Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Alaska, Perjalanan Tak Terlupakan

25 Agustus 2012   05:52 Diperbarui: 4 April 2017   18:02 5439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama musim panas 1992, saya tinggal di Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat. Saya berada di kota indah ini dalam rangkaian sebagai Visiting Lecturer, mengajar bahasa Indonesia pada program SEASSI (South East Asian Summer Studies Institute) di University of Washington.

[caption id="attachment_194963" align="aligncenter" width="615" caption="Panorama Alaska (foto : bestfreewallpaper.com)"][/caption]

Tanggal 3 Juli 1992, hari Jumat adalah hari yang paling saya tunggu-tunggu. Ada tiga hari libur (Jumat, Sabtu, Minggu) yang bisa saya manfaatkan untuk jalan-jalan. Seminggu sebelumnya saya sudah pesan tiket Alaska Airlines jurusan Seattle-Anchorage, pulang-pergi senilai US$ 325 (waktu itu 1US$ = Rp 2.500).

Jumat pagi tanggal 3 Juli 1992, teman se-flat saya, Tia Hallberg mengantar saya ke Bandara Seattle-Tacoma. Saya sengaja minta tempat duduk dekat jendela pesawat. Langit musim panas amat cerah. Tujuh puluh menit setelah meninggalkan Seattle, pesawat Alaska Airlines yang saya tumpangi melayang di atas Coast Montains, yang membujur sepanjang perbatasan Kanada-Alaska. Di bawah sana, tak ada panorama lain selain ribuan bukit-bukit berselimut salju dan gumpalan es.

Manakala pesawat melintas udara Alaska tenggara, ratusan pulau besar dan kecil berserakan di perairan Teluk Alaska. Di antara pulau-pulau itu seskali Nampak bentangan glacier (sungai es) berkilauan memantulkan cahaya matahari. Pemandangan seperti inilah yang dinantikan penumpang pesawat pada paruh kedua perjalanan Seattle-Achorage.

Setelah tiga jam terbang, pesawat mendarat di Anchorage, kota terbesar di negara bagian Alaska. Saya dapat sebuah taxi-van kosong. Wayne, sopir taxi berkulit gelap mengantar saya ke pusat kota, yang hanya ditempuh dalam waktu sepuluh menit, dengan bayaran US$ 12. Karena tak terlalu sibuk, Wayne berbaik hati mengantar saya keliling kota Anchorage, sebuah kota berpenduduk 250 ribu jiwa yang asri, bersih, dan sejuk. Udara musim panas saat itu menunjukkan angka 18 derajad Celcius.

[caption id="attachment_194967" align="aligncenter" width="464" caption="Alaska Airlines (foto : www.alaskaairlines.com)"]

1345873551700337533
1345873551700337533
[/caption] Wayne menurunkan saya di depan Anchorage Visitor Information Bureau, biro informasi wisawa kota Anchorage. Saya mengais beberapa brosur wisata gratis dari rak-rak bangunan biro yang didominasi struktur kayu itu. Selanjutnya saya jalan kaki menyusuri Fourth Avenue, jalan paling sibuk di Anchorage, kemudian duduk di sebuah bangku kayu dalam desir angin sore yang sejuk, membaca brosur.

[caption id="attachment_194964" align="aligncenter" width="520" caption="Pusat Informasi Wisata Anchorage, Alaska (foto : Eddy Roesdiono)"]

1345873300914073431
1345873300914073431
[/caption]

Saya memang memimpikan untuk bisa menjejakkan kaki di Alaska sejak saya masih duduk di bangku SMP. Di dinding kamar saya, saya menggambar sendiri peta Alaska di atas kertas karton. Kini impian saya terwujud. Saya sedang berada di Alaska yang saya kenal betul lewat buku-buku bacaan.

Secara geografis, Alaska menjanjikan kekayaan alam yang luar biasa. Luas Alaska yang bertetangga langsung dengan Rusia di sebelah barat itu adalah 1.524.679 km persegi, membentang dari barat ke timur sepanjang 3.840 kilometer, dan dari utara ke selatan sepanjang 2.272 kilometer. Hanya 20% dari daerah seluas itu yang dihuni oleh 600.000 jiwa, sisanya adalah bentangan alam luas termasuk sejumlah gunung, padang es, sungai dan danau. Mau tahu berapa jumlah danau di Alaska? 3 Juta! Itulah sebabnya, wisata dan olahraga perairan dan pemancingan sangat kondang di Alaska.

[caption id="attachment_194965" align="aligncenter" width="467" caption="Fourth Avenue, jalan paling ramai di Anchorage (foto : Eddy Roesdiono)"]

13458734152129780709
13458734152129780709
[/caption]

Makin ke utara, kondisi alam Alaska semakin beku. Tanahnya didominasi tundra yang ditandai dataran tanpa pepohonan. Tanah tundra membeku sepanjang tahun dan disebut permafrost (permanent frost) dengan ribuan danan dan telaga yang pada musim panas bersuhu 5 derajad Celcius dan jauh berada di bawah 0 derajad Celcius di musim dingin. Sepertiga bagian di utara merupakan kawasan Artic Circle, dan pada saat musim panas--tanggal 20 atau 21 Juni—matahari tidak terbenam selama 1 hari (summer solstice), dan sebaliknya, di musim dingin (21 atau 22 Desember), matahari tidak terbit sama sekali dalam satu hari (winter solstice).

Nama Alaska berasal dari kata Alashka, Alaesku dan Alyeska, yang dalam bahasa penduduk kepulauan Aleut berarti ‘tanah yang luas’. Orang Eropa yang pertama kali menjamah Alaska adalah Vitus Bering, pelaut Rusia yang mendarat di tanah es itu pada tahun 1741. Selat Bering yang memisahkan Alaska dengan Rusia diambil dari nama pelaut ini. Sejak kedatangan Bering, Alaska berada di bawah kekuasaan kekaisaran Rusia. Rusia menganggap Alaska sebagai tanah tak berguna karena hanya menyediakan hamparan tanah es. Dengan persetujuan kaisar Rusia Tsar Alexander II, duta besar Rusia untuk Amerika, Baron Eduard de Stoecki menjual Alaska kepada Amerika melalui Menteri Luar Negeri Amerika William Seward pada tanggal 30 Maret 1867 seharga US$ 7,2 juta (setara Rp 64,8 miliar).

Meski harga ini sangat murah, Menlu Seward diolok-olok pers Amerika lantaran terlalu bodoh untuk membeli ‘kotak es’ yang tidak ada manfaatnya. Tapi kemudian Seward boleh bangga. Ternyata Alaska menyimpan kekayaan alam dalam bentuk minyak, emas, batubara, hasil hutan, hasil laut dan sumber devisa lain selain pemandangan alam yang teramat elok.

Jutaan wisatawan berkunjung ke Alaska setiap tahun untuk menikmati sajian alam cantik Taman Nasional Denali, wisata danau, wisata sungai dan wisata pemancingan, plus 34 taman nasional lain, serta berkenalan dengan penduduk Eskimo.

Penggala sore hari di Anchorage saya habiskan dengan berkunjung ke Anchorage National Museum yang menyajikan berbagai karya seni dan peninggalan Eskimo serta sejarah explorasi Alaska. Karena tak punya banyak waktu, besoknya saya memutuskan untuk melancong ke Seward, sebuah kota kecil di selatan Anchorage, dengan paket wisata Far North Tours, seharga US$ 80 (termasuk makan siang) yang diawaki suami istri Bob dan Leana. Perjalanan 3 jam dengan mobil van sejauh 250 kilometer ke Seward benar-benar merupakan rewarding trip, dengan sajian panorama pedalaman Alaska yang sungguh memesona, yang biasa disebut sebagai ‘etalase ekoturisme’.

Di Seward, sedang berlangsung acara tahunan Mount Marathon Race, semacam acara peringatan HUT Kemerdekaan Amerika, yang diikuti 1000. Peserta harus lari marathon menuju ke puncak Gunung Marathon (1.000 m dpl) dan kembali lagi ke Seward. Jalan terjal bebatuan ke puncak gunung ditaklukan dengan gagah berani oleh para peserta. Penonton di bawah menikmati event ini dengan penuh gairah. Saya meminjam teropong seorang penonton dan sempat melihat banyak peserta jatuh bergulung-gulung tatkala mencoba menaklukan terjalan gunung.

[caption id="attachment_194968" align="aligncenter" width="550" caption="Kota kecil Seward, tempat saya menonton Mount Marathon Race (foto : Eddy Roesdiono)"]

13458736701381624166
13458736701381624166
[/caption]

Paha kalkun panggang seharga US$ 5 menjadi snack nikmat siang itu, dilanjut dengan makan siang di sebuah restauran di pinggir laut dengan menu makanan Eskimo.

Saya diantar kembali ke Youth Hostel di Anchorage menjelang pukul 9 malam. Jangan heran, pada pukul 9 malam, matahari masih sangat benderang seperti pukul 3 sore di tanah air. Matahari baru benar-benar tenggelam menjelang pukuk 12 malam dan terbit lagi satu jam kemudian, yakni pukul 1 malam. Inipun bagian yang saya nanti-nantikan. Bersama sejumlah wisatawan Israel, saya begadang sampai pagi tanpa benar-benar menikmati gelap malam karena mahatari bersinar 23 jam sehari saat itu!

Yang lebih asyik, pada saat mendapat gelap satu jam itu, saya dan rekan-rekan wisatawan Isral sempat menyaksikan pemandangan spekatakuler di langit, yakni Aurora Borealis. Itu adalah pendaran cahaya berwarna hijau, merah, biru dan ungun yang meanri-nari di angkasa, yang merupakan atraksi hebat di langit luas. Aurora Borealis merupakan hasil benturan electron dan proton bermuatan dengan partikel gas di bagian atas atmosfer bumi, yang kemudian muncul melalui bias matahari yang terpantul ke langit sekitar 60 kilometer dari permukaan bumi, dengan diameter 4.000 kilometer!

[caption id="attachment_194969" align="aligncenter" width="475" caption="Fenomena alam Aurora Borealis di Alaska (foto : www.destination360.com)"]

134587375719369840
134587375719369840
[/caption]

Saya tak ingin tidur. Sekitar pukul 3 pagi, bersama sejumlah rekan wisatawan Israel dan Jepang, kami bermobil ke sebuah danau tak jauh dari Anchorage dan menyewa canoe, perahu kecil buat berdua. Kami mendayung berkeliling danau di dini hari benderang itu dalam suhu sekitar 10 derajad Celcius.

[caption id="attachment_194970" align="aligncenter" width="524" caption="Danau dan canoe (foto : Eddy Roesdiono)"]

13458738351531246858
13458738351531246858
[/caption]

Saya sebenarnya ingin berlama-lama di Alaska, sayang besoknya saya harus kembali mengajar mahasiswa bahasa Indonesia di University of Washington. Saya terbang kembali ke Seattle sore hari, dijemput oleh taxi-van yang sama dengan sopir yang sama pula, yakni Wayne.

Tia Hallberg menjemput saya di bandara Seattle-Tacoma malam itu. Ketika melihat wajah sumringah saya sepulang dari Alaska, Tia bertanya :

Well, how was your Alaska trip?”

Marvelous! Ini perjalanan terhebat dalam hidup saya. Tak akan pernah saya lupakan,” kata saya.

“Kamu beruntung, Ed,” kata Tia. “Saya saja yang orang Amerika tak pernah menginjakkan kaki di Alaska!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun