Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (2)

9 Juni 2012   06:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:12 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1339223657910208102

SANG PENTERJEMAH (1) bisa dibaca di sini

Ayutthaya, Siam, 1368 Masehi

Hari merambat gelap, cahaya dari jendela kecil agak tinggi di dinding kayu itu meredup. Aku meringkuk di sudut ruangan dan mulai menyesal kenapa aku memisahkan diri dari kelompok pedagang-pedagang Tumasek itu. Kalau saja aku tetap bersama mereka, pastilah aku tak perlu dicurigai sebagai mata-mata Bama seperti tuduhan Pibulwongsawat.

Pintu kayu berat itu tiba-tiba terbuka. Dua punggawa meraih kedua lenganku dan membawaku ke luar ruang sekap itu, menuju ke bilik santai Pibulwongsawat yang di mana sebelumnya aku ditanya-tanya. Dua punggawa mengisyaratkan agar aku merunduk ke tanah dan menghaturkan sembah. Pibulwongsawat dan perempuan itu duduk di bale-bale, dengan nampan-nampan penuh berbagai santapan buah segar. Ia mengucapkan sesuatu. Perempuan itu menerjemahkan.

Ilustrasi : www.google.com

“Kau boleh mendongakkan kepalamu,” ujar perempuan itu. Masih dalam posisi bersimpuh, aku mengangkat kepala. Melalui perempuan itu ia berbicara.

“Aku percaya kau bukan orang Bama. Aku percaya kau orang Majapahit. Busanamu tidak menyiratkan kau adalah antek-antek Bama. Ceritakan sekali lagi bagaimana kau dari negeri jauh sampai ke tanah Ayutthaya?” tanya Pibulwongsawat seperti yang kutangkap dari bibir perempuan itu.

“Ampun, Tuan Pibulwongsawat, nama saya Rakandi. Saya berasal dari Trowulan di Majapahit. Raja Hayamwuruk dari Majapahit bersama Patih Gadjahmada mengirim beberapa punggawa kerajaan bersama sejumlah senopati untuk bermuhibah ke Tumasek,” jawabku. Perempuan itu menerjemahkan di dekat telinga Pibulwongsawat.

“Patih Gajah Mada menaklukkan banyak kawasan di Jawadwipa dan daerah-daerah lain jauh dari Jawadwipa. Hamba sama sama sekali bukan punggawa, bukan hulubalang kerajaan dan tidak tahu menahu perkara penaklukan kawasan-kawasan lain oleh Patih Gajah Mada. Hamba hanyalah seorang pembersih kapal yang tertidur di dalam ruangan ketika kapal berlayar dari Sidayu—pelabuhan Majapahit—menuju Tumasek. Di Tumasek, karena terlalu asyik menikmati keindahan kota, hamba tertinggal kapal. Hamba kemudian diijinkan ikut kapal pedagang Tumasek sampai ke Ayutthaya,” kataku panjang lebar. Semua kata-kataku, tampaknya diterjemahkan dengan baik oleh perempuan itu.

Sementara itu, seorang perempuan pesuruh meletakkan senampan buah-buahan dan beberapa kerat daging bakar di hadapanku. Begitu selesai mendengar hasil penerjemahan dari perempuan itu, lewat perempuan itu juga, Pibulwongsawat mempersilakan aku makan. Sesuatu yang sudah kutunggu-tunggu sejak tadi.

“Orang asing,” kata Pibulwongsawat, “aku percaya padamu. Kau bukan tawanan di negeri ini. Kau tamu di negeri ini. Hormatilah anugerah ini, dan aku minta kau tinggal di sini, dalam waktu yang cukup untuk mengisahkan negerimu. Raja kami, Ramathibodi adalah raja yang cinta damai dan ingin memakmurkan Ayutthaya dengan bersahabat dengan semua kerajaan di darat dan di seberang perairan. Sekarang kau boleh beristirahat. Akan aku tugaskan seseorang untuk berbicara padamu. Orang ini berhak mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang negeri asalmu. Aku harap kau cukup pintar menggambarkan negerimu meski kau cuma seorangpembersih kapal. Bilamana semua kisah sudah cukup, aku akan sampaikan ini pada Yang Mulia Raja Ramathibodi, dan pasti akan dirancang kunjungan muhibah ke negerimu untuk bertukar dagangan. Dan satu hal lagi, kau tak boleh hanya jadi tamu semata. Aku memerlukan seorang perawat gajah. Itu kewajibanmu selama tinggal di Ayutthaya, tanpa upah”

Aku menunduk kembali sembari menyembah. “Sungguh Tuanku Pibulwongsawat adalah bangsawan yang arif dan bijaksana dan telah memberi hamba kebebasan laksana tamu, dan pekerjaan yang teramat terhormat. Hamba belum pernah merawat gajah sebelumnya. Tapi hamba akan belajar. Hamba akan dengan senang hati tinggal di negeri yang indah ini sepanjang yang Tuanku perbolehkan. Salam takzim!” aku mundur beberapa tapak, dan berdiri menjauh. Dua punggawa mengantarku ke sebuah ruangan, kali ini tanpa diseret dan didorong-dorong.

Aku mendapat sebuah kamar yang nyaman, dengan penerangan dua lampu minyap dadap di sudut ruangan. Pembaringan yang diempuki bulu angsa segera mengantarku ke tidur nan lelap setelah sejenak membayangkan bagaimana cara merawat gajah.

***

Pagi itu mentari bersinar sangat indah di Ayutthaya. Cahaya fajar berpendar di permukaan air sungai di kejauhan. Sarapan berupa buah-buahan dan gulai unggas dalam kuah santan yang terhidang di meja di luar kamar sungguh menggugah selera. Ah, benar-benar suguhan yang mentereng bagi seorang perawat kuda. Ataukah ini karena aku tamu khusus di negeri ini? Tak usah berpikir panjang, sebaiknya segera kusantap sarapan ini.

Ketika aku keluar dari ruangan yang menjadi salah satu bagian dari pemukiman kepala Keamanan yang dikelilingi tembok, kudapati hamparan bunga-bunga cantik yang tak pernah kulihat sebelumnya di Majapahit. Perempuan penterjemah itu tengah memetik bunga dengan bantuan dua emban.

Sugeng enjang, Gusti Putri,” aku menghaturkan sembah dengan dua tangan tertangkup ke depan. Perempuan itu cuma mengangguk sekilas dan tenggelam dalam kesibukan memetik bunga.

“Namaku Apsara. Aku istri ketiga Yang Mulia Pibulwongsawat,” kata perempuan itu tanpa menoleh. Aku berdecak kagum dalam hati. Seorang perempuan cantik dengan nama cantik pula.

“Bagaimana saya harus memanggil Tuan Putri?” tanyaku.

“Apsara saja cukup, Rakandi, ” ujar perempuan itu. “Hari ini aku diperintahkan Yang Mulia Pibulwongsawat untuk berkunjung ke Wat Pra Kaeo, agak jauh di luar Ayutthaya. Siapkan gajah, kau juga ikut bersama rombongan”

“Siap, Nyai!’ kataku.

“Nyai?”

“Itu panggilan hormat kepada wanita terhormat di negeri saya. Ijinkan saya menggunakan panggilan itu. Tak biasanya orang rendahan seperti saya memanggil perempuan terhormat dengan namanya saja,” aku menangkupkan tangan menyembah.

“Nyai? Nyai Apsara? Tidak buruk kedengarannya. Sesukamulah,” Apsara tersenyum. “Segera siapkan gajah sekarang. Punggawa akan memberi tahu di mana kandang gajah,” ujar Apsara, sembari memberi isyarat pada seorang punggawa.

Aku mengikuti punggawa yang bergerak ke arah rumah gajah. Dan saat itu mulailah aku mengurusi gajah Siam dengan para pengurus gajah lain. Saat itu pula aku tahu gajah dalam bahasa Siam adalah chang. Beberapa jenak kemudian, dua enam chang telah siap, lengkap dengan pelananya lebar yang cukup untuk dua orang duduk bersimpuh. Pelana yang berwarna-warni sutra bakal dinaiki Apsara dan embannya, demikian kurang lebih makna isyarat tangan para punggawa lain.

Karena aku tak pernah naik gajah, aku duduk di belakang seorang punggawa sais gajah yang terampil dengan tongkat pendek untuk mengatur tindak-tanduk gajah. Perjalanan naik gajah ke luar kota Ayutthaya, dengan pemandangan perkampungan yang menyejukkan mata sungguh merupakan pengalaman luar biasa.

Kami sampai di Wat Pra Kaeo menjelangtengah hari. Kini aku tahu Wat Pra Kaeo adalah sejenis bangunan vihara Buddha terbuat dari bata yang dilapisi tanah liat keras. Apsara dibantu turun dari gajah oleh dua punggawa. Ia melihat ke arahku.

“Kerajaan Ayutthaya didirikan oleh bangsawan hebat bernama U-Thong yang kemudian menjadi raja dengan nama Ramathibodi, pada tahun 1350.Wat Pra Keao adalah bangunan persembahyangan yang dibangun oleh Raja Ramathibodhi pada tahun 1357 untuk menyemayamkan abu dua pangeran yakni Chao Kaeo dan Chao Thai yang wafat karena kolera. Pra Kaeo artinya adalah padepokan hutan Kristal. Vihara ini dilengkapi stupa dan ruang ibadah. Saat ini vihara digunakan sebagai tempat meditasi bagi para rahib yang baru pulang dari menempuh ilmu Buddha di Sailan,” jelas Apsara. Caranya menjelaskan, sungguh menunjukkan betapa cerdas dan luas wawasannya.

Aku tergelitik untuk menanyakan satu hal. Kuberanikan diri menatapnya dan bertanya, “Katakan Nyai Apsara, berapa banyak bahasa yang kau kuasai?”

“Aku bisa bicara bahasa Khmer, Cina dan Jawa,” kata Apsara.

“Kemampuan nyai berbicara bahasa Majapahit itulah yang membuat saya takjub. Bagaimana nyai bisa berbicara bahasa dari sebuah negeri nun jauh di sana?”

Kali ini Apsara tersenyum. Senyum pertama dari perempuan cantik berkulit putih dan rambut hitam panjang ini.

“Sebaiknya aku susun dulu bunga-bunga ini di pelataran Wat, nanti aku ceritakan,” ujar Apsara menoleh sedikit ke arahku. Aku membungkuk hormat. Tak sabar aku menantikan penuturan kisah itu.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun