Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (16)

27 September 2012   09:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:36 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (15) bisa dibaca di sini

“Maaf kalau pujian ini tidak membuatmu nyaman……” kata Rakandi, memundurkan posisi duduknya, seperti menyesal tak sengaja menyanjungku, yang berbuntut pada pemberitahuan halusku lewat cincin itu bahwa ia tak seharunya menyanjung perempuan bersuami.

***

Hari ini pemuda Jawa ini minta diantar ke sejumlah candi, di antara 400 candi yang berserak di seluruh Ayutthaya. Mula-mula aku ajak dia ke Phra Vihan Luang yang berada dalam satu kompleks dengan Wat Phra Si San Pet, salah satu kompleks candi yang banyak dikunjungi wisatawan. Phra Vihan Luang adalahreruntuhan vihara yang tak pernah dipugar lagi secara menyeluruh sejak terakhir kali vihara dibakar orang-orang Birma menyusul agresi mereka ke Ayutthaya pada tahun 1767.

“Vihara ini dibangun oleh Raja Ramathibodhi II, raja Ayutthaya ke-10,pada tahun 1499. Dulu pernah ada patung Buddha setinggi 16 meter berlapis 172 kilogram emas,” kataku.

“Patung itu sudah dipindahkan ke Wat Pho di Bangkok…..” sambung Rakandi.

“Kau tahu itu?”

“Hasil cari di Google!” tukas Rakandi, sembari mengambil beberapa foto. Pemuda ini sudah puluhan kali menjepret sudut-sudut candi dengan mimik yang menunjukkan betapa tertariknya dia pada peninggalan ini.

Puas dengan Phra Vihan Luang, ketika matahari sudah melewati titik tengah hari, aku ajak Rakandi bergerak ke Wat Yai Chaimongkhon di sisi lain Ayutthaya, yang makan waktu sekitar 20 menit bermotor.

“Ini candi yang pertama kali didirikan oleh U Thong, alias Ramathibodhi I, pada tahun 1351, setahun setelah kerajaan Ayutthaya didirikan. Semula candi ini adalah padepokan untuk rahib- rahib Buddha,” kataku.

“Wat Phra Kaew atau yang biasa disebut Grand Palace di Bangkok, dibangun berdasarkan model candi ini, bukan?” kata Rakandi.

“Benar! Kau banyak tahu. Murid si Google!”

Rakandi tersenyum sedikit. Aku membeli beberapa tangkai bunga lotus yang ditawarkan seorang bocah kemudian melangkah ke satu altar di kawasan candi itu, memejamkan mata dan mengucap doa. Aku tenggelam dalam ucapan doa selama beberapa saat. Ketika kubuka mata, kudapati Rakandi sibuk memotreti aku. Kubiarkan saja ia dengan tingkahnya. Tetapi, manakala kupikir ia melewatkan waktu terlalu lama mengintip liang rana kameranya untuk mendapatkan gambar close-up, aku mulai tak nyaman.

“Apa harus selama itu?” tanyaku, mulai tak nyaman.

“Seharusnya tidak….tapi tiba-tiba aku merasakan debar aneh ketika menangkap wajahmu dengan latar belakang candi ini di liang rana kamera,” kata Rakandi, mata kirinya masih mengintip liang rana.

“Aneh? Apa anehnya?”

“Aku seperti pernah melihatmu sebelumnya, di tempat ini juga…..aneh….perasaan itu begitu kuat. Ya, aku melihatmu memejamkan mata, berdoa, dengan busana bangsawan Ayutthaya, dan rambut panjang terurai, dengan bahumu yang terbuka disapu sinar matahari menjelang sore….,” Rakandi menurunkan kameranya dan menatapku.

“Begitu ya?”

“Kamu sering ke sini?” tanya Rakandi.

“Tidak sering. Beribadah biasanya di candi dekat rumah,” kataku, tercenung sesaat, dan mulai menebak-nebak apa sebenarnya maksud pemuda ini. Jangan-jangan itu cuma cara dia untuk mulai kurang ajar padaku, katakanlah ini adalah cara lain dia untuk memujiku, seperti kebanyakan yang dilakukan para lelaki klienku.

Rakandi mengutak-atik kamera memeriksa hasil jepretan. Matanya membulat melihat hasil jepretan terakhir dari sejumlah pose-poseku berdoa.

“Lihat kemari,” Rakandi menunjukkan beberapa gambar hasil jepretan.

“Aku memotretmu dalam pose itu delapan kali. Lihat, ini kamu, mendekap tangkai lotus dengan jari-hari kedua tanganmu,” Rakandi menggeser gambar satu persatu. “Kau mengenakan kaos oblong warna pink, dengan jaket rajut putih, dan celana jeans, dengan rambut terikat ke belakang,” ia mendekatkan kamera ke arahku.

“ Dan lihat hasil jepretan ke delapan,” ia menyerahkan kamera itu padaku. Aku menatap layar display kamera. Aku menutup mulut. Itu aku, dalam tampilan close-up, memejamkan mata dengan bunga di tangan, dalam busana warna coklat yang terbuka di bagian bahu dan rambut terurai.

Oh my God! Itu aku? Kok beda baju dan tatanan rambutnya?” kataku. “Kamu tidak sedang ngerjain aku kan?” aku sulit percaya. Kupandangi terus gambar itu.

“Sama sekali tidak! Lihat urutan waktu dalam gambar ini. Foto ketujuh kujepret pada jam 14:55:05. Foto ke delapan kujepret pada jam 14:55:20. Itu saat aku mulai merasakan debar aneh di dadaku,” kata Rakandi bersunggung-sungguh. Aku masih menatap foto itu.

“Kalau ini hasil rekayasamu, ini tidak lucu,” kataku.

“Ini bukan rekayasa. Ini aneh. Aku sendiri tak tahu kenapa,” jelas Rakandi.

“Okay, bisa aku minta copy gambar itu, masukkan di HP-ku?” kataku.

“Bisa, ayo cari tempat duduk!”

Kami duduk di sebuah kedai kopi tak jauh dari candi. Rakandi mengeluarkan note-book dan mencari card-reader di tas pinggangnya. Ia pindahkan foto dari memory card kamera ke notebook, dan selanjutnya memindahkan foto dari notebook ke memory card HP-ku melalui card reader. Foto itu kini ada dalam koleksi foto pada HP-ku, persis sama dengan foto jepretan Rakandi ke delapan.

“Bagaimana mungkin ini terjadi?” aku masih sulit percaya.

“Aku sama bingungnya dengan kamu. Aku ingin tahu apakah kau merasakan hal yang aneh ketika berdoa tadi?”

“Tidak, biasa saja…….. kecuali merasa tak nyaman karena kamu bolak-balik memotret aku,”

“Hm……sebentar. Menurut manuskrip itu, Rakandi datang ke Ayutthayadan bertemu Apsara pada tahun 1368. Candi ini, seperti katamu, dibangun pada tahun 1351. Mungkinkah Apsara dan Rakandi pernah ke candi ini?” tanya Rakandi.

“Sangat mungkin, mengingat hampir semua orang Ayutthaya beragama Buddha saat itu, dan pastinya mereka datang ke candi untuk berdoa. Tapi apa hubungannya dengan keanehan foto ini. C’mon, kamu pasti sedang ngerjain aku!”

“Nggak, Apsara! Aku tidak sedang ngerjain kamu! Andai saja kau tahu betapa anehnya perasaan itu ketika mendapatkan gambar ini……. Aku seperti kembali ke tahun 1368, seperti Rakandi yang mungkin sedang menatap keelokan Apsara ketika memejamkan mata berdoa saat itu. Aku benar-benar merasakannya…..”

Aku menyilangkan tangan di dada dan menatap pemuda itu. Sulit dipercaya! Apakah mungkin ia merekayasa foto dalam waktu sesingkat itu dengan menggunakan kamera? Apa sebenarnya yang ada dalam benak pemuda ini? Haruskah aku percaya?

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun