Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (10)

26 Agustus 2012   04:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:18 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (9) bisa dibaca di sini.

Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi

Aku tak bisa berhenti mengangga. Benarkah apa yang kudengar ini?

Aku tak berani menatap Apsara atau Pibulwongsawat. Pibulwongsawat kembali ke bale-bale dan meraih sebuah kotak kayu. Ia mengangkat kotak kayu sepanjang empat jengkal selebar jengkal itu dan membawanya ke arahnya. Dibukanya kotak itu di hadapanku.

“Di dalam kotak ini, ada seperangkat alat lukis bermutu tinggi yang kubeli dari pedagang Cina,” demikian ujar Pibulwongsawat sebagaimana diterjemahkan oleh Apsara. Aku mengamati kotak kayu itu. Lima buah kuas halus, sejumlah pewarna dalam bejana-bejana tanah liat yang tersusun rapi dan lima gulung kain tenun putih kusam yang biasa digunakan seniman Cina untuk melukis pemandangan alam atau menulis pengumumam.

“Kupastikan kau belum pernah melihat alat-alat lukis semewah ini. Tuangkan karya terbaikmu dengan alat-alat ini,” kata Pibulwongsawat, memindahkan kotak itu ke tanganku.

“Tabik, Tuanku. Saya akan berkarya sebaik-baiknya,” kataku lirih.

“Nah, keluarlah barang sebentar dari ruangan ini. Nanti kupanggil kau saat tugas melukismu mulai,” ujar Pibulwongsawat.

Aku membungkuk mundur dengan kotak itu, dan keluar ruangan. Aku duduk mengamati kotak itu di bale-bale di luar ruang tengah padepokan. Bukan membayangkan betapa asyiknya melukis dengan alat-alat mewah ini, tetapi membayangkan apa yang harus kulukis di kamar pribadi Apsara dan Pibulwongsawat.

***

Agak lama aku menunggu sebelum akhirnya Pibulwongsawat muncul mencariku di ruang luar. Dengan lambaian tangannya, lelaki setengah baya ini memberi isyarat agar aku mengikutinya, melewati ruang tengah dan menuju ke ruang khusus istri ketiganya, yakni kamarnya dan kamar Apsara.

Semerbak bunga kenanga tertebar dari kamar temaram berlampu minyak itu. Di peraduan, Apsara tengah duduk menanti tanpa suara.

“Duduklah di situ, dan persiapkan peralatan lukis itu,” Pibulwongsawat menunjuk sebuah meja dan kursi kayu tak jauh dari pembaringan. Ia kemudian tersenyum dan mengangguk ke arah Apsara. Apsara ragu-ragu melepas kain yang melingkari dada. Benarkah ia melepas kain penutup dada itu?

Pibulwongsawat bangkit dan melangkah ke arah Apsara. Ini menghalangi pandanganku dan tak sempat terlihat kain penutup itu terlempar ke bale-bale. Pibulwongsawat sibuk di hadapan Apsara. Rupanya Pibulwongsawat mengatur letak rebahan Apsara. Ia meminta Apsara rebahan dengan menopang kepala dengan tangan kanan. Pibulwongsawat juga menyusun uraian rambut Apsara, dan mengatur letak tangan kiri sedemikian rupa, sembari mundur beberapa langkah untuk memastikan posisi itu yang ia mau.

Manakala Pibulwongsawat puas dengan posisi Apsara seperti yang ia inginkan, ia menjauh dari Apsara. Kini aku bisa melihat dengan jelas Nyai cantik ini, setengah rebah dengan tangan kanan menopang kepala, tanpa penutup dada. Darahku tersirap. Aku berusaha menahan debar jantung yang tiba-tiba meledak-ledak dalam dadaku.

Pibulwongsawat kemudian duduk di sebelahku.

“Pusatkan perhatianmu pada perempuan cantik bak dewi di hadapanmu. Tuangkan pencaran indah raganya dalam lukisanmu,” kata Pibulwongsawat. Aku cuma bisa mengangguk dan mulai membuat goresan-goresan dengan batang hitam.

Aku hampir tak bisa menyembunyikan gerakan tanganku yang gemetar dan hati tak keruan. Namun aku tetap berusaha memusatkan pikiran dan memindahkan citra raga indah Nyai Apsara ke dalam lukisan itu. Apsara menyungging senyum kecil seperti yang baru saja diperintahkan Pibulwongsawat. Aku memejamkan mata beberapa saat setiap kali setelah menatap Apsara dan membuat goresan di kain lukis. Senyum cantik itu, raga itu, rambut yang helai-helainya terburai di pundak dan keelokan perempuan Siam ini tersimpan rapi dalam benakku, dan aku bertekad untuk menyelesaikan tugasku dengan baik.

Pibulwongsawat tampak sangat puas dengan hasil lukisan itu bahkan sebelum aku menyelesaikan sapuan-sapuan akhir untuk melengkapi bagian-bagian lain di luar raga Apsara. Apsara diperintahkan oleh Pibulwongsawat untuk tetap dengan posisi semula sampai lukisan itu benar-benar rampung.

“Indah sekali. Indah sekali!” Pibulwongsawat mengangkat kain itu di hadapannya dengan bantuan cahaya lampu minyak. Dari sudut mataku aku sempat melihat Apsara perlahan mengenakan kembali kain penutup dada dan merapikan rambutnya.

Pibulwongsawat kemudian membawa kain lukis itu ke Apssara dan menunjukkannya. Keduanya terlibat pembicaraan yang barangkali—kurang lebih—memuji lukisan itu.

“Kau boleh pergi sekarang. Bawalah kotak lukis itu sebagai hadiah dariku,” ujar Pibulwongsawat.

Aku mundur dengan kotak itu dan segera menuju ke bilikku, dan menghempaskan tubuh berbareng dengan hempasan nafas. Nyai Apsara! Sungguh indah dan elok raga itu! Senyum dan keelokan Apsara yang tadi tersimpan dalam benak kini seperti menari-nari di kepalaku.

Dan malam itu aku sangat berharap Apsara hadir dalam mimpiku, apapun mimpi itu, asal ada Apsara di dalamnya.

***

Pagi itu, empat punggawa utusan raja bergegas turun dari kuda dan menemui Pibulwongsawat. Tak lama setelah bercakap dengan Pibulwongsawat, Pibulwongsawat memanggil anak buahnya. Mulai tampak kesibukan di luar padepokan. Sesaat kemudian Pibulwongsawat keluar padepokan dengan pakaian perang lengkap, yang berlapis lempengan logam dan pedang di tangan. Ia kemudian memerintahkan Apsara untuk mendekat padaku dan padanya. Seorang anak buah Pibulwongsawat membawakan seperangkat pakaian perang, lengkap dengan penutup kepala terbuat dari logam.

“Ada tanda-tanda ratusan orang Bama di perbatasan Ayutthaya dan Phitsanulok. Raja memerintahkan pasukan keamanan untuk menyisir perbatasan. Aku membawa seratus orang prajurit, dan kutinggalkan 20 prajurit di padepokan,” kata Pibulwongsawat kepadaku. Ia memerintahkan punggawa menyerahkan baju perang itu kepadaku.

“Orang Jawa. Aku tahu kau punya kemampuan beladiri yang mumpuni. Kuangkat kau sebagai penanggungjawab padepokan berserta seluruh isinya selama aku pergi. Kenakan pakaian ini bilamana diperlukan. Dan terimalah pula ini,” Pibulwongsawat menyerahkan sebuah pedang dengan sarungnya dan memaksaku mencengkeram pedang salam sarung itu.

“Hamba…..!”

“Jangan banyak bicara dan jangan menolak amanat ini! Kau sekarang bertanggungjawab pada keselamatan padepokan ini. Bila ada yang terluka atau ada perusakan oleh musuh, akan kupenggal kepalamu. Mengerti?” suara Pibulwongsawat menggelegar, bahkan sama menggelegarnya ketika diterjemahkan oleh Apsara.

“Baik, Tuanku…..hamba akan berusaha menjunjung amanat Tuanku!” kataku. Pibulwongsawat menatap mataku seolah mencoba melihat kemantapan ucapanku. Ia puas dan langsung menaiki kudanya. Apsara dan dua istri Pibulwongsawat yang kini berdiri di sebelah Apsara, melepas kepergian Pibulwongsawat dengan menangkupkan kedua tangan memberi sembah.

Derap-derap kaki kuda meninggalkan kepulan debu dari pelataran padepokan. Cepat sekali pasukan berkuda itu melesat ke arah istana raja. Aku menatap debu-debu jalan itu perlahan jatuh ke tanah dengan baju perang berat dan tangan kanan dan pedang di tangan kiri.

Tak bisa kupercaya aku dibebani tanggungjawab atas keselalamatan padepokan ini. Tak adakah orang lain selain aku untuk tugas ini?

Dua istri Pibulongsawat kembali ke dalam padepokan, meninggalkan Apsara sendiri.

“Tunggu apa lagi? Segera coba dan biasakan berada dalam pakaian perang itu, supaya nyaman dipakai bila dibutuhkan,” kata Apsara sebelum mengikuti kedua istri Pibulwongsawat ke ruang dalam.

“Baik, Nyai!” kataku.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun