Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (9)

14 Agustus 2012   07:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:48 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SANG PENTERJEMAH (8) bisa dibaca di sini

Kerajaan Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi.

Aku baru saja mengganti kain pembalut luka di lenganku. Gerusan dedaunan obat yang disiapkan emban untukku tadi sore ternyata mujarab juga. Luka itu tertutup rapi dengan ramuan dedaunan, dan nyerinya tak lagi terasa.

Malam dingin menyergap tepian sungai itu. Aku tak bisa tidur dan memutuskan ke luar bilikku untuk menacariangin segar. Lampu-lampu minyak dengan bahan bakar getah dadap, yang tertancap pada pokok-pokok bambu di sekeliling padepokan berkelap-kelip dan kadang-kadang saya ditiup angin malam. Di langit, ribuan bintang seperti pernik-pernik perak memenuhi jagad atas.

Tiba-tiba pintu depan padepokan terbuka, mengirimkan cahaya lampu dari dalam. Kupikir itu adalah salah satu teman perawat gajah. Ternyata Apsara. Tubuhnya berbalut selimut sutra Cina, dengan rambut seperti biasa, dibiarkan terburai.

“Wah, ada yang suka terjaga malam-malam, rupanya,” ujar Apsara.

“Nyai!” aku menghaturkan sembah.

Apsara berjalan ke dalam gelap, melewatiku.

“Malam sunyi yang indah. Hening dengan cahaya remang bintang di langit. Inikah yang sedang kau nikmati, Rakandi?”

“Benar, Nyai. Keelokan anugerah Sang Agung!” kataku, tak berani menatapnya, meski dalam remang sekalipun.

“Tuanku Pibulwongsawat amat suka lukisan itu. Ia memujimu sebagai seniman berbakat,” kata Apsara.

“Terimakasih pujiannya, Nyai. Saya senang Tuanku berkenan menerimanya,” kataku.

“Sangat berkenan. Beliau bilang ini hadiah ulangtahun terbaikku. Beliau sangat bergairah malam ini. Ia tersenyum dalam tidurnya sekarang, dikamarku.” ujar Apsara. “Biasanya, setelah melewatkan setengah malam denganku, beliau pindah ke kamar istri kedua…..eh…maaf”

“Maaf?” sergahku.

“Maaf, karena aku bicara seperti ini….”

“Tak apa-apa, Nyai,” aku menyeka rambut panjangku.

Nyai Apsara terdiam sesaat, menatap bintang-bintang di langit. Pendar cahaya lampu minyak menyinari leher dan dagunya yang indah.

“Jika aku bertanya sesuatu yang penting, bisakah kau menjawabnya, Rakandi?” kata Apsara tiba-tiba, menatapku dari kejauhan. Jantungku berdegup.

“Silakan, Nyai!”

“Benar-benarkan kau seorang pemuda biasa seperti yang kau katakan?”

“Maksud Nyai?”

“Katakan padaku, siapa kau sebenarnya?” kali ini Apsara menyorot tajam mataku.

“Ampun, Nyai. Ini pasti soal bagaimana saya bisa merobohkan sepuluh orang Bama itu?”

Apsara mengangguk. “Ya, jujurlah padaku! Aku tidak bodoh. Aku bisa melihat mana orang yang sekadar beruntung dan mana yang benar-benar ahli bela diri. Lihat, tubuhmu tegap, ototmu berisidan kamu menguasai teknik bela diri yang luar biasa. Anda Tuanku Pibulwongsawat melihat sendiri pertarunganmu tadi siang, pastilah beliau tak akan percaya bahwa kau hanyalah pemuda biasa”

Aku menatap gelap sesaat.

“Saya memang belajar ilmu bela diri di Majapahit. Tapi saya sama sekali bukan punggawa kerajaan. Saya belajar silat untuk membela diri,” kataku.

“Hm, pengakuan yang berbeda dari apa yang diketahuiRaja atau Tuanku Pibulwongsawat,” kata Apsara. “Kamu telah berbohong, Rakandi”

“Ampuni saya, Nyai! Tapi saya bukan pendekar. Di Mojopahit, saya hanya memerangi orang-orang jahat yang mengganggu rakyat. Saya bukan anggota pasukan Prabu Hayam Wuruk atau Patih Gajah Mada. Saya tidak berbohong, saya hanya memanfaatkan perjalanan ini untuk bisa melihat dunia luar. Dan saya sangat bersyukur bisa terdampat di Tumasek, Malaka kemudian Siam ini,” kataku.

Apsara menatapku beberapa saat.

“Baiklah, Rakandi. Untuk sementara tak akan kukatakan pada siapapun bahwa kau ini sebenarnya seorang pendekar. Kau bisa pegang kata-kataku,” kata Apsara. “Pintaku, janganlah kau menjadi orang lain suatu saat. Janganlah kau tiba-tiba menjadi orang seperti yang dikuatirkan Raja Ramathobodhi dan Tuanku Pibulwongsawat”

“Terima kasih, Nyai. Nyai bisa pula memegang kata-kata saya. Saya adalah orang biasa, dengan benak pikiran yang hanya ingin mencari pengetahuan dan pengalaman hidup. Saya tidak mengembang tugas apapun dari kerajaan dari mana saya berasal,”

“Bagus! Kupegang kata-kata itu,” ujar Apsara.

“Sekali lagi, terimakasih, Nyai!”

Kami terdiam beberapa jurus.

“Oh ya, kapan hari kamu bilang kamu membuat lukisan para sejumlah perempuan yang sedang mandi di sungai. Bolehkah aku melihatnya?” tanya Apsara.

“Ya, Nyai. Sebentar saya ambilkan,”

Aku bergerak ke kamarku dan kemudian membawa keluar lukisan kasar yang berupa coretan arang. Aku meraih sebuah lampu yang menempel di dinding luar kamarku dan membeber lukisan itu di bale-bale dengan penerangan lampu.

“Hm, indah…..sungguh indah. Kau melukisnya dengan indah….lihat betapa rapinya gurat-gurat yang seakan bisa menggambarkan keelokan para perempuan ini….,” puji Apsara. Aku tak bicara, tapi berusaha mencuri pandang raut cantik Apsara dalam cahaya lampu minyak itu. Bibir, gerakan alis, hidung mancungny dan lembar-lembar rambut yang sesekali melintas di pipi itu demikian amat mempesona.

“Bolehkah aku pinjam lukisan ini untuk kuntunjukkan pada Tuanku Pibulwongsawat besok?” tanya Apsara.

“Oh, ya…ya…..boleh, Nyai. Tapi apakah…..lukisan ini….gambar ini…..maksud saya…..tidakkah ini akan membuat Tuanku Pibulwongsawat murka karena saya mengintip perempuan mandi ketika melukisnya?”

Apsara tersenyum renyah.

“Jangan bodoh, Rakandi. Tentu saja tidak. Tuanku Pibulwongsawat adalah perwira yang arif bijaksana dan sangat menghargai karya seni. Aku yakin beliau akan memuji karya yang ini juga”

“Kalau begitu, silakan dibawa, Nyai!” kataku.

Apsara menimang sebentar lukisan itu dan kemudian bangkit dari bale-bale menuju ke pintu depan padepokan.

“Baiklah, sekarang aku mau tidur. Besok kukembalikan lukisan ini,” kata Apsara. “Ratri Sawad

Ratri Sawad, Nyai!” balasku.

***

Sore itu semua gajah sudah kami mandikan dan bersihkan dengan baik. Dari kawan-kawan perawat gajah kudapatkan kabar bahwa saat ini Ayutthaya benar-benar dipatroli dengan ketat oleh pasukan raja berkenaan dengan kejadian serangan orang-orang Bama kemarin. Pemeriksaan terhadap pejalan kaki atau pelancong sampai juga di ruas-ruas luar Ayutthaya. Mereka yang tak berpakaian seperti orang Ayutthaya dan tak bisa berbahasa Siam akan ditanya panjang lebar oleh anggota pasukan. Senjata perang di padepokan ditata dan dipersiapkan dengan baik dan semua orang bersiaga.

Tuangku Pibulwongsawat puas dengan suasana penjagaan ini. Aku yakin ia tak terlalu cemas dengan kemungkinan serangan orang-orang Bama. Menurut perhitungan Pibulwongsawat—seperti yang dikatakan salah satu punggawa padepokan—kerajaan baru akan cemas kalau serangan kemarin melibatkan ratusan orang.

Menjelang malam, seorang punggawa menghampiriku, dan meminta aku menghadap Tuanku Pibulwongsawat, yang sudah menanti dengan santai di bale-bale bagian dalam, dengan Apsara.

Begitu aku sampai di hadapan Pibulwongsawat dan menghaturkan sembah, Pibulwongsawat berdiri dan meraih pundakku agar berdiri sejajar dengannya.

“Aku belum mengucapkan terimakasih atas jasanya menyelamatkan istrikku untuk kedua kalinya, orang Jawa. Ijinkan aku menganggapmu sebagai saudara!” demikian kata-kata Pibulwongsawat seperti yang diterjemahkan Apsara.

“Sungguh kemuliaaan bagi saya, Tuanku!” kataku menyembah.

Sesaat kemudian, Pibulwongsawat mengedarkan pandangan berkeliling dan mengisyaratkan agar para punggawa menyingkir dari ruangan itu. Aku tak tahu kenapa Pibulwongsawat meminta orang-orang ini pergi.

Pibulwongsawat kemudian meraih dua lukisan dari nampan di bale-bale. Satu lukisan Apsara dan satu lagi lukisan perempuan mandi itu. Pibulwongsawat mengacungkan lukisan Apsara.

“Ini karya hebat, anak muda. Aku suka sekali lukisan ini. Tak pernah kubayangkan Apsara demikian menggairahkan dalam lukisan ini,” kata Pibulwongsawat, yang diterjemahkan oleh Apsara.

“Terimakasih, Tuanku!”

“Dan ini, yang satu lagi, juga karya hebat. Kupuji kau untuk lukisan ini. Aku berani bertaruh tak ada seniman Ayutthaya yang bisa membuat goresan seperti ini,” kata Pibulwongsawat.

“Terimakasih pujiannya, Tuanku”

“Setelah melihat dua lukisan ini, saya harap kau tak keberatan bila aku minta kau untuk membuat satu lukisan lagi untukku”

“Siap, Tuanku. Saya akan coba memenuhi harapan Tuanku!” kataku.

“Benar?”

“Benar, Tuanku! Lukisan apa yang Tuanku inginkan?”

Pibulwongsawat tersenyum dan menoleh Apsara.

“Apsara, katakan padanya lukisan apa yang kuminta!”

Apsara mendongakkan kepala dan menatapku.

“Tuanku Pibulwongsawat memintamu untuk membuat lukisan seperti yang kau buat di sungai itu, dengan warna-warna alamiah,” kata Apsara.

“Oh ya, jadi saya harus kembali ke sungai itu besok?” kataku.

“Bukan besok, tapi malam ini,” sela Apsara.

“Maaf! Malam ini?”

“Ya, malam ini. Bukan di sungai tapi…….. di kamar kami, di tempat tidur Tuanku dan saya,” air muka Apsara berubah jengah. Aku ternganga, dan ganti menoleh Pibulwongsawat untuk memastikan kata-kata Apsara benar-adanya.

“Kau sudah dengar kata-kata Apsara, kan?” kata Tuangku Pibulwongsawat dengan mata membundar.

Aku tak bisa berhenti mengangga. Benarkah apa yang kudengar ini?

(BERSAMBUNG KE SINI)

Catatan : Ratri sawad = selamat malam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun