”
“Raja Ramathibodhi, dengan tetamunya dari Majapahit, langsung bergerak ke padepokan Pibulwongsawat dan tiba di halaman padepokan pada saat yang tepat sebelum pedang eksekusi memenggal leher perempuan penerjemah dan pemuda Majapahit itu. Raja murka karena Pibulwongsawat main hakim sendiri dan melakukan penghukuman tanpa minta pendapat raja terlebih dahulu. Apsara dan pemuda itu mendapatkan pengampunan raja dan Pibulwongsawat dikucilkan dari Ayutthaya dengan penugasan baru sebagai utusan Ayutthaya di sebuah wilayah kecil taklukan Ayutthaya di utara Ayutthaya tak jauh dari Phitsanulok,”
“Hebat. Aku kagum pada Raja Ramathibodhi; seorang penegak hukum sejat,” sela Rakandi.
“Aku lanjutkan, ya?”
“Oh, okay, sorry, go on!”
“Raja Ramathibodhi memaafkan pemuda Majapahit itu mungkin karena raja masih perlu melihat kaitan antara kehadiran pemuda itu dan kehadiran tiga kapal Majapahit, dan kemungkinan-kemungkinan invasi Majapahit ke Ayutthaya, dan oleh karena itulah Raja masih menginginkan pemuda itu hidup. Sementara itu, Apsara harus terus dipertahankan hidup sebagai penerjemah Ayutthaya yang bisa berbahasa Jawa. Kalau Raja Ramathibodhi bisa memaafkan kesalahan Apsara dan pemuda itu, Pibulwongsawat tidak. Ia berangkat ke utara dengan dendam membara dan sebelum ia berangkat ke tempat tugasnya yang baru, Pibulwongsawat sempat sesumbar akan menghabisi pasangan selingkuh ini manakala waktunya tepat,”
“Apa yang dimaksud dengan ‘manakala waktunya tepat’?” tanya Rakandi.
Aku meneliti manuskrip itu. “Tidak ada penjelasan di sini….sebentar……aku teruskan….Apsara dperintahkan oleh raja untuk bermukim di istana kerajaan dan pemuda itu mendapatkan izin untuk tetap tinggal di padepokan sampai urusan penyelidikan raja soal keberadaan pemuda itu tuntas. Raja melarang Apsara untuk bertemu dengan pemuda itu untuk alasan apapun sampai nanti Raja memutuskan kapan pemuda itu harus angkat kaki dari Ayutthaya”
“Terus?”
“Terus….eh, ini aneh. Ada satu lagi halaman yang hilang. Dari halaman 642 meloncat ke halaman 644,” aku menggulung layar naik turun. Semua lengkap, kecuali halaman 643.
“Tidak ada halaman 643?” tanya Rakandi.
“Tidak ada!”
“Apa mungkin halaman 643 kita temukan di museum di Ayutthaya?”
“Boleh jadi!”
Rakandi mengeluarkan kamera dan memotret layar komputer yang berisi tiga halaman yang hilang sebelumnya.
“Now what?” tanya Rakandi.
“Kita balik ke Ayutthaya!” kataku. “Naik kereta api, mau?”
***
Karena ingin cepat sampai di Ayutthaya lebih awal, kami ambil kereta api kelas 3 pukul jam 2.00 siang dari Bangkok ke Ayutthaya. Duduk di bangku kereta api di hadapan Rakandi, aku meraih Hp dari tasku. Tak ada missed calla atau sms dari Ped. Sesibuk itukah Ped? Tidakkah ia rindu padaku?
Rakandi mungkin bisa melihat kegusaran ini di wajahku.
“Kok tampak sedih?” tanyanya.
“Iya, nunggu telepon atau sms dari suami,” kataku.
“Kamu saja yang telepon dia,”
“Sudah. Teleponnya tidak aktif,”
“Pasti dia sibuk sekali….tenang saja. Nanti dia menelepon,” hibur Rakandi.
“Masalahnya, tak biasanya dia seperti ini,” aku menatap keluar jendela yang memampangkan pemandangan tembok-tembok beton jalan tol metropolitan Bangkok yang seperti saling kejar dengan laju kereta api.
“Kamu pasti kuatir dia sedang asyik dengan perempuan Jepang itu?” kata Rakandi. “Tak usah dipikirkan, “anggap saja tidak, mikir yang positif saja.”
“Benar juga…,” aku mengembalikan HP ke dalam tas, dan baru kurasakan kipas angin di kereta api kelas 3 ini sama sekali tidak sukses mengirim hawa sejuk kepada penumpangnya di tengah suasana mendung seperti ini. Aku melepas mantel rajutan. Rakandi menatapku tak berkedip. Mungkinkan ia sedang menatapku dalam balutan kaos tanpa lengan berdada rendah itu.
“My God…..kamu……..…”
“Jangan mulai……. Aku kepanasan, tahu nggak,” sengaja aku ketus.
“Maaf…….eh….maaf, Mbak Apsara…”
“Mbak…..?”
“Itu panggilan hormat cara orang Jawa untuk perempuan lebih tua……boleh saya potret kamu?”
“Nggak. Buat apa memangnya?”
Rakandi menarik nafas panjang. Ia kemudian mengeluarkan tab, dan menunjukkan beberapa foto kepadaku.
“Lihat, selain mahasiswa ilmu sejarah, aku juga seorang fotografer amatir, khusus buat perempuan-perempuan muda penggemar foto gaya dan fashion. Aku sudah biasa memotret perempuan dengan bermacam busana dan gaya,”
Aku mengamati foto-foto yang ditunjukkan Rakandi.
“Semuanya ini perempuan Indonesia?” tanyaku.
“Ya!”
“Mengagumkan. Mereka cantik-cantik dan eksotis,” kataku.
“Penampilanmu saat ini, dengan wajah sederhana, tapi kenal guratan wajah perempuan Thai, menggiring naluriku untuk mendapatkan gambarmu. Izinkan aku ya? Sekali saja?”
Aku menatap pemuda ini sesaat.
“Oke, sekali saja ya!”
“Sip. Sekali saja. Hanya sekali!” Rakandi mengatur setelan kameranya yang terlihat mahal, jenis SLR yang biasa digunakan professional pemula.
“Smile!”
Jepret!
Dan dia menunjukkan hasilnya. Lumayan bagus, dan eh, tak pernah kusangka aku bisa semenarik ini.
“Kamu bakat jadi model. Kamu suka fotomu?” tanya Rakandi.
“Suka sekali. Kamu fotografer hebat! Aku kelihatan keren sekali”
“Thanks. Aku baru belajar! By the way, kamu memang keren!”
“Hahaha, berhasil memujiku nih!” entah kenapa aku tertawa lepas.
“Sekali lagi. Dai mai?”
“Kau ingkar janji. Tadi bilang cuma sekali!’
“Apa bedanya sekali atau beberapa kali?”
“Oke, dai kha….”
Dan Rakandi membuat beberapa jepretan, sementara, entah kenapa aku berubah menyukai acara potret-memotret dalam gerbong kereta api yang panas ini.
Aku dan Rakandi kemudian asyik berbincang membahas 22 fotoku jepretan Rakandi, dibarengi penjelasan Rakandi tentang teknik pencahayaan, teknik memotret close up dan cara-cara mendapatan sudut eksotis sosok perempuan. Diam-diam aku melihat kehangatan dalam diri pemuda itu. Aku melihatnya sebagai seorang yang santai, segar, tidak dikuatirkan oleh hal-hal di sekelilingnya, dan lebih dari itu, ia sebenarnya pemuda ganteng, dengan kulit kecoklatan dan wajah tegas. Ia mungkin akan tampak lebih rapi bila mau meluangkan waktu untuk menyisir rambut sedikit berombaraknya yang agak gondrong.
(BERSAMBUNG KE SINI)
Catatan :
dai mai = boleh nggak?
dai kha…= ya boleh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H