Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (15)

19 September 2012   05:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:15 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (14) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

“Namamu Apsara?” tanya Rakandi, seperti masih sulit percaya.

“Apsara Pibulwongsawat!” ulang Rakandi, lebih lengkap, dengan nama belakangku.

Yep. Persis sama dengan yang kau lihat di name-tag ini,” kataku.

“Wow! Kebetulan yang luar biasa”

“Kebetulan?”

“Ya, kebetulan. Okay, kita jalan sekarang? Cari sarapan dulu ya, nanti aku jelaskan apa yang aku perlukan di kota ini,” kata Rakandi. “Di mana kedai makanan Thai yang enak?”

“Di jalan U Thong saja, nanti kutunjukkan,” aku menuju parkiran sepeda motor. Rakandi mengikuti.

“Mau setir sepeda motor?” kataku.

“Boleh?”

“Boleh”

Kami bermotor membelah Ayutthaya yang gerah. Aku memilih sebuah kedai dengan ruangan terbuka di tepi sungai Chao Phraya, dan memesan dua piring pad thai.

“Aku mahasiswa jurusan sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya. Mudah-mudahan kau tahu Surabaya, kota nomor dua terbesar di Indonesia,” ujar Rakandi.

“Aku tahu,” jawabku.

“Aku berasal dari Trowulan, kota kecil tak jauh dari Mojokerto, dan saat ini sedang menyusun skripsi sarjana. Topik skripsiku adalah deskripsi sejarah hubungan kerajaan Majapahit dan kerajaan Ayutthaya”

“Topik menarik dan bakal luas cakupannya,” aku menyela.

“Tidak seluas itu. Aku hanya ingin menuliskan gambaran hubungan kedua kerajaan itu semasa gencar-gencarnya ekspansi Gajah Mada dari Majapahit ke Ayutthaya”

“Gajah Mada, patih hebat kerajaan Majapahit itu?” aku menyela.

“Kau tahu Gajah Mada?”

“Sangat tahu, aku sendiri adalah mahasiswa program masters pada Universitas Thammasat Bangkok yang sedang menekuni analisis kemajuan dan keruntuhan kerajaan Ayutthaya mulai berdiri sampai jatuhnya Ayutthaya. Saat ini aku sedang menikmati liburan semester!”

“Wow! Lagi-lagi kebetulan. Lalu bagaimana kau bisah fasih berbahasa Inggris dan jadi penterjemah?”

“Aku sarjana bahasa Inggris, dari universitas yang sama! Aku mencari tambahan biaya kuliah dengan menjadi penterjemah paruh waktu di kantor Jum,” jawabku

Rakandi berhenti berbicara dan memandangku dengan wajah bersemangat.

“Hebat!Nah, begini, penelitianku di Ayutthaya hanya akan berfokus pada kisah terdamparnya seorang pemuda Jawa di Ayutthaya pada tahun 1368. Pemuda itu, tak sengaja terbawa kapal muhibah pasukan Gajah Mada dari Majapahit ke Tumasek, dan pemuda itu kemudian sengaja ikut kapal Tumasek ke Ayutthaya. Selama di Ayutthaya, pemuda itu dicurigai sebagai mata-mata dan secara tak langsung dipaksa menjadi tawanan kepala keamanan kerajaan Ayutthaya….”

“Pada masa kekuasaan Raja Ramathibodhi….” aku menyela.

“Benar, pada masa kekuasaan Ramathibodhi, pendiri kerajaan Ayutthaya. Pemuda itu diminta tinggal di padepokan sang kepala keamanan, yakni Pibulwongsawat. Persis seperti nama belakangmu,” kata Rakandi.

“Oh? Begitu?”

“Ya. Dan karena pemuda itu tak bisa berbahasa Thai, ia didampingi istri ketiga Pibulwongsawat yang adalah seorang penerjemah bahasa Khmer, Cina dan Jawa. Pibulwongsawat sendiri yang meminta istri ketiganya untuk mengawasi dan mengamati gerak-gerik pemuda itu yang diduga mata-mata Gajah Mada yang oleh Ayutthaya dikenal sebagai patih Majapahit yang sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi atas nama Majapahit”

Okay. Lalu?”

“Kau tahu siapa nama istri ketiga Pibulwongsawat, sang penterjemah?”

“Siapa?” tanyaku.

“Apsara!”

“Wow!” giliran aku yang terkejut.

“Dan kau boleh juga terkejut bila tahu siapa nama pemuda itu,” lanjut Rakandi.

“Siapa namanya?”

“Rakandi!”

Aku urung menyeruput es teh yang baru disajikan pelayan.

“Yang benar?”

“Benar! Itulah sebabnya aku kaget luar biasa mendengar namamu adalah Apsara, Apsara Pibulwongsawat. Suatu kebetulan yang aneh! Bayangkan, kisah Rakandi, asal Trowulan, Majapahit, yang bertemu Apsara di kerajaan Ayutthaya pada tahun 1368 sedang diteliti oleh Rakandi, mahasiswa asal TRowulan, Mojokerta yang mendapatkan seorang penterjemah bernama Apsara Pibulwongsawat di kota Ayutthaya pada tahun 2011 ini”

Sesaat kami tak bicara seusai penjelasan panjang lebar Rakandi. Rupanya baik Rakandi dan aku sama-sama sibuk merenungkan kebetulan yang luar biasa ini. Kami masih sama-sama bungkam sampai dua piring pad thai tertata di meja dan siap disantap.

“Terus terang aku tidak pernah dengar tentang Apsara, sang penterjemah dari kerajaan Ayutthaya seperti yang kau maksud. Nama Rakandi juga tidak pernah kudengar sebelum hari ini,” kataku.

“Mungkin karena itu tidak pernah tercatat dalam sejarah di Ayutthaya sini,” kata Rakandi.

“Lalu bagaimana kau sampai pada pengetahuan tentang Rakandi dan perjalanannya ke Ayutthaya pada tahun 1368 itu?” aku mulai tertarik, sangat tertarik.

“Itu bermula dari suatu penelitian kecil yang kulakukan di tanah kelahiranku, Trowulan. Dari sebuah guci berukuran besar yang telah membatu di reruntuhan yang dipercaya sebagai reruntuhan Majapahit, aku menemukan semacam manuskrip lama berumur ratusan tahun, terbuat dari lempengan-lempengan tipis tanah liat berukir aksara Jawa kuno. Manuskrip itu ditulis oleh cucu Rakandi yang mengisahkan ulang perjalanan dan petualangan sang kakek di Ayutthaya”

“Hm, menarik. Jadi kemungkinan besar Rakandi kembali lagi ke Majapahit setelah bertualang di Ayutthaya. Apakah manuskrip itu menyebut-nyebut Apsara, sang penterjemah kerajaan Ayutthaya?”

“Ya, tapi tak banyak. Hanya informasi singkat mengenai sang penterjemah seperti yang kuuraikan sebelumnya tadi dan uraian singkat mengenai hubungan asmara Rakandi-Apsara”

“Dan kedatanganmu di Ayutthaya sekarang ini untuk apa tepatnya?”

“Untuk menggali lebih banyak informasi tentang hubungan Rakandi-Apsara pada tahun 1368 itu dan kelanjutan kisah cinta mereka. Pada manuskrip tertulis juga bahwa Rakandi-Apsara nyaris tewas dieksekusi Pibulwongsawat karena ketahuan telah berhubungan badan di kamar Apsara. Kepala mereka urung ditebas karena pada saat kritis Raja Ramathibodhi mengintervensi eksekusi itu”

“Oii, menarik sekali!”

“Aku perlu bantuan penterjemah untuk menelisik museum, membaca catatan-catatan kuno bila ada, dan bila mungkin melakukan napak tilas keberadaan Rakandi di Ayutthaya untuk mencari tahu kisah Rakandi-Apsara dan kelanjutan hubungan Majapahit-Ayutthaya setelah itu”

Aku menghela nafas. Bisa jadi ini bakal sulit. Tersediakah semua informasi yang diperlukan Rakandi?

Rakandi menatapku yang tengah asyik berpikir. Ia menyungging senyum.

“Kenapa tersenyum?” tanyaku.

“Dalam manuskrip, Apsara dilukiskan sebagai perempuan muda Siam yang cantik, cerdas, pintar, berambut panjang, berkulit cerah. Maaf bila aku mengatakan ini…..” Rakandi berhenti bicara.

“Apa?”

“Maaf, bila bicaraku lancang…..aku seperti melihat Apsara dari tahun 1368 pada dirimu. Sama-sama bernama Apsara dan bisa jadi Apsara di tahun 1368 itu secantik dan secerdas kamu…”

Aku menarik nafas.

“Kuberi tahu, ya, pemuda Jawa….aku kurang suka disanjung,” kataku, mengusap wajah, sembari dengan sengaja memamerkan cincin pernikahan di jari manisku. Rakandi melihat sekilas cincin itu.

“Maaf kalau pujian ini tidak membuatmu nyaman……” kata Rakandi, memundurkan posisi duduknya, seperti menyesal tak sengaja menyanjungku, yang berbuntut pada pemberitahuan halusku lewat cincin itu bahwa ia tak seharunya menyanjung perempuan bersuami.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun